- Beranda
- Berita dan Politik
Saat BUMN Garuda Indonesia Dijadikan Sarang Korupsi Dan Sapi Perah Di Era Orde Baru
...


TS
jokowi.2024
Saat BUMN Garuda Indonesia Dijadikan Sarang Korupsi Dan Sapi Perah Di Era Orde Baru

JAKARTA, KOMPAS.com - Berstatus BUMN, nasib PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) berada di ambang kebangkrutan. Kondisi keuangan maskapai flag carrier ini tengah berdarah-darah.
Selain terjerat utang menggunung hingga Rp 70 triliun, perusahaan juga menderita kerugian. Pandemi Covid-19 yang diperkirakan masih akan berlangsung lama, bakal membuat kinerja keuangan Garuda Indonesia semakin babak belur.
Menteri BUMN Erick Thohir membeberkan, salah satu yang memberatkan kinerja keuangan Garuda Indonesia adalah kesepakatan harga sewa pesawat dari para lessor.
Bahkan, menurut Erick Thohir, ada indikasi korupsi dalam negosiasi harga sewa pesawat. Praktik ini bisa saja terjadi karena ada kongkalikong antara perusahaan penyewa dalam hal ini Garuda, dengan pihak lessor.
Baca juga: Asal Usul Nama Garuda Indonesia
Pihaknya akan melakukan negosiasi keras terhadap para lessor atau pemberi sewa ke Garuda Indonesia yang sudah masuk dan bekerja sama dalam kasus yang dibuktikan koruptif.
Erick Thohir mengatakan sejak awal Kementerian BUMN meyakini salah satu masalah terbesar di Garuda Indonesia mengenai lessor. Di Garuda Indonesia ada 36 lessor yang memang harus dipetakan ulang, mana saja lessor yang sudah masuk kategori dan bekerja sama di kasus yang sudah dibuktikan koruptif.
"Ini yang pasti kita bakal standstill, bahkan negosiasi keras dengan mereka," ujar Erick Thohir dikutip dari Antara, Minggu (6/6/2021).
Erick Thohir menyatakan bahwa terancam bangkrutnya Garuda Indonesia dikarenakan direksi abai terhadap fokus marketnya yakni penerbangan domestik atau dalam negeri.
"Di bulan Agustus-November-Januari, sebelum Covid-19 kepada direksi Garuda Indonesia, kita sudah bilang fokus domestik (market). Kita ini bukan bisnis gaya-gayaan," ungkap Erick Thohir, Rabu 2 Juni 2021.
Lebih lanjut, Erick Thohir menegaskan yang dimaksud pentingnya fokus pada bisnis penerbangan domestik karena akan berdampak seperti sekarang ini.
Baca Juga: Erick Thohir Soal Garuda Indonesia: Sangat Parah, Kita Fokuskan Domestik Market
"Kita bukan bisnis gaya-gayaan mau terbang ke luar negeri, gaya, tapi domestik, kenapa? database sebelum Covid-19 78 persen turis adalah local tourist Rp1400 triliun," katanya.
Kemudian turis asing, kata Erick, hanya 22 persen atau Rp300 triliun. Menurutnya jika memang ingin berbisnis sudah jelas domestik market adalah sasarannya.
"Bukan yang ini (international market) dan kita negara kepulauan, karena itu dari hasil laporan yang saya dapatkan bahwa kita tetap mempertahankan 1.300 pilot, kabin dan lainnya," tegas Erick.
Kemudian 2.300 pegawai Garuda Indonesia, sedangkan jika melihat negara lain, kata Erick sudah dalam proses yang lebih parah dari Garuda Indonesia.
"Jadi kita patut bersyukur, tinggal kita cari tadi proses yang namanya bagaimana Garuda Indonesia masih bisa suistain (tak bangkrut). Tapi harapannya ada karena kita negara kepulauan dan domestik market kita kuat," pungkasnya.
Korupsi Garuda di era Orde Baru
Krisis yang terjadi pada Garuda Indonesia ini mengingatkan pada usaha yang dilakukan Menteri Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng yang menjabat tahun 1998-1999.
Baca juga: Sejarah Garuda Indonesia, Bermula dari Sumbangan Emas Rakyat Aceh
Sempat mengalami masa keemasan pada tahun 1980-an saat dipimpin Wiweko Soepono, Garuda pada tahun-tahun berikutnya mengalami kemerosotan karena praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Seperti diberitakan Harian Kompas, 10 September 1998, KKN begitu menggerogoti dua maskapai penerbangan pelat merah, yaitu Garuda Indonesia dan Merpati.
