- Beranda
- Stories from the Heart
Tak Pernah Menyangka Kalau Ini Akhirnya
...
TS
sultanhsn
Tak Pernah Menyangka Kalau Ini Akhirnya
Quote:
Namaku Arsten, dan aku sedang duduk di depan sebuah rumah sederhana yang di dalamnya berisi ayah serta bunbun. Usiaku kini mendekati angka 17. Semoga bulan Februari nanti, ketika usiaku mulai bertambah, ada secerca harapan yang terkabulkan. Menikmati suasana sore di ibu kota, ada sebuah segelas kopi di sampingku, warnanya hitam tapi rasanya manis. Aku sering diingatkan bunbun untuk tidak terlalu banyak menenggak kopi.
Bunbun berkata “Kau masih muda, jangan biarkan otakmu lambat untuk bekerja”.
Lahir dan dibesarkan sebagai anak lelaki satu-satunya, tentu aku tidak ingin mengecewakan ayah dan bunbun yang selama ini sudah berusaha untuk buah hatinya. Walau terkadang ayahku terlalu sibuk bekerja, dan bunbun yang dipenuhi kegiatan mengurusi toko kuenya. Tidak menjadikanku sebagai anak yang kekurangan kasih sayang orang tua.
Sedang asik-asiknya melamun, handphone yang diberikan oleh ayah beberapa tahun silam, tiba-tiba berbunyi. Ada pesan dari seseorang yang sampai saat ini tetap aku sayang. Sebagai seorang remaja yang haus akan cerita, aku membagi hati ini kepada seorang wanita yang memiliki rambut terurai, pipinya menggemaskan, dan sering memarahiku karena rambutku yang tidak dipotong padahal sudah kelihatan panjang. Nama wanita itu adalah Nita.
“Hai sayang, aku baru pulang dari tempat les” Pesan dari Nita.
“Langsung mandi, jelek” Balasku.
Nita adalah adik kelasku waktu aku masih mengenakan seragam putih biru. Kami bertemu ketika aku sudah mulai sibuk dengan ujian kelulusan. Entah bagaimana bisa, Nita seorang adik kelas yang berbadan mungil, menyukaiku waktu itu. Banyak yang tidak percaya, aku memilihnya. Teman-temanku pun, sering menjahiliku karena itu.
“Gila si Arsten, anak kecil dipacarin” Kata teman-temanku, waktu kami masih berada di SMP.
Tetapi itulah cinta. Logika tidak akan sampai untuk mengerti apa yang ada di dalam jiwa. Tidak ada alasan juga ketika banyak yang bertanya, kenapa aku sangat mencintainya. Semua berjalan seperti apa adanya.
“Aku mau vidio call” Balas Nita, dan tidak lama ada panggilan masuk darinya.
Kami bertatap muka, lewat sebuah layar yang ada di genggaman. Aku merasa senang ketika semua hal, menyangkut paut tentang dirinya. Wajahnya yang tidak membuatku bosan. Padahal aku tau, pasti dia kelelahan sehabis menyelesaikan kegiatan belajar tambahannya.
“Kamu lagi di mana?” Tanya Nita, ia mengambil posisi tiduran.
“Aku lagi di depan rumah” Kataku.
“Bunbun mana? Aku kangen” Kata Nita.
Keluargaku sudah mengenal Nita, begitupun sebaliknya. Pertemuan demi pertemuan kami tentukan. Tujuannya hanya menyakinkan kepercayaan.
OoO
Aku jadi ingat ketika pertama kali aku ke rumahnya. Hari itu handphonenya Nita disimpan oleh gurunya, atau lebih tepatnya disita. Karena aku dan Nita dulunya bersekolah di tempat yang sama. Aku memberanikan diri untuk menemui guru yang bersangkutan. Ingin meminta izin, supaya handphonenya dikembalikan.
“Balikin lah, pak. Sekarang kan handphone penting, pak” Kataku, ke mantan guruku. Untungnya beliau cukup akrab denganku. Jadi, masih ada banyak kemungkinan untuk diberikan kesempatan.
