the.commandosAvatar border
TS
the.commandos
Siapa Saja Dalang Penikmat Kerugian Rp 500 Triliun PLN?
Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengaku merugi hingga Rp 500 triliun, proyek 35 ribu megawatt pun menjadi kambing hitam kerugian besar di tubuh BUMN energi tersebut. Proyek yang sudah berjalan lebih dari enam tahun itu jauh dari target.

Alih-alih elektrifikasi merata, PLN kini makin terpuruk akibat pemburu rente di balik megahnya proyek 35 ribu MW. Lantas siapa dalang ambrolnya keuangan PLN? Benarkah kerugian itu secara sistematis diciptakan untuk mengeruk pundi keuangan PLN? Layakkah proyek 35 ribu MW dilanjutkan?

Baca juga : Banyak Utang, PLN Diminta Pikir Ulang Proyek Ambisius Jokowi Ini
Persoalan yang merundung PT PLN seakan tak pernah habis. Sejak ditetapkannya Direktur Utama PLN periode 2001-2008, Eddie Widiono, sebagai terpidana korupsi pada akhir Maret 2010 lalu, seketika PLN dicap sebagai perusahaan yang menjadi mesin ATM bagi para koruptor.

Pejabat yang duduk sebagai Direktur Utama sesudahnya turut mengikuti langkah Eddie, diterpa isu korupsi. Beragam masalah terus muncul dalam tubuh PLN hingga Sofyan Basrir menahkodai perusahaan pelat merah itu pada 2014-2019. Tak berbeda jauh dengan para pendahulunya, kehadiran dia justru membuat benang kusut yang ada dalam perusahaan setrum makin semrawut.


Proyek 35 ribu MW ini bermula ketika Presiden Joko Widodo atau Jokowi meluapkan ambisinya meluncurkan proyek pembangkit listrik. Diresmikan pada 4 Mei 2015, proyek mercusuar ini dianggap sebagai yang terbesar dalam sejarah bisnis PLN.

Bertempat di Goa Cemara kawasan pantai Samas, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jokowi meluncurkan proyek tersebut ditemani oleh tiga anak buahnya, Menteri BUMN Rini Sumarno, Menteri ESDM Sudirman Said, dan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir. Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X juga hadir dalam peluncuran proyek yang direncanakan bakal rampung selama lima tahun itu.

Adapun alasan Jokowi menggarap proyek itu dilatarbelakangi kebutuhan listrik yang diasumsikan akan meningkat seiring dengan tumbuh tingginya perekonomian nasional.

Lantas mengapa PLN merugi ratusan triliun? Ternyata kerugian itu tidak lain disebabkan salahnya tata kelola pembangunan pembangkit listrik yang lebih banyak dibangun di Pulau Jawa. Belum lagi mahalnya biaya pembangunan untuk satu PLTU menghabiskan biaya triliunan rupiah tanpa ada penghitungan yang detail dan jelas sehingga menimbulkan kerugian negara.



Salah satu sumber Law-Justice.co yang sering melakukan pekerjaan dengan PLN menyebut, kerugian PLN yang terbesar karena pembangunan pembangkit yang masif di Pulau Jawa tanpa perhitungan yang detail dan juga persoalan tingginya biaya operasional yang diduga menjadi bancakan mulai dari pengadaan batubara hingga biaya perawatan yang dinilai ugal-ugalan menggerus uang negara.

"Sekarang coba cek, tahun 2010 PLN untung Rp 6,1 triliun pada semester I 2010. Artinya dengan harga batubara yang tinggi, plus dengan PLTU yang skemanya benar, PLN bisa untung. Tahun 2015 PLN rugi Rp 27,4 triliun. Ini ruginya kenapa? Aneh dong. Artinya ada operasional yang enggak benar," jelasnya.

"Kedua, ada yang namanya development yang enggak beres. Ingat, saat itu enggak ada yang namanya subsidi listrik loh," tambah sumber tersebut.

Dalam perjalanan bisnis dan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan ini, selalu berpatokan pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). RUPTL ini disebutkan target dan rencana pembangunan pembangkit listrik yang disesuaikan dengan kebutuhan listrik nasional dan elektrifikasi yang diinginkan. Pada era Presiden Soeharto, rezim itu sudah membangun PLTU dengan kekuatan hingga 7 ribu MW. Pada era Presiden Habibie, pembangunan pembangkit listrik tidak pernah berjalan, begitu juga di era Presiden Gus Dur dan Megawati.

