dragonroarAvatar border
TS
dragonroar
Jatuh Bangun Teori Kebocoran Covid-19 dari Laboratorium Wuhan


Ketika kasus Covid-19 mulai ditemui di banyak penjuru dunia, muncul dugaan bahwa virus tersebut bocor—baik disengaja maupun tidak—dari laboratorium milik Institut Virologi Wuhan di Provinsi Hubei, Cina. Teori ini dengan mudahnya dipolitisasi, termasuk oleh pemerintahan Donald Trump dengan retorika anti-Cina yang begitu kuat.

Ilmuwan terlihat kompak mengesampingkan teori tersebut pada awal masa pandemi, dan dunia disibukkan dengan penanganan kasus yang meroket, maraton penemuan vaksin, sampai implementasi vaksinasi itu sendiri. Namun akhir-akhir ini topik tentang teori kebocoran lab Wuhan mencuat lagi dan ilmuwan mulai menimbang kemungkinannya.

Bagaimana hal ini bisa terjadi?


Pemeriksa Fakta dari Washington Post Glenn Kessler menyusun kronologi yang sangat membantu untuk memahami alur perkembangan teori kebocoran lab. Kessler juga mencoba mengungkap dua penjelasan di balik kebangkitannya. Salah satunya, sampai hari ini usaha mengungkap sumber alami virus belum membuahkan hasil.

Alasan kedua, sedari awal pembahasan tentang kemungkinan bocornya Covid-19 dari lab Wuhan kerap dikaitkan dengan pembuatan senjata pemusnah massal—pandangan yang cepat-cepat ditolak oleh ilmuwan dan akademisi. Namun kurangnya transparansi dari otoritas Cina dan munculnya perhatian baru terkait aktivitas di lab Wuhan mendorong mereka untuk mengakui telah terburu-buru mengambil kesimpulan soal teori kebocoran lab, tulis Kessler.

Aroma Konspiratif Teori Kebocoran Lab
Salah satu tokoh berpengaruh yang sedari awal mencoba menyoroti hubungan antara Covid-19 dengan lab di Wuhan, kota di mana kasus infeksi awal ditemukan, adalah senator Republikan dari Arkansas Amerika Serikat bernama Tom Cotton. Pada akhir Januari 2020, tak lama setelah kasus pertama Covid-19 dilaporkan di AS, Cotton mengungkapkan bahwa Wuhan memiliki laboratorium dengan tingkat keamanan maksimum untuk meneliti berbagai penyakit mematikan, termasuk coronavirus. Cotton kelak mengaku tidak punya bukti bahwa virus berasal dari sana, namun dugaan kebocoran lab tidak bisa didukung atau dibantah tanpa kesediaan otoritas Cina untuk membeberkan bukti-bukti yang mereka simpan.

Satu bulan kemudian, 27 ilmuwan merilis pernyataan “mengutuk keras teori-teori konspirasi yang menunjukkan bahwa Covid-19 tidak berasal dari alam” di jurnal bergengsi The Lancet. Mereka merujuk pada sejumlah temuan ilmiah untuk menegaskan bahwa Covid-19 berasal dari kehidupan liar.

Dalam penelitian yang terbit di Nature pada awal Februari, ahli virologi kenamaan Cina, Shi Zhengli, menunjukkan bahwa Covid-19 mempunyai kemiripan dengan virus yang pernah ditemukan pada kelelawar. Diketahui bahwa Covid-19, atau nama ilmiahnya SARS-CoV-2, mengandung genom atau serangkaian materi genetik yang 96,2 persen identik dengan BatCoV RaTG13, coronavirus pada kelelawar. Sekitar satu dekade silam, BatCoV pernah dideteksi pada Rhinolophus affinis (kelelawar ladam menengah) yang hidup di Provinsi Yunnan, Cina.

Meski sanggahan-sanggahan awal telah muncul, teori kebocoran lab mulai diungkit oleh administrasi Trump. Pada akhir April, Trump mengaku punya bukti soal itu, namun tidak diperbolehkan membongkarnya ke publik. Beberapa hari kemudian, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menegaskan punya banyak bukti bahwa Covid-19 berasal dari lab Wuhan, namun tak bisa menjawab apakah kebocoran virus tersebut disengaja atau tidak, karena “Partai Komunis Cina menolak untuk bekerja sama dengan pakar kesehatan dunia.”