“Tapi janji, jangan dimainkan ketika jam pelajaran. Oke, Ten?” Kata guruku. Beliau memang guru yang asik untuk para murid-muridnya.
“Nanti saya omelin, pak” Kataku. Lalu handphonenya diberikan kepadaku, dan aku menandatangi perjanjian di atas sebuah kertas yang beliau akan simpan.
Setelah mendapatkan kembali handphonenya Nita. Aku langsung bergegas menuju rumahnya. Aku mengetahui rumah Nita karena dia yang memberitahunya waktu aku mengantarkannya pulang, sampai depan gang.
“Nih, handphonenya” Kataku, seraya memberikan handphone miliknya.
“Kok bisa sama kamu” Kata Nita. Kami mengobrol di depan rumahnya.
“Tadi temen kamu ngechat aku. Katanya handphone kamu disita sama pak Aris” Kataku, menjelaskan kronologinya.
“Hehe, iya. Maaf ngerepotin” Kata Nita, dengan senyumannya.
Ketika aku baru saja hendak pulang, seorang wanita keluar menghampiri kami berdua. Beliau mengajakku untuk masuk terlebih dahulu. Di dalam perasaanku, aku merasa tidak enak. Aku belum siap untuk menemui keluarganya. Nita juga anak perempuan satu-satunya yang dimiliki mamah dan papahnya.
“Tinggalnya di mana, nak?” Tanya mamahnya Nita.
“Di pusat, mah” Kataku, mencoba menjawabnya dengan keadaan tenang.
“Alumni sekolahnya Nita?” Tanya mamahnya Nita.
“Iya, mah. Baru lulus 2 tahun yang lalu” Kataku.
Nita yang melihatku mengobrol bersama mamahnya, hanya diam memperhatikan. Tetapi perasaanku masih tidak karuan. Ada rasa senang, dan tidak enak juga ketika pertama kali aku bertemu mamahnya Nita.
“Nita, bukannya tawarin makan” Kata mamah ke Nita, menyuruhku memakan beberapa cemilan yang sudah disediakan.
“Tau, kamu, bukannya makanin” Kata Nita, menyuruhku makan.
“Iya, mah” Kataku. Masih agak sedikit kaku.
Rasanya aku tidak ingin berlama-lama. Aku benar-benar belum siap untuk saat ini. Aku berfikir sebentar. Memikirkan bagaimana caranya aku punya alasan yang masuk akal untuk izin pamit pulang.
“Telepon gua, cepet” Aku mengirim pesan kepada sahabat dekatku, Max namanya.
“Ngapain gue telpon?” Balasan dari Max tidak lama kemudian.
“Tinggal telepon, pake nanya” Balasku, agak sedikit kesal.
Max langsung menelponku, aku mengangkatnya.
“Halo, iya?”
“Iya nanti gua ke sana”
“Tungguin sih, gitu banget”
“Iya, bawel”
Itu yang aku ucapkan di telepon. Sedangkan Max, mungkin dia sedang kebingungan. Aku menceritakan kepada Nita, bahwa Max temanku mengajakku pergi bermain. Nita hanya menjawab dengan anggukan. Aku berdiri, berniat untuk izin pergi.
OoO
Nita masih saja bercerita tentang kegiatan hari ini yang ia lakukan. Dimulai dari ia berangkat ke sekolah, makan saat jam istirahat, pulang sekolah langsung menuju tempat les, dan sekarang ia sedang menemaniku walau sedang berjauhan. Aku senang menjadi tempatnya untuk berkeluh kesah, membiarkan kupingku tetap terbuka untuknya. Rasa-rasanya mendengarkannya bercerita adalah hal yang paling aku nanti darinya.
“Kamu enggak kangen aku?” Tanya Nita.
“Kangen, sayang” Jawabku.
“Enggak, kamu bohong” Kata Nita. Sifat kekanak-kanakannya mulai muncul.
“Iya, besok pulang sekolah aku jemput, ya” Kataku, mencoba merayunya.
Nita tersenyum kembali, setelah aku berkata besok akan menjemputnya.
“Mandi, ya, abis itu kamu istirahat” Kataku.
“Iya, aku mandi, ya” Lalu sambungan teleponnya terputus.