Tanri Abeng membeberkan, khusus di BUMN Garuda Indonesia, dapat dihemat sekitar 18,27 juta dollar AS per tahun atau sekitar Rp 27,1 miliar per tahun apabila delapan kerja sama operasi (KSO) berbau KKN di lingkungan Garuda dihilangkan.
Menurut dia, ada delapan kerja sama operasi (KSO) yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Garuda selama rezim Orde Baru atau Orba.
Baca juga: Peter Gontha Sebut CT Rugi Rp 11,2 Triliun di Garuda Indonesia
Kerja sama memberatkan Garuda
Pertama, yakni pengalihan pengelolaan gudang kargo kepada PT Angkasa Bina Wiwesa (ABW). ABW, menurut catatan Kompas, merupakan usaha milik adik mantan Presiden Soeharto dari lain ibu satu bapak, Martini Tubagus Sulaeman.
Dari pengelolaan pergudangan di Bandara Soekarno-Hatta itu, pihak ABW setiap bulan dapat meraup pendapatan Rp 6 miliar, tetapi hanya Rp 300 juta yang diterima Garuda Indonesia.
Sedangkan biaya operasional, pemakaian gedung, telepon, dan listrik dibebankan kepada Garuda.
Menurut perjanjian selama sepuluh tahun yang ditandatangani Dirut Garuda Wage Mulyono dan Dirut ABW Martini Nita Karyati tahun 1994, disebutkan pihak ABW akan menyetor minimal 10 persen dari pendapatan kotor, atau sekitar Rp 200 juta setiap bulan kepada Garuda.
Baca juga: Disebut Jadi Biang Kerok Krisis Garuda Indonesia, Apa Itu Lessor?
Dari data yang diperoleh, total pendapatan pada tahun 1995 sebesar Rp 28,5 miliar, tetapi yang disetor kepada Garuda Rp 3,1 miliar.
Sementara pendapatan Rp 105 miliar yang diperoleh dalam kurun waktu tahun 1996 hingga Mei 1998, Garuda kebagian Rp 39,6 miliar.
Masuknya Bimantara
Proyek KKN berikutnya yang dihentikan penunjukannya oleh Kantor Tanri Abeng adalah broker asuransi pesawat terbang PT Bimantara Graha Insurance Broker yang didirikan Bambang Trihatmodjo pada tahun 1994.
Perusahaan itu pernah digugat karyawan Garuda karena diduga keras sangat berbau KKN. Sebelum keluarga Cendana dengan perusahaan asuransinya masuk, Garuda Indonesia bebas menentukan broker asuransi bagi armada pesawatnya.
Baca juga: Selundupkan Harley, Mantan Bos Garuda Indonesia Dituntut 1 Tahun Penjara
Namun, kemudian Garuda mendapat tekanan dan harus melalui perusahaan putra mantan Presiden Soeharto.
Putra-putra Soeharto jauh sebelumnya pada era Dirut Wiweko Soepono pernah datang ke Garuda Indonesian Airways menawarkan jasa asuransi.
Tetapi, waktu itu Wiweko masih bisa menolak mentah-mentah. Ia menasihatkan agar belajar dulu mengenai perasuransian yang ingin ditawarkan tersebut.
Mark-up pesawat
Kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN menyebutkan, proyek lain adalah pembelian (sewa operasi) pesawat MD-11 yang pengadaannya melibatkan Bimantara-nya Bambang Trihatmodjo.
Baca juga: Sederet Penyebab Krisis Keuangan Garuda Indonesia
Menurut catatan Kompas, harga sewa pesawat badan lebar buatan McDonnell Douglas (kemudian merger dengan Boeing) ini cukup tinggi, 1,1 juta dollar AS/pesawat/bulan atau 6,6 juta dollar AS per bulan untuk keenam MD-11 yang dioperasikan Garuda.
Sementara harga sewa pesawat tersebut sebenarnya bisa diperoleh lebih murah, sekitar 600.000 - 700.000 dollar AS per pesawat.
"Jadi ada mark-up dalam pengadaan armada MD-11 Garuda Indonesia," ungkap sumber Kompas.
Dengan harga sewa tersebut dan dihantam krisis moneter/ ekonomi, sewa-operasinya dirasa sangat memberatkan keuangan Garuda.
Baca juga: Menyelisik Biang Utama Garuda Berpotensi Bangkrut
Direksi Garuda, sebelum Robby Djohan ditunjuk, tampaknya agak ragu mengambil keputusan untuk mengembalikan MD-11 kepada lessor-nya.
Saat Dirut Garuda dijabat Soepandi, memang menyebutkan akan mengembalikan pesawat trijet MD-11 tersebut kepada Boeing.
Namun, pelaksanaannya baru dilakukan bulan Juli berikutnya oleh direksi di bawah Robby Djohan yang ingin secepatnya menekan angka kerugian.
