NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Terorisme Papua Merdeka Akhiri Islamophobia RI
Spoiler for Teroris Separatis Papua:


Spoiler for Video:


Bertahun-tahun lamanya, jika kita mendengar istilah teroris, maka yang kita bayangkan adalah mereka yang berteriak mengucapkan takbir sambil meledakkan dirinya. Bertahun-tahun lamanya stereotip itu melekat di benak orang banyak, lewat pemberitaan aksi terorisme, foto-video teroris, hingga film yang menceritakan tentang serangan teroris.

Perbuatan teror yang identik mengatasnamakan Islam pun turut melekat di benak rakyat Indonesia. Itulah mengapa, selama ini pencegahan dan penanganan terorisme selalu menggunakan pendekatan agama Islam. Seperti melalui program deradikalisasi yang acap kali diserahkan kepada ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU).

Penanganan terhadap pelaku terorisme yang notabene merupakan penindakan hukum terhadap rakyat sipil menyebabkan aparat yang menanganinya pun harus berasal dari Korps Bhayangkara, dalam hal ini Densus 88. Detasemen Khusus anti tereor yang memberantas terorisme dengan cara yang senyap serta tepat sasaran tanpa menimbulkan kerusakan imbasan (collateral damage).

Namun semua ketetapan itu kini berubah. Teroris tak lagi identik dengan Islam. Cap teroris juga berlaku bagi Kelompok Kriminal Bersenjata - Organisasi Papua Merdeka (KKB – OPM) yang kini dikategorikan Kelompok Teroris – Separatis serta memiliki persenjataan dan pangkat militer tersendiri.

Pemberian label terorisme terhadap kelompok separatis Papua ternyata mendapat perlawanan dari kelompok aktivis maupun tokoh-tokoh Papua. Sebab mereka mengetahui pemberian label teroris terhadap OPM dapat memberikan stigma negatif pada rakyat Papua itu sendiri ketika berkaca pada penanganan teroris Islam selama ini.

Serupa teroris Islam yang memiliki ciri berjanggut panjang dan celana cingkrang yang erat degan radikalisme – terorisme, maka orang Papua yang kemungkinan besar memiliki ciri kulit hitam dan rambut keriting akan mendapatkan stigma sebagai teroris pula sehingga menimbulkan rasialisme.

Oleh karena itu, memberikan label terorisme terhadap OPM merupakan cara berisiko tinggi yang dapat memecah belah persatuan bangsa. Akan tetapi, seandainya formulasi penanganan terorisme nantinya dapat menghilangkan stigma dari label-label tersebut, maka masuknya penanganan terorisme Papua dapat menjadi cara agar pemerintah lepas dari kesan Islamophobia yang selama ini melekat di benak sebagian rakyat Indonesia. Sekali tepuk dua lalat.

Demi mewujudkannya, perlu ada perubahan yang menyeluruh terhadap metode penanganan terorisme selama ini. Apa saja perubahannya? Mari kita simak paparan berikut.

Pada 29 April 2021, pemerintah secara resmi menyatakan KKB sebagai kelompok teroris. Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan keputusan itu merupakan sikap balasan dari pemerintah terhadap sederet penyerangan KKB di Papua terhadap masyarakat sipil dan aparat TNI-Polri.

Oleh karena itu, Menko Mahfud meminta seluruh aparat keamanan segera melakukan tindakan tegas dan terukur menurut hukum kepada KKB. Dalam arti jangan sampai menyasar ke masyarakat sipil.

Penetapan status terorisme Papua tentunya nanti akan mengubah wajah dari regulasi penanganan terorisme. Selama ini, dalam hal perburuan teroris, pemerintah menggunakan Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri. Sedangkan dalam melumpuhkan KKB pemerintah membentuk Satgas Nemangkawi yang terdiri dari gabungan  jajaran TNI-Polri.