Pembangunan pembangkit listrik semakin masif dimulai pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Era SBY itu mampu membangun PLTU dengan kekuatan 10 ribu MW dengan ditunjang 244 PLTU disesuaikan dengan spesifikasi batu bara, mulai dari yang berkalori rendah hingga tinggi.

Dalam perjalanannya, proyek 10 ribu MW yang dijalankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu hanya sekitar 18 persen yang mangkrak karena berbagai persoalan dari mahalnya biaya pembangunan hingga meningkatnya harga batu bara gas dan solar diesel.

Untuk pembangunan pembangkit listrik ini, sepenuhnya biaya dibebankan kepada swasta dan PLN wajib membeli listrik sesuai dengan harga yang sudah ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri ESDM No.3 tahun 2015 tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik dan Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik dari PLTU Mulut Tambang, PLTU Batubara, PLTG/PLTMG, Dan PLTA Oleh PT PLN (Persero) melalui Pemilihan Langsung dan Penunjukan Langsung.

Dengan aturan ini diharapkan PLN yang nantinya akan membeli listrik dari swasta/IPP (Independent Power Producer) bisa menentukan sendiri harga patokan tanpa persetujuan Menteri ESDM. Menteri ESDM hanya menetapkan harga patokan tertinggi. Sesuai ketentuan Pasal 6 Permen ESDM No. 3 Tahun 2015, untuk memudahkan pelaksanaan negosiasi antara PT PLN (Persero) dengan pengembang, Menteri menetapkan harga patokan tertinggi. Harga patokan tertinggi pembelian listrik dari PLTU Mulut Tambang berkapasitas 100 MW ditetapkan sebesar 8,209 cent dollar AS per kWh.

Dengan kapasitas yang sama, harga patokan tertinggi pembelian listrik dari PLTU Non Mulut Tambang ditetapkan sebesar 8,34 cent dollar AS per kWh. Harga patokan tertinggi pembelian listrik dari PLTG/PLTMG berkapasitas 100 MW ditetapkan sebesar 7,31 cent dollar AS per kWh. Dengan kapasitas sama, harga patokan tertinggi pembelian listrik dari PLTA ditetapkan sebesar 8 cent dollar AS per kWh.

"Sebelum membangun PLTU, dia harus dipetakan dulu nih, kebutuhan batubara berapa, PLTU yang dibangun berapa, terus kita sistem transportasi batubaranya gimana. Karena batubaranya harus diantar ke PLTU. Terus ada lagi penjualannya gimana," kata sumber Law-Justice.

"Kita dulu membuat RUPTL awal itu butuh waktu kurang lebih satu tahun setengah, itu di tahun 2008. Sebelum RUPTL itu kita pastikan, kita ada banyak PLTU dibandingkan EBT. EBT itu di awal-awal kurang lebih cuma 8 persen, kalau yang saat ini kan sampai 20 persen," tambahnya.

Proyek 35 Ribu Megawatt Bermasalah
Sementara itu, Direktur Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan, megaproyek pembangkit listrik 35 ribu MW akan terlambat dari jadwal yang sudah ditentukan. Megaproyek listrik 35 ribu MW sebelumnya diproyeksikan akan selesai pada 2019 namun pemerintah merevisi jadi tahun 2025.

Adanya pandemi Covid-19 ditambah dengan proyeksi listrik yang baru sekitar 6000 MW, megaproyek tersebut akan kembali molor ke tahun 2029. Pembangunan megaproyek pembangkit listrik 35 ribu MW akan terlambat karena saat ini sedang adanya pandemi Covid-19 ditambah keadaan ekonomi yang sedang stagnan.

Pemerintah memproyeksikan kalau pertumbuhan ekonomi berada di angka 7-8 persen tidak sesuai target dan memaksa kalau megaproyek tersebut tertunda.

"Karena demand-nya rendah. Dulu kan kita proyeksi 7-8 persen pertumbuhan ekonominya, pertumbuhan listrik bisa 1,2 kali. Tapi kan cuma 5 persen pertumbuhan ekonomi, malah pertumbuhan listriknya di bawah itu, cuma 4,5 persen," kata Rida melalui keteranganya.

Meski begitu, Rida menuturkan bila tertundanya megaproyek tersebut di sisi lain dapat memberikan keuntungan karena pasokan listrik bisa diserap. Pada 2020 pemerintah menargetkan 8.823 MW bisa masuk tahapan commercial on date (COD). Sedangkan realisasi operasi pembangkit listrik dalam program 35 ribu MW pada tahun lalu telah mencapai 6.811 MW.

"Tahun 2020 merupakan puncak penyelesaian dari program 35 ribu MW. Sejumlah 8.823 MW kalau tidak ada aral melintang akan mencapai commercial operation date," kata Rida.