Disebut pula oleh kantor Menneg Pendayagunaan BUMN tentang pembatalan kontrak kargo di Australia dan Amerika.
Kemudian penghentian keagenan untuk perawatan mesin dan modul mesin pesawat dan pembatalan pembelian pesawat Fokker F-100 dan peninjauan kembali kontrak keagenan di Jepang.
Baca juga: Utang Garuda Indonesia Membengkak Rp 70 Triliun, DPR Minta Audit Laporan Keuangan
Menurut catatan Kompas, kontrak kargo dan keagenan di Jepang melibatkan grup Bimantara.
Selain yang disebut Kantor Tanri Abeng, Kompas juga mencatat bahwa ada unsur mark-up dan KKN dalam pengadaan simulator Boeing 737-300/400 Garuda Indonesia.
Dari pengusutan Itjen Departemen Perhubungan, diketahui ada selisih sebesar 12,2 juta dollar AS untuk pengadaan simulator tersebut. Harga disebut 64,1 juta dollar, padahal simulator yang sama bisa dibeli sekitar 51,9 juta dollar AS.
Cucu Soeharto pun ikut
Masih di sekitar Garuda tapi tidak disebut kantor Menneg Pendayagunaan BUMN, yakni perusahaan yang disebut-sebut milik Ary Sigit, putra Sigit Harjojudanto atau cucu mantan Presiden Soeharto.
Baca juga: Bagaimana Garuda Keluar dari Lilitan Utang Menggunung dan Rugi Jumbo?
PT Autotrans Indonesia yang bergerak dalam bidang ground handling di Bandara Ngurah Rai, Bali. Perusahaan ini, menurut karyawan Garuda, dituding mendapat kontrak secara tidak wajar.
Tawaran kontrak perusahaan ini sempat ditolak karena terlalu mahal. Tetapi, sebelum putusan final diambil, Garuda mendapat telepon dari seorang petinggi negara yang menyebutkan agar menerima tawaran Autotrans.
Menurut catatan, Hutomo Mandala Putra yang akrab dipanggil dengan Tommy dengan PT Artasaka Nusaphala-nya juga ikut "bermain" di Garuda Indonesia, yakni saat BUMN ini akan menyewakan sejumlah Fokker F-28 kepada anak perusahaannya Merpati Nusantara.
Entah bagaimana, akhirnya pesawat dijual kepada Artasaka Nusaphala yang kemudian menawarkan pesawat tersebut kepada Merpati, tetapi ditolak oleh Dirut Ridwan Fataruddin dengan alasan harga sewa terlalu mahal.
Baca juga: Akankah Nasib Garuda Indonesia Sama seperti Merpati Airlines?
Kemudian, Artasaka Nusaphala mencoba masuk Merpati dengan menawarkan pesawat CN-235 buatan IPTN. Itu pun ditolak Ridwan Fataruddin karena dinilai harga sewa 110.000 dollar AS per bulan terlalu mahal.
Kesanggupan Merpati saat itu, menurut Ridwan, hanya 60.000 dollar AS atau maksimum 70.000 dollar AS per bulan.
Karena keberaniannya menampik tawaran-tawaran tersebut, Ridwan Fataruddin harus membayar mahal, ia digeser dari pucuk pimpinan Merpati Nusantara.
Unsur KKN juga menyentuh sampai ke bagian katering Garuda, Angkasa Citra Sarana, yakni di mana salah seorang dari keluarga Cendana mempunyai akses memasok sejumlah makanan dan minuman bagi dapur Garuda tersebut.
Baca juga: Hadapi Situasi Sulit, Dirut Garuda Indonesia: Kami Fokus Pemulihan Kinerja
Barang yang dipasok adalah minuman anggur dan daging ayam.
Begitu berpengaruhnya grup Bimantara dalam bidang kargo Garuda di Jepang sehingga pernah salah seorang pimpinan Garuda Indonesia di Negeri Sakura itu minta dipulangkan ke Jakarta.
Dia minta diganti dengan orang lain karena ada ketidakcocokan antara orang tersebut dengan grup ini.
Hingga kini permasalahan korupsi di tubuh Garuda belum usai. Kemarin Jaksa Penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah meminta Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 12 tahun pidana penjara terhadap mantan Direktur Teknik PT Garuda Indonesia, Hadinoto Soedigno.
Mantan Direktur Teknik PT Garuda Indonesia periode 2007-2012 Hadinoto Soedigno dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 8 bulan kurungan.
Jaksa meyakini Hadinoto telah terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap terkait pengadaan pesawat dan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia. Selain itu, Hadinoto juga dinilai terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Hadinoto dinilai terbukti melakukan suap dan pencucian uang terkait pesawat Airbus A330 dan A320, ATR 72 Serie 600, CRJ 1000 NG, dan mesin Rolls-Royce Trent 700.
"Menuntut supaya majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi menyatakan terdakwa Hadinoto Soedigno terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang," sebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Gina Saraswati di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (3/6/2021) dikutip dari Antara.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 12 tahun ditambah denda Rp 10 miliar subsider kurungan 8 bulan," tutur Jaksa Gina.
Tak hanya pidana penjara, jaksa juga menuntut agar Hadinoto membayar denda dan uang pengganti dengan total sekitar Rp 50 miliar. Untuk denda, jaksa menuntut Hadinoto membayar Rp 10 miliar subsider delapan bulan kurungan. Selain itu, Jaksa juga menuntut Hadinoto membayar uang pengganti sebesar US$ 2.302.974,08 atau sekitar Rp 32,89 miliar dengan kurs saat ini dan EUR 477.540 atau sekitar Rp 8,31 miliar.
Sebelumnya, jaksa mendakwa Hadinoto Soedigno telah menerima suap lebih dari Rp 80 miliar dari empat perusahaan produsen pesawat dan mesin pesawat. Suap dengan berbagai mata uang asing itu diberikan kepada Hadinoto terkait pengadaan pesawat dan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia. Suap itu diterima oleh Hadinoto bersama-sama dengan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan Captain Agus Wahjudo
Hadinoto didakwa menerima suap sejumlah US$ 2.302.974,08; EUR 477.540 dan Sin$ 3.771.637,58. Selain itu, Hadinoto juga didakwa menerima hadiah berupa pembayaran makan malam dan biaya penginapan senilai Rp 34.812.261 serta pembayaran biaya pesawat pribadi sebesar US$ 4.200. Uang itu diterima Hadinoto dari empat produsen pesawat dan mesin pesawat, yakni Airbus S.A.S, Rolls-Royce Plc, Avions de Transport Regional (ATR) melalui intermediary Connaught International Pte Ltd dan PT Ardhyaparamita Ayuprakasa milik Soetikno Soedarjo, serta dari Bombardier Canada melalui Hollingwingsworld Management International Ltd Hongkong dan Summerville Pasific Inc.
Jaksa menyebut uang dan hadiah tersebut diberikan agar Hadinoto bersama Emirsyah Satar selaku Dirut PT Garuda Indonesia ketika itu dan Capt Agus Wahjudo mengintervensi pengadaan pesawat dan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia.
Jaksa juga mendakwa Hadinoto melakukan pencucian uang karena mentransfer uang hasil suap ke sejumlah rekening
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar divonis hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider tiga bulan kurungan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Jumat (8/5/2020).
Emirsyah merupakan terdakwa kasus dugaan suap terkait pengadaan pesawat dan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia serta tindak pidana pencucian uang.
"Menyatakan terdakwa Emirsyah Satar terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang," kata Ketua Majelis Hakim Rosmina dalam sidang pembacaan putusan yang digelar melalui telekonferensi, Jumat.
Baca juga: Terdakwa Penyuap Emirsyah Satar Dituntut 10 Tahun Penjara
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK, yaitu 12 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 8 bulan kurungan penjara.
Selain pidana pokok di atas, Emirsyah juga dijatuhi pidana tambahan, yakni membayar uang pengganti senilai 2.117.315,27 dollar Singapura subsider 2 tahun kurungan penjara
"Terdakwa sebagai pemimpin seharusnya menjadi panutan bagi Garuda Indonesia, tetapi terdakwa melakukan tindakan yang mencurangi perusahaan, di mana banyak karyawan menggantungkan kehidupan pada perusahaan tersebut," jelas Rosmina.
Adapun hal yang meringankan bagi Emirsyah adalah berperilaku sopan selama persidangan serta mengakui dan menyesali perbuatannya
Suap tersebut berkaitan dengan pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS selama periode 2005—2014 pada PT Garuda Indonesia. Uang tersebut diduga diterima dari pendiri PT Mugi Rekso Abadi sekaligus beneficial owner Connaught International Pte. Soetikno Soedarjo, selaku perantara suap.
Sementara itu, Terdakwa kasus suap pengadaan dan perawatan pesawat Garuda Indonesia Emirsyah Satar dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Dia divonis 8 tahun penjara.
https://money.kompas.com/read/2021/0...page=all#page2
Diubah oleh jokowi.2024 07-06-2021 08:19






b.omat dan 2 lainnya memberi reputasi
-1
2.1K
34


Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!

Berita dan Politik
685KThread•51.3KAnggota
Urutkan
Terlama


Komentar yang asik ya