widya poetraAvatar border
TS
widya poetra
Ahli Biomolekuler Anggap Vaksin Nusantara Terawan Tak Masuk Akal, Mengapa?

Ter-Cloud emoticon-Cool


Terawan Agus Putranto punya kesibukan baru setelah tak lagi menjabat Menteri Kesehatan: memantau penelitian vaksin COVID-19 Nusantara. Ternyata penelitian vaksin Nusantara ini sudah akan masuk ke uji klinis tahap II.

Vaksin tersebut digagas saat Terawan masih menjabat sebagai Menkes. Produk ini merupakan kerja sama antara PT Rama Emerald Multi Sukses (Rama Pharma) bersama AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat, Universitas Diponegoro (Undip), dan RSUP Dr. Kariadi Semarang.

Pada Selasa (16/2), Terawan dan sejumlah anggota DPR Komisi Kesehatan meninjau perkembangan kandidat vaksin itu di RSUP Dr Kariadi Semarang. Vaksin yang berbasis sel dendritik ini mulai dikembangkan pada September 2020. Namun, penetapan tim penelitian uji klinis vaksin ini dilakukan pada 12 Oktober atau 2 bulan sebelum Terawan direshuffle dari kabinet.

Sel dendritik merupakan sel imun yang menjadi bagian dari sistem imun. Satu vaksin hanya diperuntukkan pada satu orang atau bersifat personalisasi. Dengan demikian, vaksin ini diyakini aman bagi mereka yang memiliki penyakit penyerta (komorbid). Terawan mengatakan, pengembangbiakan vaksin COVID-19 dengan sel dendritik akan terbentuk antigen khusus, kemudian membentuk antibodi.

Sel dendritik sendiri berasal dari sel punca hematopoietik CD34+ di sumsum tulang, terdiri atas kumpulan subset yang berbeda secara perkembangan dan fungsional yang mengatur fungsi sel T. Sel dendritik dapat berperan di berbagai penyakit infeksius, kanker, dan autoimunitas.

Saran dari Dr Ines Atmosukarto

Pengembangan vaksin ini juga mendapat saran dan masukan dari berbagai peneliti. Salah satunya dari Dr Ines Atmosukarto, pemegang gelar doktor molekuler dan biologi seluler dari Universitas Adelaide, Australia. Ines kini mengepalai Lipotek, sebuah rintisan usaha peneliti tentang obat dan vaksin yang berbasis di Australia. Lipotek juga bekerja sama dengan berbagai pihak di Indonesia termasuk Bio Farma dan Lembaga Eijkman. Ines adalah ilmuwan yang diakui secara internasional, yang telah memenangkan banyak penghargaan untuk penelitian dalam menemukan pengobatan baru untuk kanker dan penyakit menular.

Ada beberapa hal yang disoroti Ines soal pengembangan vaksin Nusantara. Dari soal data hingga kecocokan penelitian.

Berikut wawancara kumparan dengan Ines, Kamis (18/2):

Bisa dijelaskan apa tanggapan soal vaksin Nusantara? Ada yang janggalkah dalam prosesnya?

Kalau proses tidak janggal karena biasanya setelah uji klinis I bisa masuk uji klinis II. Yang menjadi janggal adalah karena datanya belum terlihat.

Ini yang menjadi pertanyaan banyak orang. Data uji klinis I belum terlihat dan belum diupdate ke data uji klinis global. Seharusnya tercatat semua di situ, terakhir saya cek belum ada update hasil uji klinisnya. Apakah vaksin tersebut aman, datanya belum aman.

Tidak janggal selama dia mendapat izin dari Komite Etik, setiap protokol uji klinis dapat izin dari mereka. Yang perlu dicari Komisi Etik mana yang mengizinkan ini, apakah mereka sudah mendapatkan data yang lengkap.


Lalu apa yang dipertanyakan?

Yang saya pertanyakan, apakah pendekatan ini masuk akal atau tidak untuk penggunaan skenario wabah yang disebabkan virus. Karena pendekatan secara dendritik ini biasanya digunakan untuk imunoterapi kanker.

Tidak ada vaksin dendritic cell untuk virus. Kenapa? Karena prosesnya mahal. Enggak mungkinlah kita melakukan pendekatan ini untuk memvaksinasi orang sehat, ini enggak masuk akal. Prosesnya rumit mungkin dan enggak mungkin dilakukan secara massal.
Walaupun memang saya lihat di berita bisa digunakan massal. Saya ingin sekali melihat bagaimana caranya. Karena untuk setiap pasien harus diambil darahnya, terus dipurifikasi sel darah putih. Kemudian dikultur di dalam lab selama 7 hari lalu dikembalikan lagi ke pasien.
Jadi bayangin, ini kan perlakuan-perlakuan yang membutuhkan sarana dan tenaga khusus. Mana mungkin?

Dibandingkan dengan vaksinasi biasa, itu kan orang tinggal datang, disuntik, 30 menit pergi deh. Mana yang lebih relevan untuk digunakan saat pandemi? Tentunya tindakan mana yang bisa memicu respons imun dan bisa dilakukan vaksinasi dalam sehari.

