Menikahkan korban dengan si pemerkosa, apa itu bisa dijadikan sebagai solusi?



Assalamu'alaikum Agan dan Sista. Mari kita bersyukur jika pagi hari ini kita terbangun dalam keadaan sehat wak afiat. Dalam keadaan ada makanan di meja atau ada bahan makanan di kulkas. Sebab, ada banyak orang di luar sana yang terbangun di kamar rumah sakit, terbangun dengan pikiran hari ini apa yang bisa dimakan, atau yang terbangun dengan menghadapi masalah yang besar.

Kali ini ane ingin mengajak Agan dan Sista untuk berdiskusi tentang wacana menikahkan seorang korban rudapaksaan dengan si pemerkosanya.
Belum lama ini, ane baca sebuah peristiwa dan kasus pemerkosaan, di mana pengacara terdakwa menawarkan solusi untuk menikahkan korban dengan si pemerkosanya.

Apa yang terbesit dalam benak Agan dan Sista kala mengetahui wacana ini? Setuju dan menganggap bahwa itu sebuah solusi yang tepat? Ataukah menganggap sebagai hukuman kepada si korban?   

Sudah menjadi korban dihukum pula, lantas di mana letak keadilah ditegakkan? Di bawah kaki orang yang berkuasa, di ujung bibir hakim atau di tangan seluruh rakyat Indonesia?

Ada orang-orang yang berpendapat, si korban sudah melakukan hubungan badan dengan si pelaku, jadi kimpoiin saja toh dan si pemerkosa akan bertanggung jawab seandainya perbuatan itu akhirnya membuahkan janin dalam kandungan? Maka semua dianggap habis perkara.

Benarkah akan semudah itu penyelesaiannya?

Baiknya kita lihat dulu dari sisi korban sebagai orang yang teraniaya atas kasus ini. Apa sih yang terjadi jika dia mengalami rudapaksa?

1. Trauma
Hal ini sudah jelas. Pemerkosaan atau rudapaksa adalah peristiwa yang sangat traumatis bagi si korban. Bisa saja setelahnya dia menarik diri dari lingkungan sosialnya, karena terpukul/ bersedih, karena malu, karena takut dibully.
Ada banyak luka dalam psikisnya yang mesti disembuhkan, oleh tangan seorang profesional, ataupun oleh waktu.
Bisikan-bisikan atau ghibah yang dilakukan di depannya atau di belakangnya atas kondisi itu pasti menimbulkan ketidaknyamanan dalam kehidupan si korban selanjutnya.

2. Penyakit kelamin
Hal ini sangat dimungkinkan jika ternyata si pelaku memang orang yang gemar melakukan seks bebas, sehingga bisa saja dia membawa penyakit menular seksual. Sudah terkena rudapaksa, terkena pula penyakit kelamin? Hal ini bisa diibaratkan sudah tajuh tertimpa tengga pula, sudah terlempar ke danau, dimakan buaya pula.

3. Luka di organ vital
Hubungan seksual yang dilakukan dengan kemauan sepihak, bisa saja menimbulkan luka dan rusaknya organ vital karena dilakukan dengan cara dipaksa. Dalam koitus yang dilakukan pertama kali oleh wanita pengantin baru pun bisa mengalami perlukaan, padahal dilakukan dengan nyaman dan suka sama suka. Bagaimana jika dilakukan dengan cara yang paksaan dan cara yang brutal?

4. Mengalami gangguan kejiwaan
Trauma yang terus dirasakan dan semakin parah bisa berlanjut pada gekala gangguan kejiwaan. Karena itu, korban rudapaksaan harus mendapat pendampingan bukan hanya dari keluarganya saja, tetapi juga dari profesional (Psikolog/ Psikiater).




Mengetahui seberapa besar dampak  yang bisa terjadi pada korban rudapaksaan, bagaimana mungkin dia dinikahkan dengan si pemerkosa? Apakah mungkin seorang pemerkosa akan menyayangi istrinya, sedangkan sebelum menikah saja dia sudah melakukan kekerasan dan kejahatan kepadanya? Apakah seseorang yang jelas-jelas memiliki tabiat buruk akan bisa menjadi pemimpin bagi keluarganya dan mengayomi sang istri? Selain itu yang paling penting, apakah tidak akan ada rasa takut dan tertekan dalam diri korban sendainya hidup bersama (menikah) dengan pemerkosanya?

Jadi menurut ane sendiri, wacana menikahkan seorang korban dengan pemerkosanya harus ditolak dengan tegas. Itu bukan sebuah solusi, tetapi hukuman untuk si korban. Bagaimana menurut Agan dan Sista?

Lihat thread ane yang lain, klik gambar di bawah ini.



Ditulis oleh @cattleyaonly 

Sumber
Opini Pribadi
Sumber
Sumber