Aku langsung membereskan sisa lamunanku tadi. Membawa gelas bekas berisi ampas kopi, lalu menaruhnya di kamar mandi.
Bunbun berkata “Kau masih muda, jangan biarkan otakmu lambat untuk bekerja”.
Lahir dan dibesarkan sebagai anak lelaki satu-satunya, tentu aku tidak ingin mengecewakan ayah dan bunbun yang selama ini sudah berusaha untuk buah hatinya. Walau terkadang ayahku terlalu sibuk bekerja, dan bunbun yang dipenuhi kegiatan mengurusi toko kuenya. Tidak menjadikanku sebagai anak yang kekurangan kasih sayang orang tua.
Sedang asik-asiknya melamun, handphone yang diberikan oleh ayah beberapa tahun silam, tiba-tiba berbunyi. Ada pesan dari seseorang yang sampai saat ini tetap aku sayang. Sebagai seorang remaja yang haus akan cerita, aku membagi hati ini kepada seorang wanita yang memiliki rambut terurai, pipinya menggemaskan, dan sering memarahiku karena rambutku yang tidak dipotong padahal sudah kelihatan panjang. Nama wanita itu adalah Nita.
“Hai sayang, aku baru pulang dari tempat les” Pesan dari Nita.
“Langsung mandi, jelek” Balasku.
Nita adalah adik kelasku waktu aku masih mengenakan seragam putih biru. Kami bertemu ketika aku sudah mulai sibuk dengan ujian kelulusan. Entah bagaimana bisa, Nita seorang adik kelas yang berbadan mungil, menyukaiku waktu itu. Banyak yang tidak percaya, aku memilihnya. Teman-temanku pun, sering menjahiliku karena itu.
“Gila si Arsten, anak kecil dipacarin” Kata teman-temanku, waktu kami masih berada di SMP.
Tetapi itulah cinta. Logika tidak akan sampai untuk mengerti apa yang ada di dalam jiwa. Tidak ada alasan juga ketika banyak yang bertanya, kenapa aku sangat mencintainya. Semua berjalan seperti apa adanya.
“Aku mau vidio call” Balas Nita, dan tidak lama ada panggilan masuk darinya.
Kami bertatap muka, lewat sebuah layar yang ada di genggaman. Aku merasa senang ketika semua hal, menyangkut paut tentang dirinya. Wajahnya yang tidak membuatku bosan. Padahal aku tau, pasti dia kelelahan sehabis menyelesaikan kegiatan belajar tambahannya.
“Kamu lagi di mana?” Tanya Nita, ia mengambil posisi tiduran.
“Aku lagi di depan rumah” Kataku.
“Bunbun mana? Aku kangen” Kata Nita.
Keluargaku sudah mengenal Nita, begitupun sebaliknya. Pertemuan demi pertemuan kami tentukan. Tujuannya hanya menyakinkan kepercayaan.
OoO
Aku jadi ingat ketika pertama kali aku ke rumahnya. Hari itu handphonenya Nita disimpan oleh gurunya, atau lebih tepatnya disita. Karena aku dan Nita dulunya bersekolah di tempat yang sama. Aku memberanikan diri untuk menemui guru yang bersangkutan. Ingin meminta izin, supaya handphonenya dikembalikan.
“Balikin lah, pak. Sekarang kan handphone penting, pak” Kataku, ke mantan guruku. Untungnya beliau cukup akrab denganku. Jadi, masih ada banyak kemungkinan untuk diberikan kesempatan.
“Tapi janji, jangan dimainkan ketika jam pelajaran. Oke, Ten?” Kata guruku. Beliau memang guru yang asik untuk para murid-muridnya.
“Nanti saya omelin, pak” Kataku. Lalu handphonenya diberikan kepadaku, dan aku menandatangi perjanjian di atas sebuah kertas yang beliau akan simpan.
Setelah mendapatkan kembali handphonenya Nita. Aku langsung bergegas menuju rumahnya. Aku mengetahui rumah Nita karena dia yang memberitahunya waktu aku mengantarkannya pulang, sampai depan gang.