Situasi ini diperkeruh dengan retorika anti-Cina dari Trump, misalnya dengan menyebut Covid-19 sebagai“virus Cina” dan “kung flu”. Seturut dengan narasi rasis tersebut, sepanjang 2020 orang-orang Amerika keturunan Asia menjadi sasaran kebencian dan kekerasan.

Menurut penelusuran Politico, pernyataan Trump dkk. tentang teori kebocoran lab dilontarkan ketika tim investigasi masih meninjau bukti-bukti ilmiah bahwa Covid-19 berasal dari alam. Rupanya, sejumlah elite memang sengaja menggunakan isu tersebut dalam rangka menekan Cina agar berkenan memberikan akses kepada AS dan komunitas internasional untuk melakukan investigasi ke Wuhan.

Barulah menjelang pertengahan 2020, seperti dilaporkan Politico, tim investigasi dari Badan Keamanan Nasional (National Security Council /NSC) mulai mempertimbangkan kemungkinan bocornya virus dari lab. Pertimbangan tersebut didasari atas laporan tentang genom virus dari unit intelijen Departemen Energi dan hasil penelitian di jurnal Cell tentang tikus yang dimodifikasi dengan infeksi virus menyerupai Covid-19.

Masih menurut Politico, persis beberapa hari sebelum inaugurasi Joe Biden sebagai Presiden menggantikan Trump awal tahun ini, Departemen Luar Negeri AS merilis informasi bahwa beberapa peneliti di Institut Virologi Wuhan sempat jatuh sakit pada November 2019 dan mereka memiliki “gejala-gejala yang konsisten dengan Covid-19 dan penyakit musiman biasa.” Meski begitu keterangan tersebut belum cukup kuat untuk dijadikan bukti bahwa lab Wuhan berada di balik penyebaran Covid-19.


Mulai Dipertimbangkan
Ketidakpastian asal-usul Covid-19 akhirnya mendorong Presiden Biden pada akhir Mei kemarin untuk memerintahkan intelijen AS agar berusaha lebih keras dalam menyusun kesimpulan yang definitif. Biden meminta laporan selesai dalam 90 hari.

Seruan senada mulai berdatangan dari kalangan akademisi sejak awal 2021. Pada awal Maret, sekelompok ilmuwan mengajukan surat terbuka untuk mengkritisi tim investigasi yang terdiri dari WHO dan peneliti Cina. Para ilmuwan menyatakan bahwa tim gabungan WHO-Cina “tidak punya mandat, independensi, dan akses yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan investigasi yang utuh dan tidak terbatas” dalam mengungkap asal-usul Covid-19.

Mereka memperingatkan bahwa separuh dari tim investigasi adalah “warga negara Cina yang independensi ilmiahnya mungkin terbatas.” Perwakilan WHO pun harus bergantung pada informasi dan data dari mereka. Laporan yang disusun bersama juga harus disetujui baik oleh pemerintah Cina dan negara anggota tim gabungan.

Direktur Jenderal WHO Dr. Tedros Adhanom juga mendorong studi lebih lanjut untuk mengungkap asal usul Covid-19. Pada akhir Maret Tedros menyampaikan belum diketahuinya asal Covid-19 membuat semua hipotesis masih perlu diuji.

Pernyataan ini disampaikan setelah WHO merilis laporan yang dikerjakan oleh tim pakar dari 10 negara selama investigasi satu bulan di Wuhan. Menurut tinjauan dari Nature, laporan ini memang mengungkap informasi lebih detail tentang pasien-pasien pertama yang diduga terinfeksi Covid-19, namun sayangnya belum menjawab pertanyaan-pertanyaan penting seperti binatang apa yang menjadi perantara antara kelelawar dan manusia serta bagaimana penularan infeksi dari binatang ke manusia bisa terjadi. Laporan ini juga kembali menekankan bahwa kebocoran virus dari lab “sangat tidak mungkin.”