Sedangkan porsi total kapasitas terpasang pembangkit listrik sampai akhir 2019 mencapai 69,57 GW yang terdiri dari 60 persen Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), disusul Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU), dan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) sebesar 29 persen.

“Disusul oleh pembangkit EBT sebesar 15 persen dan 4,6 GW atau 6,7 persen dari panas bumi,” kata dia.

Sedangkan pembangunan jaringan transmisi sampai akhir 2019 mencapai 60.102 KMS dengan rincian 59.387 dibangun PLN dan 714 KMS dibangun non PLN.

“Sedangkan pembangunan Gardu Induk sampai akhir 2019 mencapai sebesar 151.136 MVA dengan rincian 148.641 MVA dibangun PLN dan 2.495 MVA dibangun non PLN,” kata dia.

Sementara itu, Ketua Harian Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang turut menyoroti mahalnya harga listrik. Biaya investasi dan produksi di Indonesia yang jauh lebih tinggi dibanding negara lainnya dinilai menjadi penyebab mahalnya harga listrik di tanah air.

“Harga lahan tiba-tiba melonjak saat akan dibebaskan. Belum lagi biaya dana (cost of fund) di sini mahal sekali. Di sana cuma dua persenan. Di sana juga pengusaha dapat free tax, sedangkan di sini masih ada pajaknya dan sebagainya,” ujar Arthur melalui keterangannya.

Menurut Arthur, harga listrik energi baru terbarukan (EBT) di beberapa negara di Uni Emirat Arab memang akan lebih murah dibanding harga listrik EBT yang dijual di Indonesia.

Harga listrik EBT di UEA dijual di kisaran 2,25 sen per KWH hingga 2,99 sen per KWH. Solar tenaga matahari 150 MW dijual dengan harga 2,99 sen per KWH, dan 200 MW 2,42 sen per KWH. Sedangkan di Indonesia, harga listrik EBT dipatok di kisaran 15 sen per KWH hingga 18 sen per KWH.

Arthur mengatakan proses perizinan dan birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama membuat harga listrik di tanah air sulit bersaing dengan negara lain.

“Lamanya perizinan ini kan biaya juga, kita dibayang-bayangi ketidakpastian,” kata dia.

Menurut Arthur, pengusaha di sana juga mendapat kesempatan membangun pembangkit dalam skala besar. Sehingga investasinya lebih efisien. Selain itu, biaya logistik di Indonesia juga lebih mahal. Sebab infrastruktur belum memadai dan kondisi alam di Indonesia sangat berat.

“Biaya logistik kita di Indonesia ini kan yang tertinggi di ASEAN. Yakni, 29 persen dari produk domestik bruto (PDB). Tingginya biaya logistik membuat biaya kita membangun infrastruktur listrik sangat tinggi,” ungkap Arthur.

Sementara itu, ada beberapa korporasi swasta yang melakukan kerja sama dengan PLN. Di antaranya PT Berau Coal dan PT Multi Harapan Utama. Namun, sampai berita ini diturunkan kedua perusahaan tersebut tidak melakukan konfirmasi secara jelas mengenai kerjasama perusahaan tersebut dengan PLN terkait megaproyek listrik 35 ribu MW.

Law-Justice juga sudah mencoba menghubungi Dirut PLN Zulfikar Zaini terkait rincian megaproyek Listrik 35 ribu MW yang molor dari waktu yang ditentukan. Sampai berita ini diturunkan Dirut PLN belum memberikan konfirmasi terkait hal tersebut. Begitipun pejabat jajaran PLN yang lain belum memberikan konfirmasi.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan dalam megaproyek 35 ribu MW ini ada kaitanya dengan rencana umum energi nasional (RUEN) makro yang ditetapkan pada 2017 namun sudah tidak lagi relevan. Oleh karena itu, DEN akan mengevaluasi target-target bauran energi, termasuk target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025.

"RUEN dibentuk dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 7-8 persen. Ambisius dan tinggi sekali. Otomatis itu akan menciptakan demand kalau kita menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi bagus. Namun, siapa sangka 2020 dapat tabrakan berat pandemi global, ada social distancing yang membuat demand berkurang," katanya saat dihubungi.

Menurutnya, dengan kondisi saat ini sangat berat untuk mengejar target 23 persen pada 2025. Maka dari itu, DEN akan mengevaluasi RUEN dengan dua pendekatan.

Pendekatan yang dilakukan adalah dengan penyesuaian terhadap target bauran EBT atau dengan menstimulasi berbagai kebijakan yang dapat mendorong tercapainya target EBT yang telah ditetapkan.

