widya poetraAvatar border
TS
widya poetra
Menkes Era SBY Kuliti Efektivitas Vaksin Sinovac, Begini Pemaparannya



MANADOPOST.ID– Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dan pakar epidemiologi dr Tifauzia Tyassuma kompak menguliti efektivitas vaksin Sinovac.

Dokter cantik yang akrab disapa dr Tifa ini mentatakan ada tiga hal yang harus diperhatikan sebelum memilih dan menggunakan vaksin.

“Yang pertama tentu saja soal keamanan atau safety, kemudian yang kedua adalah efektivitas, kemudian yang ketiga adalah imunogenitas,” ucap dr Tifa di kanal YouTube Siti Fadilah Supari Channel.

Imunogenitas, kata dr Tifa, artinya bagaimana vaksin ini berhasil membangun anti bodi yang diperlukan untuk mencegah infeksi virus.

Tiga hal ini, menurut dr Tifa, kurang disosialisasikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Padahal, kata dia, safety, efektivitas dan imunogenitas hanya bisa didapatkan dari uji klinis fase tiga.

Dikatakan dr Tifa, vaksin yang digunakan di Indonesia, termasuk vaksin Sinovac, belum selesai uji klinis fase tiga.

“Seharusnya nih kalau kita mau ambil vaksin untuk kita pilih, kita harus memilih vaksin mana yang sudah selesai uji klinis fase tiganya,” ucapnya.

“Dan pemerintah kalau mau belanja juga harus belanja vaksin yang sudah selesai fase tiganya,” sambungnya.

Dr Tifa menegaskan dirinya bukan menolak vaksin. Tapi panduannya tetap harus diikuti sebelum menggunakan vaksin.

Dia mengaku senang sekali dengan adanya vaksin karena hal itu merupakan salah satu stratgei untuk mempercepat pelandaian pandemiCovid-19. “Tetapi dalam memilih vaksin, seharusnya diketahui hasil uji klinis fase tiga,” ucapnya.

Kalau pun belum ada hasil uji klinis fase tiga, maka bisa meminjam uji klinis fase tiga negara lain dengan vaksin yang sama.

“Untuk diketahui vaksin pertama yang dibeli pemerintah, yaitu Sinovac, itu kan belum selesai uji klinis fase tiganya,” ucapnya.

Artinya, kalau mau pakai vaksin Sinovac, maka harus meminjam uji klinis yang sudah selesai di negara lain.

Dr Tifa juga menyoroti uji klinis vaksin Sinonac di Indonesia yang jumlah sampelnya sangat kecil, hanya 1.620 orang.

Itu pun mayoritas sampelnya hanya ada di satu provinsi, yakni Jawa Barat. Padahal jumlah penduduk Indonesia 270 juta jiwa lebih.

Di negara lain, kata dia, sampel uji klinis cukup representatif dan menyebar ke semua provinsi.

Di Turki misalnya, jumlah sampelnya sebanyak 10.000 lebih. Padahal jumlah penduduknya hanya 82 juta jiwa, jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia.

Di Brazil, sampel uji klinis vaksin Sinovac sebanyak 13.000 ribu dengan jumlah penduduk 211 juta jiwa lebih.

“Di Brazil sebanyak 13.000 relawan uji klinis. Itu cukup representatif. Dan efektivitasnya hanya 54 persen,” kata dr Tifa.

“Artinya, akan ada orang sebanyak 50,4 persen yang terbentuk anti bodinya, ada yang tidak,” tambahnya.

Rendahnya efektivitas vaksin Sinovac dikritisi mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Dengan rendahnya efektivitas Sinovac, maka orang divaksin atau tidak hasilnya sama saja, bisa juga tidak.

“Kan ada batasnya kapan disebut efektif, yaitu kalau efektivitasnya di atas 50 persen. Tapi kalau di atasnya cuma 53 atau 54, berarti podo wae. Divaksin sama gak divaksin sama saja fifty-fifty bisa kena,” cetus Siti Fadilah.

Dr Tifauzia Tyassuma alias dr Tifa mengatakan, semua vaksin Covid-19 yang digunakan Indonesia tercatat di WHO sebagai fase 4.

“Di WHO itu, dalam listingnya itu ditulis masuk di dalam fase 4. Nah harus tahu ini apa maksudnya fase 4,” ucap dr Tifa.

Siti Fadilah lantas menjawab bahwa yang masuk fase 4 itu adalah orang yang sudah divaksin.

“Kita-kita ini, yang disuntik masuk fase 4. Makanya perlu sekali pencatatan bahwa KTP-nya mana, ininya mana, karena nanti diikutin, apakah ada site effeck (efek samping), apakah terus mati, matinya berapa, yang catat berapa, waduh,” cetus Siti Fadilah.

“Itulah yang namanya human challenge atau human experimental,” kata dr Tifa menimpali ucapan Siti Fadilah.(pojoksatu/fajar)


sumber


dr. yang teriak-teriak lockdown-lockdown
terus kabur begitu perumahannya inisiatif lockdown. emoticon-Ngakak (S)

Ini dikira kondisi normal kali ya
kalo kita nunggu setelah uji klinis 3 selesai baru nyari vaksin
ya udah gak kebagian, semua negara nyari, barang terbatas
kalau pemerintah gak bisa nyediain vaksin atau nyediainnya cuman dikit,
ane menebak si dokter ini bakal teriak: pemerintah lamban, tidak mengutamakan kesehatan. emoticon-Ngakak (S)


ini mantan menteri kesehatan juga ngaco,
mungkin kebanyakan makan teori konspirasi.

Quote:

bisa kontradiksi begitu pernyataannya:
efektif jika di atas 50%,
53-54% dibilang sama saja dengan gak divaksin.
Logikanya bijimana itu emoticon-Hammer

Efektivitas 50 persen
bisa kita bilang:
Jika 100 orang divaksin, maka ada 50 orang potensi terjangkit covid.

Keliatannya kok kecil? Ya coba dibandingkan dengan
Jika ada 100 orang tidak divaksin, yang punya potensi terjangkit covid berapa? 100 juga.

Karena rumusnya adalah = (Tidak divaksin tertular - Divaksin tertular) / Tidak divaksin tertular x 100% = (100-50)/100 x 100% = 50%.

Artinya pernyataan bu mantan menkes yang ini "Divaksin sama gak divaksin sama saja fifty-fifty bisa kena" jelas ngaco. Dengan efektivitas 50% ya yang divaksin berkurang risiko kenanya 50% dibanding yang tidak divaksin.


Bu Siti ini dulu bisa dibilang beruntung karena flu burung lenyap dengan sendirinya karena gak muncul infeksi dari manusia ke manusia yang sustainable,
kalo model menkes kek gini kebetulan menjabat saat 2020 kemarin,
ane kira kita bakal jauh lebih hancur2an ketimbang menkes dijabat Teracloud.
Jadi anggap aja menkesnya Teracloud kita masih agak beruntung.

emoticon-Ngakak
bocah.ml
viniest
suteragordyn
suteragordyn dan 54 lainnya memberi reputasi
49
7.9K
213
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.7KThread40.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.