Pada Mei, 18 ilmuwan dari universitas di AS, Swiss, Kanada, dan Inggris kembali menekankan pentingnya mempertimbangkan segala kemungkinan asal usul Covid-19. Melalui surat terbuka di jurnal Science, mereka menulis, “teori-teori tentang kebocoran tak disengaja dari laboratorium dan spillover zoonosis tetaplah layak [untuk dipertimbangkan].”

Para ilmuwan menyorot laporan tidak berimbang oleh WHO dan otoritas Cina di Wuhan tahun lalu. Masih dipetik dari surat di atas, hasil studi WHO dan otoritas Cina yang rilis pada November 2020 tidak mengungkap temuan yang dapat menyokong asal usul Covid-19 (baik dari alam maupun kecelakaan lab), namun tetap menitikberatkan kemungkinan terbesar Covid-19 sebagai zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan kepada manusia).

Para ilmuwan penyusun surat juga heran karena hanya 4 dari 313 halaman laporan yang dialokasikan untuk membahas kemungkinan virus dari kecelakaan lab.

Pada waktu yang sama, AS masih menganggap pemerintah Cina sedari awal menghalang-halangi proses investigasi yang independen. Masih di awal 2021, Washington menekan Beijing untuk menunjukkan data-data yang disembunyikan sejak awal pandemi. Menanggapi hal tersebut, Beijing menuding pemerintah AS sudah merusak kerja sama internasional dalam investigasi Covid-19 yang melibatkan sejumlah negara besar.

Seiring meruncingnya tudingan terhadap otoritas Cina, media-media besar turut memberitakan sikap tertutup mereka, seperti dilakukan New York Times pada November 2020. Setelah kematian lebih dari 1 juta orang akibat Covid-19, mereka menulis, “masih belum ada investigasi transparan dan independen terkait sumber virus. Cina, yang terkenal alergi terhadap pengawasan dari luar, sudah menghambat upaya tersebut, sementara para pemimpin WHO… kebanyakan sudah menyerahkan kendalinya.” Mereka juga mengulas bagaimana otoritas Cina berusaha untuk menyetir narasi tentang Covid-19 di dalam negeri sekaligus menampilkan informasi bahwa virusnya tidak seberbahaya yang diberitakan.




Investigasi dari Associated Press pada Desember 2020 mengungkap temuan serupa, bahwa “pemerintah Cina mengendalikan dengan ketat semua penelitian tentang asal-usul [Covid-19], menekan sejumlah penelitian sembari mempromosikan teori-teori pinggiran bahwa asalnya bisa jadi dari luar Cina.” Meskipun pemerintah menggelontorkan ratusan ribu dolar dana riset kepada ilmuwan Cina untuk menelusuri asal-usul virus, Associated Press mendapati bahwa temuan mereka dimonitor dan publikasi data riset wajib disetujui terlebih dahulu oleh komite khusus di kabinet yang diperintah langsung oleh Presiden Xi Jinping.

Perubahan Sikap di Kalangan Ilmuwan
Berdasarkan kronologi perkembangan teori kebocoran lab Wuhan yang disusun Glenn Kessler di Washington Post, studi ilmiah yang memberikan perhatian pada teori ini baru muncul pada pertengahan November 2020, tak lama setelah ingar-bingar Pemilu Presiden AS mulai sedikit mereda. Artikel jurnal berjudul “The genetic structure of SARS-CoV-2 does not rule out a laboratory origin” ini disusun oleh Rossana Segreto dari University of Innsbruck, Austria dan Yuri Deigin dari Youthereum Genetics Inc., Toronto. Mereka menyimpulkan, “manipulasi genetik SARS-CoV-2 mungkin sudah dilakukan di laboratorium mana pun di dunia yang punya akses sekuens backbone dan peralatan yang diperlukan dan hal itu tidak akan meninggalkan jejak.”

Mereka menegaskan bahwa asal-usul buatan atau non-alamiah pada Covid-19 “bukanlah konspirasi tidak berdasar.” Kalangan peneliti, menurut mereka, punya kewajiban untuk mempertimbangkan segala kemungkinan penyebab munculnya Covid-19. Setelah itu, seperti sudah dijabarkan di atas, kalangan akademisi mulai menyerukan urgensi untuk melakukan investigasi asal-usul Covid-19 yang transparan dengan menimbang segala hipotesis yang ada.