"Kita lihat perkembangannya belum menggembirakan target 23 persen tahun 2025. Kita melihat hari ini ada sekitar 10-11 persen, itu menurut saya sangat berat untuk mengejar 23 persen," ujarnya.

Siapa Dalang Keuangan PLN Terus Defisit?
Sumber yang ditemui Law-Justice menjelaskan, persoalan utama yang menyebabkan amburadulnya keuangan PLN adalah tata kelola keuangan yang tidak transparan terutama soal pembelian batubara dan pembangunan infrastruktur PLTU. Kedua persoalan ini dianggap menjadi sarana untuk mencari untung dengan dalih pembangunan pembangkit untuk mendukung kebijakan 35 ribu MW.

Sumber itu juga menyebut jika ada dosa dari direksi terdahulu yang menyebabkan keuangan PLN berdarah-darah. Kata dia, bekas jajaran Direksi yang dipimpin Dahlan Iskan diduga punya andil besar dari kerugian yang dialami PLN saat ini. Kebijakan direksi di masa lalu dianggap memberi celah terus merugi terutama soal dugaan permainan harga beli batubara dan harga listrik yang tidak sebanding.

Sementara itu, Bekas Ketua Serikat Pekerja PLN Ahmad Daryoko juga memberi penjabaran mengenai harga listrik yang melejit namun keuangan PLN terus merugi. Menurutnya, ini karena industri listrik tidak ada persaingan.

"Kenapa listrik bisa mahal harganya karena mereka enggak ada saingan. Telkom dan industri pesawat itukan ada saingannya. Tapi tidak bisa dipukul rata, disamakan dengan listrik, jadi listrik ini memiliki suatu karakter unik," kata Ahmad Daryoko saat dihubungi.

Ahmad menjelaskan kondisi PLN saat ini ibarat makan buah simalakama karena selain dituding melakukan monopoli listrik. Swasta banyak menggunakan transmisi milik PLN meski pembangkitnya bersaing.

Ada beberapa yang ngomong PLN ini monopoli listrik gitu, ini harus dipersaingkan tapi mau gimana kan kabel depan rumah kita yang jelek gitu. Harusnya kan bisa dikondisikan misal ada kabel hitam yang punya pln, terus kuning punya pak Jusuf Kalla dan lain sebagainya. Jadi kalau listrik masih mahal bisa beralih ke yang lain tapikan ini PLN semua yang pasang badan," jabarnya.

Ahmad menuturkan bila hari ini kabel listrik PLN yang dipakai sangat seadanya jadi tidak bisa dipersaingkan. Walau pembangkit listriknya banyak dari swasta.

"Meski pembangkitnya bersaing namun kalau kita mau pesan listrik langsung minta ke pembangkitnya kan gabisa. Jadi inikan tetap aja PLN yang kenanya. Jadi listrik ini enggak bisa dipersaingkan. Bukan commercial good," tuturnya.

"Jadi misalnya walau pembangkit itu pakai yang swasta tapi tetapkan transmisinya pake PLN ya jadikan ini PLN cuma jaga kawat listrik aja makanya utangnya nambah banyak," sambungnya.

Sedangkan Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Irres) Marwan Batubara menilai kerugian PLN selama ini karenanya banyak menjadi bancakan dari pemburu rente yang ada di lingkaran hulu ke hilir pengadaan kebutuhan listrik.

"Kerugiannya karena ada perburuan rente. Tidak bisa hanya sekedar menyalahkan PLN saja, rata-ratakan ini di posisi strategisnya isinya orang orang Istana juga. Ini sejak zaman Dahlan Iskan memang PLN ini sudah dikuasai oleh swasta jadi PLN ini hanya sekedar pelaksana saja," jelas Marwan kepada Law-Justice.

Hutang yang Membenani Rakyat
Berdasarkan data yang disampaikan Kementerian BUMN per September 2020 total utang Perusahaan Plat Merah saat ini mencapai Rp 1.682 triliun rupiah. Meningkat jika dibandingkan periode tahun tahun 2018 (Rp 1.351 T) dan tahun 2019 (Rp 1.393 T). Kajian dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menunjukkan bahwa beban utang tersebut berbanding turut pula diiringi dengan kinerja BUMN yang menurun sehingga tumpukan BUMN akan menjadi beban APBN.

Ekonom Senior INDEF Didik J Rachbini mengatakan, tumpukan utang pemerintah era presiden Jokowi meningkat 150 persen jika dibandingkan dengan akhir masa jabatan residen Susilo Bambang Yudhoyono. SBY mewariskan utang di akhir masa jabatannya sebesar 2.700 triliun, sementara utang pemerintah saat ini mencapai Rp 6.336 triliun.