“Nih, handphonenya” Kataku, seraya memberikan handphone miliknya.
“Kok bisa sama kamu” Kata Nita. Kami mengobrol di depan rumahnya.
“Tadi temen kamu ngechat aku. Katanya handphone kamu disita sama pak Aris” Kataku, menjelaskan kronologinya.
“Hehe, iya. Maaf ngerepotin” Kata Nita, dengan senyumannya.
Ketika aku baru saja hendak pulang, seorang wanita keluar menghampiri kami berdua. Beliau mengajakku untuk masuk terlebih dahulu. Di dalam perasaanku, aku merasa tidak enak. Aku belum siap untuk menemui keluarganya. Nita juga anak perempuan satu-satunya yang dimiliki mamah dan papahnya.
“Tinggalnya di mana, nak?” Tanya mamahnya Nita.
“Di pusat, mah” Kataku, mencoba menjawabnya dengan keadaan tenang.
“Alumni sekolahnya Nita?” Tanya mamahnya Nita.
“Iya, mah. Baru lulus 2 tahun yang lalu” Kataku.
Nita yang melihatku mengobrol bersama mamahnya, hanya diam memperhatikan. Tetapi perasaanku masih tidak karuan. Ada rasa senang, dan tidak enak juga ketika pertama kali aku bertemu mamahnya Nita.
“Nita, bukannya tawarin makan” Kata mamah ke Nita, menyuruhku memakan beberapa cemilan yang sudah disediakan.
“Tau, kamu, bukannya makanin” Kata Nita, menyuruhku makan.
“Iya, mah” Kataku. Masih agak sedikit kaku.
Rasanya aku tidak ingin berlama-lama. Aku benar-benar belum siap untuk saat ini. Aku berfikir sebentar. Memikirkan bagaimana caranya aku punya alasan yang masuk akal untuk izin pamit pulang.
“Telepon gua, cepet” Aku mengirim pesan kepada sahabat dekatku, Max namanya.
“Ngapain gue telpon?” Balasan dari Max tidak lama kemudian.
“Tinggal telepon, pake nanya” Balasku, agak sedikit kesal.
Max langsung menelponku, aku mengangkatnya.
“Halo, iya?”
“Iya nanti gua ke sana”
“Tungguin sih, gitu banget”
“Iya, bawel”
Itu yang aku ucapkan di telepon. Sedangkan Max, mungkin dia sedang kebingungan. Aku menceritakan kepada Nita, bahwa Max temanku mengajakku pergi bermain. Nita hanya menjawab dengan anggukan. Aku berdiri, berniat untuk izin pergi.
OoO
Nita masih saja bercerita tentang kegiatan hari ini yang ia lakukan. Dimulai dari ia berangkat ke sekolah, makan saat jam istirahat, pulang sekolah langsung menuju tempat les, dan sekarang ia sedang menemaniku walau sedang berjauhan. Aku senang menjadi tempatnya untuk berkeluh kesah, membiarkan kupingku tetap terbuka untuknya. Rasa-rasanya mendengarkannya bercerita adalah hal yang paling aku nanti darinya.
“Kamu enggak kangen aku?” Tanya Nita.
“Kangen, sayang” Jawabku.
“Enggak, kamu bohong” Kata Nita. Sifat kekanak-kanakannya mulai muncul.
“Iya, besok pulang sekolah aku jemput, ya” Kataku, mencoba merayunya.
Nita tersenyum kembali, setelah aku berkata besok akan menjemputnya.
“Mandi, ya, abis itu kamu istirahat” Kataku.
“Iya, aku mandi, ya” Lalu sambungan teleponnya terputus.
Aku langsung membereskan sisa lamunanku tadi. Membawa gelas bekas berisi ampas kopi, lalu menaruhnya di kamar mandi.
Hallo semuanya, salam kenal, ya. Aku bakal bikin indexnya untuk mempermudah kalian membuka halaman demi halaman nanti di bawah. Selamat membaca, semuanya.
Diubah oleh sultanhsn 21-06-2021 11:55
aryanti.story dan 5 lainnya memberi reputasi
6
891
Kutip
2
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.3KThread•40.9KAnggota
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru