GudangOpini
TS
GudangOpini
PROMOSI BIPANG AMBAWANG KALIMANTAN DAN PERTANGGUNG JAWABAN HUKUM PRESIDEN JOKO WIDODO

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.

Advokat, Aktivis Gerakan Islam

Siang ini, Rabu, 12 Mei 2021 pukul 13.00 sd 14.30 WIB penulis diminta oleh PKAD untuk menjadi salah satu Narasumber diskusi dengan Tema : Antara Bipang Ambawang, OTT Bupati Nganjuk dan Ahli Hukum Sidang HRS.

Hadir pula Pembicara lainnya : Dr. Abdul Chair Ramadhan S.H., M.H. - Direktur HRS Centre dan Ust. M. Ismail Yusanto - Cendekiawan Muslim. Seperti biasa, acara ini dipandu oleh Host Cak Slamet Sugianto.

Sebagai catatan pengantar, penulis ingin memberikan persepektif hukum atas adanya kontroversi pernyataan Presiden Joko Widodo soal ajakan untuk memesan Bipang Ambawang Kalimantan, sehubungan dengan adanya larangan mudik dan dalam rangka menyongsong datangnya hari raya Idul Fitri 1542 H. Tiga hal yang ingin penulis ungkap: pertama, dalam kapasitas apakah pernyataan tersebut dilakukan? Kedua, apakah ada kesalahan dalam pernyataan Presiden Joko Widodo? Ketiga, apa dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban Presiden Joko Widodo atas masalah tersebut?

Pertama, siapapun yang menyimak pidato Presiden Joko Widodo soal Bipang Ambawang jelas dalam kapasitasnya sebagai Presiden Republik Indonesia, bukan dalam kapasitas pribadinya. Hal itu ditegaskan melalui pernyataan yang disampaikan mewakili pemerintah, dimana Presiden selain berkedudukan sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan.

Video yang diawali dengan prolog pernyataan pemerintah melarang mudik demi keselamatan bersama, menunjukkan pernyataan yang disampaikan bukanlah pernyataan pribadi melainkan pernyataan Joko Widodo dalam kapasitasnya sebagai Presiden Republik Indonesia. Dalam satu kesatuan kalimat, keseluruhan pernyataan yang ada didalam video dapat disimpulkan sebagai pernyataan seorang Presiden Joko Widodo yang ditujukan kepada segenap rakyat Indonesia.

Kedua, Dalam pernyataan Presiden Joko Widodo khususnya ajakan untuk memesan Bipang Ambawang Kalimantan, yang tidak bisa dipalingkan makanya kecuali sebagai makanan khas Kalimantan yang terbuat dari daging babi berupa babi panggang. Bipang adalah akronim dari babi panggang, sedangkan Ambawang adalah salah satu daerah di Kalimantan.

Pernyataan ini terkategori perbuatan tercela, tidak patut, dan menjatuhkan wibawa seorang Presiden Republik Indonesia. Pernyataan yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo terkategori perbuatan melawan hukum secara materil yakni bertentangan dengan norma susila, etika kepatutan umum dan norma agama (Islam).

Secara susila, tak layak menawarkan makanan dari daging babi kepada umat Islam yang sedang berpuasa dan menjelang hari raya idul Fitri. Secara etika, jelas tindakan ini cacat moral. Secara agama (Islam), tindakan semacam ini terkategori maksiat karena mengajak melakukan perbuatan yang diharamkan Allah SWT.

Ketiga, Bentuk pertanggungjawaban atas kesalahan tersebut hanya bisa ditempuh dengan cara Presiden Joko Widodo mengundurkan diri dari jabatannya karena terbukti melakukan tindakan tercela yakni perbuatan yang menjatuhkan wibawa Presiden sebagaimana dimaksud dalam pasal 7A UUD 1945. Jika Presiden Joko Widodo enggan mengundurkan diri (atau berhenti), maka DPR RI dapat menempuh upaya untuk mengaktifkan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) dan meminta kepada Mahkamah Konstitusi agar Presiden diberhentikan dari jabatannya karena terbukti melakukan perbuatan tercela.

Keadaan ini sejalan dengan gugatan yang diajukan TPUA kepada Presiden Joko Widodo dan DPR RI melalui pengadilan negeri Jakarta Pusat, sehubungan dengan adanya perbuatan melawan hukum Presiden Joko Widodo yang telah melakukan perbuatan tercela atau tidak patut. Hanya saja, perbuatan tercela dalam gugatan a quo bukanlah terkait bipang Ambawang, tetapi karena banyaknya kebohongan publik berupa diingkarinya berbagai janji politik Presiden Joko Widodo dari soal tidak akan menambah utang, tidak import, hingga soal buy back Indosat.

Mengenai adanya tuntutan Joko Widodo dipersoalkan melalui ketentuan pasal 156a KUHP, penulis juga sependapat karena perbuatan yang dilakukan telah menodai agama (Islam), dimana sudah diketahui secara umum daging babi hukumnya haram dan menawarkan hidangan dari daging babi kepada umat Islam yang sedang berpuasa dan menunggu perayaan idul Fitri jelas merupakan pelecehan dan/atau penodaan agama. Hanya saja, pertanggungjawaban berdasarkan keterangan pasal 156a KUHP ini bersifat pribadi, bukan atas kapasitas Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia.

Dalam kasus penodaan agama, Joko Widodo terancam pidana 5 (lima) tahun penjara. Pasal penodaan agama, adalah pasal yang dahulu pernah mengantarkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berstatus narapidana. [].

MWIMRSNAILabunsaurusspiritonline
spiritonline dan 17 lainnya memberi reputasi
-4
4.5K
65
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Citizen Journalism
Citizen Journalism
icon
12.4KThread3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.