Pertanyaannya kemudian, mengapa teori kebocoran lab Wuhan baru diungkit tak lama setelah drama politik Pilpres AS mereda? Dalam hal ini ulasan Charles Schmidt dari MIT Technology Review menarik disimak.

Dalam ulasan tersebut ia menceritakan pengalaman Nikolai Petrovsky, ahli imunologi dan vaksin dari Flinders University, Australia. Menurut Petrovsky, struktur protein pada Covid-19 tampak ganjil karena mereka terlihat mudah beradaptasi pada manusia. Hal ini tidak lazim ditemui pada patogen atau penyakit yang baru saja muncul.

Tak berapa lama, Petrovsky dikejutkan dengan respons sejumlah ilmuwan yang—pada awal 2020—merilis surat pernyataan untuk mengutuk dugaan-dugaan terkait asal-usul non-alamiah Covid-19 sebagai teori konspirasi. Petrovsky gusar karena pandangan tersebut pada saat bersamaan juga diarahkan pada kalangan ilmuwan sendiri, yang tentu saja bukan pendukung teori konspirasi.

Dalam ulasan tersebut Schmidt mengutip Jamie Metzl, pakar geopolitik dari think tank Atlantic Council di Washington DC. Metzl mengatakan perlu dipahami karena pembahasan teori tersebut bertepatan dengan meningkatnya sentimen anti-Cina yang digaungkan administrasi Trump, media, termasuk narasumber pakar dan akademisi, cenderung lebih waspada sebelum mengeluarkan pendapat.

Menurut Metzl, media “berhati-hati untuk mengungkapkan hal-hal yang mungkin menjustifikasi retorika administrasi [Trump].” Apabila menyuarakan kecurigaan tentang teori kebocoran lab, menurut Metzl, mereka takut karier akademik bakal tercemar, terlebih kasus-kasus penularan virus dari binatang ke manusia adalah fenomena yang sudah sering terjadi.

Alina Chan, peneliti bidang rekayasa genetika dari MIT and Harvard University, membenarkan pandangan Metzl. Chan adalah akademisi yang ikut menandatangani surat pada awal tahun ini untuk mempertimbangkan semua hipotesis terkait asal Covid-19, tak terkecuali kemungkinan kebocoran dari lab. Menurut Chan, memang terdapat kegelisahan di kalangan akademisi untuk mendiskusikan secara terbuka dugaan kebocoran lab. Mereka takut pandangannya disalahgunakan untuk mendukung retorika yang rasis tentang Covid-19.

“Pada waktu itu, lebih mengerikan untuk diasosiasikan dengan Trump dan menjadi alat bagi kelompok rasis, sehingga orang-orang tidak ingin menyerukan secara terbuka investigasi terhadap asal-muasal [virus] dari lab,” ujar Chan dikutip dari NBC News.

Tingginya perhatian yang diberikan terhadap teori kebocoran lab baru-baru ini tidak serta-merta membuatnya menjadi kandidat paling kuat asal-usul Covid-19. Masih dikutip dari NBC News, Maciej Boni, dosen biologi dari Penn State University, mengungkapkan bahwa “belum ada bukti baru dalam 16 bulan terakhir bahwa virusnya berasal dari lab.” Berdasarkan pengalamannya meneliti flu burung di Vietnam sepanjang 2008-16, terdapat peluang lebih mudah bagi virus untuk bertransmisi dari binatang ke manusia, terutama di pasar hewan.

Menilik riwayat kemunculan virus-virus dalam seperempat abad terakhir, Boni juga menegaskan bahwa penularan dari binatang ke manusia lebih sering terjadi dibandingkan dengan kecelakaan lab.

https://tirto.id/jatuh-bangun-teori-...ium-wuhan-gg4c
edelweis111
m4ntanqv
anton2019827
anton2019827 dan 20 lainnya memberi reputasi
19
5.6K
65
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.7KThread82KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.