"Hanya dalam waktu 6 tahun, utang selama puluhan tahun tersebut di-by pass lebih dari 2 kali lipat. Kalau ditambah utang warisan BUMN perbanknan dan non perbankan, utang kita sekarang ini mencapai Rp 8.000 triliun," ujar Didik.

Didik menerangkan, salah satu faktor yang menyebabkan utang pemerintah bisa semasif saat ini karena telah terjadi pelemahan di lembaga Legislatif. DPR disebut tidak lagi memiliki taring untuk mengerem kebijakan utang pemerintah.

"DPR-nya sekarang lumpuh. Kekuasaan eksekutif saat ini beralih ke legislatif. Sudah seperti Orde Baru. BUMN itu menjadi tumpukan utang, perkara risiko dipikran belakanga. Padahal, utang BUMN itu adlah utang publik juga," imbuh Didik.

Fakta tersebut diperparah dengan adanya riset terbaru yang menyebutkan bahwa tingkat profesionalitas pucuk pimpinan BUMN hanya sekitar 40 persen. Artinya, banyak BUMN yang dipimpin oleh orang-orang yang tida profesional.

"Wajar jika kinerja BUMN menurun. BUMN kita saat ini sudah didominasi kekeuasaan dan diatur secara kekuasaan," imbuh Didik.

BPK Temukan Keganjilan dalam Kerugian PLN
Dalam ikhtisar hasil pemeriksaan BPK atas 23 objek PDTT mengungkapkan 409 temuan yang memuat 264 kelemahan SPI dan 341 ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp9,97 triliun.

Hasil PDTT yang perlu mendapatkan perhatian antara lain adanya masalah Jaringan Transmisi dan Gardu Induk - PT PLN (Persero) yang berupa tujuh gardu induk dan gas insulated substation yang dibangun PLN senilai Rp192,15 miliar belum dimanfaatkan karena adanya kendala dalam pembebasan lahan, material yang belum terpasang dan transmisi yang belum selesai. Selain itu,pelaksanaan 15 pekerjaan jasa borongan Unit Induk Proyek Jaringan PLN mengalami keterlambatan dan belum dikenakan denda senilai Rp253,32 miliar.

Persoalan lainnya yang menggerus uang PLN adalah berdasarkan audit BPK antara lain terdapat kelebihan pembayaran Rp12,00 miliar, pemahalan harga Rp15,64 miliar, dan denda keterlambatan yang belum dikenakan Rp1,30 miliar atas pengadaan BBM High Speed Diesel (HSD) untuk pembangkitan Belawan, Tanjung Batu, dan Loa Raya.

Ada juga masalah kekurangan pasokan gas pada Pembangkit Listrik Tenaga Minyak dan Gas (PLTMG) Belawan, Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Tanjung Batu dan Semberah. Hal ini disebabkan karena pasokan gas yang diterima PLN lebih rendah dari kontrak dan pembangunan jaringan pipa gas belum terlaksana.

Untuk mengoperasikan pembangkit tersebut, PLN harus mengeluarkan biaya tambahan guna membeli HSD senilai Rp7,49 triliun pada tahun 2014. Permasalahan ini mengakibatkan PLN kehilangan kesempatan untuk melakukan penghematan dalam penggunaan bahan bakar senilai Rp7,49 triliun.

Selain itu, terdapat permasalah Gas make up, gas yang telah dibayar tetapi tidak diambil, PLTGU Cilegon sebesar Rp837,16 miliar berpotensi tidak terserap, sehingga PLN berpotensi menanggung kerugian sebesar Rp837,16 miliar.

PLTGU Cilegon memperoleh pasokan gas dari CNOOC sesuai dengan perjanjian jual beli gas (gas sales agreement/ GSA) antara CNOOC SES Ltd dan PLN, yang berakhir September 2018.

PLN wajib mengambil gas dan membayar, atau membayar jika tidak mengambil jumlah minimal gas sepanjang penjual telah menyediakannya pada titik penyerahan sebesar jumlah take or pay (TOP).

Pada 1 November 2012-Juli 2013, satu pembangkit PLTGU Cilegon tidak beroperasi karena perbaikan. Kondisi tersebut mengakibatkan PLN tidak bisa menyerap gas secara maksimal.

https://www.law-justice.co/artikel/1...0-triliun-pln/

Rumit masalahnya
Diubah oleh the.commandos 17-04-2021 02:04
aldonistic
skull18
iskrim
iskrim dan 7 lainnya memberi reputasi
8
3.5K
42
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.7KThread40.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.