Kemarin kan Pak Menkes bilang untuk mencapai target kita harus vaksinasi 800 ribu orang per hari. Kayaknya enggak mungkin sel dendritik itu memvaksinasi banyak orang dalam sehari. Per orangnya aja bisa beberapa jam perlakuannya itu.

Pertama, strategi ilmiahnya kenapa pendekatan ini sedangkan terbukti luas vaksinasi yang langsung suntiknya pakai jarum ke lengan orang berhasil, kok. Kita kan sudah ada 6 vaksin yang dapat izin. Apa alasannya pendekatan sel dendritik? Ini kan biasanya untuk kanker. Jadi rasional ilmiahnya apa?

Kedua, mana datanya uji klinis I sehingga bisa maju ke uji klinis II. Misalnya kita lihat vaksin yang lain termasuk Sinovac, Pfizer, data fase 1 mereka terbuka, kita bisa baca dan lihat. Ini vaksin Nusantara belum ada, dalam diskusi ilmiah mana pun saya belum dengar.
Jangan lupa, setiap uji klinis ini kan membutuhkan partisipasi relawan. Artinya ada saudara kita di Indonesia yang rela meluangkan waktu dan juga dirinya untuk ikut uji coba.
Prinsip dalam penelitian itu kan jangan membahayakan mereka kalau tidak perlu. Artinya pendekatan simpel adalah pendekatan yang lebih baik.

Apa yang dibutuhkan untuk persiapan vaksinasi sel dendritik?
Perlakuannya itu jadi orang harus datang diambil darahnya dan sel dendritiknya. Itu di hari pertama, bisa beberapa jam. Kemudian sel darah putih harus ada perlakuan di dalam lab selama 6-7 hari. Baru nanti orang itu kembali lagi ke tempat awal untuk dikembalikan selnya.
Itu baru sekali, entahlah ini berapa kali. Ini prosesnya berhari-hari dan beberapa kali bolak-balik.

Sekarang ini kita masih kesulitan cari kulkas vaksin Sinovac, tapi ngurusin begini. Kalau teman di Indonesia berniat inovasi harus cari produk simpel yang tahan panas, dibawa dengan transportasi yang mudah.

Untuk mereka yang ingin melakukan penelitian sel dendritik itu bagus, tapi harus dicek teknologi yang tepat untuk penyakit yang tepat. Ini kan untuk terapi kanker.
Kalau memang ada peneliti, ada kemampuan, itu bisa diterapkan di terapi kanker.
Data belum kelihatan, proses rumit. Lalu kan biasanya selama [riset] peneliti itu kan harus review-review, memberi feedback. Ini belum ada, ini blue print aja belum ada apalagi publikasi.

Mengapa pengumuman ini dilakukan melalui jalur media dan tingkatnya masih penelitian? Mengapa tidak menggunakan jalur publikasi ilmiah atau seminar di mana sesama peneliti bisa mendiskusikan? Kita semua peneliti butuh input, jadi tidak usah terlalu over protective terhadap data kita.

Ini [kritik] membangun, bukan tujuan lain, ini kritik ilmiah. Kalau ada yang bisa jawab apa yang menjadi dasar ilmiah mengapa pendekatan dendritik diperlukan. Kalau bisa memperdebatkan data ilmiah, ayo kita debatkan. Sedangkan kita bisa melihat di seluruh dunia enggak ada itu sel dendritik untuk vaksin COVID-19.

Kita juga harus rendah hati kalau di negara-negara yang mengembangkan sel dendritik ini dan ada puluhan perusahaan yang pekerjaannya itu. Kok, ya, kita bisa sepede itu.




Kumparan


Mungkin ini jawaban untuk Pak JK yang menanyakan soal kritik,
yang di atas merupakan contoh kritik yang baik.

Pertama,
bahwa data hasil uji klini I belum dipublish secara keilmiahan
belum diumumkan dalam dunia keilmuan untuk mendapatkan kritikan/masukan agar benar2 dapat dipertanggungjawabkan hasilnya
tapi kok sudah digembor2kan lewat media
jelas ini merupakan sebuah tindakan gegabah

Kedua,
metode sel dendritik ini gak feasible untuk menghadapi wabah. Butuh waktu yang lama karena custom-made untuk masing-masing individu, butuh laboratorium yang mumpuni, dan tentunya biaya akan sangat besar. Artinya gak applicable.

Namun demikian,
ane kira masih patut diapresiasi dan didukung.
Menurut ane ini usaha untuk berada di garda depan penelitian yang mana belum ada memang vaksin metode sel dendritik yang sudah berhasil dikembangkan dan dikomersialisasikan. Artinya kebaruannya benar-benar baru. Jika berhasil maka nama TER-CLOUD akan menjadi harum di dunia kedokteran.

Karena ini benar2 pendekatan baru untuk tekonologinya,
sebaiknya jangan dipolitisasi. Jika tidak berhasil nanti malah kontraproduktif. Jadi sebaiknya mengikuti masukan dari Dr. Ines. Jangan overconfidence, gunakan saluran ilmiah jangan media populer, publish data.

emoticon-Cool
m4ntanqv
fc88
peyronie
peyronie dan 41 lainnya memberi reputasi
40
14.6K
191
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.9KThread40.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.