Jika Densus 88 turut bergabung menangani teroris Papua, maka nantinya akan ada tumpang tindih penanganan antar korps. Perebutan wewenang antara Densus 88 dengan Satgas Nemangkawi.

Sumber : Detik[Label Teroris untuk KKB Papua Akhirnya Jadi Nyata]

Namun bukan soal perebutan wewenang saja yang jadi masalahnya. Densus 88 sudah terbiasa dengan penanganan terorisme Islam. Lembaga anti teror tersebut tentunya akan sangat sulit melakukan perburuan maupun pencegahan terorisme separatis. Sebab lembaga anti teror seperti Densus 88 akan mengacu pada Perpres RAN-PE, terutama dalam hal pencegahan ekstremisme yang identik dengan radikalisme Islam.

Berbeda dengan terorisme Islam, teroris di Papua sudah memiliki organisasi yang cukup kuat, terstruktur serta mendapat dukungan dari sebagian masyarakat. Itulah mengapa anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin mengingatkan agar pasukan yang dilibatkan dalam pemberantasan separatis di Papua harus benar-benar terstruktur dan terkendali dengan baik.

Menurut Hasanuddin, Komando Pengendalian (Kodal) penumpasan teroris di Papua harus jelas, siapa yang bertanggung jawab kepada siapa. Kemudian, sistem koordinasi seperti apa dan yang terpenting targetnya pun harus terukur dengan baik dan tetap memerhatikan HAM.

Oleh karena itu, demi menunjang keberhasilannya, maka pemerintah harus segera mengeluarkan Perpres tentang keterlibatan TNI dalam pemberantasan teroris.

Sumber : JPNN [Agar Tidak Kedodoran, Segera Terbitkan Perpres Keterlibatan TNI Menumpas KKB]

Selain itu, penanganan terorisme di Indonesia diiringi dengan program deradikalisasi yang selama ini dikuasai oleh NU. Masuknya Papua sebagai teroris, maka program deradikalisasi teroris harus berbeda. Sebab program deradikalisasi Papua tidak bisa samata-mata mengandalkan moderasi agama seperti yang selama ini dilakukan terhadap terorisme Islam.

Maka kita dapat simpulkan, bahwa penambahan teroris jenis baru, yakni teroris separatis Papua otomatis telah membuka mata rakyat Indonesia bahwa terorisme tidak selalu berhubungan dengan Islam.

Namun penanganan terorisme yang selama ini sudah berkutat pada terorisme Islam tidak akan bisa digunakan dalam menangani teoris Papua. Belum lagi sifat teroris Papua yang terorganisir dengan baik dan mendapatkan simpati sebagian masyarakat Papua, membutuhkan aktor pemberantasan separatis – teroris yang tepat. Jika aparat Kepolisian terbiasa menangani teroris sipil yang mengatasnamakan agama, maka TNI akan sangat tepat menangani teroris separatis yang inginkan kemerdekaan dari Indonesia.

Sehingga penetapan status terorisme Papua merupakan momen yang tepat untuk mengocok ulang Perpres RAN PE dan Perpres TNI tangani terorisme serta mengocok ulang program deradikalisasi yang selama ini semata-mata mengandalkan moderasi agama, serta menahan diri untuk mempertontonkan  bukti-bukti yang diidentikkan dengan label terorisme agar tidak menyasar simbol identitas yang ada di masing-masing pelaku teror. Misalnya tidak menampilkan ketapel, panah, warna kulit, serta pakaian sebagai simbol-simbol yang menunjukkan pelaku teror.

Jika berhasil mendapatkan formula penanganan teroris yang tepat, maka dalam penanganan terorisme nantinya baik  terhadap separatis maupun radikalis,  pemerintah tidak akan terjebak dalam stigma rasialis terhadap rakyat Papua maupun stigma Islamophobia terhadap umat Islam.
Diubah oleh NegaraTerbaru 03-05-2021 14:43
Nikita41
Nikita41 memberi reputasi
1
1.1K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.7KThread82.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.