Part 5 Tia Juga Bisa Kejam
...
Seminggu berlalu sejak kejadian mimpi buruk itu, Lastri dan Mimi menjadi semakin akrab dengan keluarga bu Marni sedangkan Tia dan Erina juga semakin sering menghabiskan waktu bersama.
Berhubung kuliah sedang tidak padat jadwalnya jadi mereka bisa bersenang-senang. Kali ini mereka mau nonton sebuah film action di bioskop. Mereka janjian bertemu dengan teman-teman dekat Erina di lantai dasar SGM.
Tia tersenyum ketika keempat cowok teman Erina mendekat dan mereka melakukan jabat tangan unik. Betapa menyenangkan punya teman dekat cowok yang memperlakukan diri kita dengan baik. Tia tentu sja tidak memiliki pengalaman itu karena selama ini hanya memiliki teman dekat cewek saja.
“Kenalkan ini Tia.”
“Dio. Tumben Erina punya teman yang manis gini,” puji Dio.
Tia tersipu mendengar pujian yang dilontarkan bergantian oleh mereka berempat, tapi dia merasa diperhatikan berlebihan oleh Dio.
Cowok itu bahkan berjalan di belakangnya agar dapat mengawal Tia dan Erina yang diapit di tengah. Seperti putri yang dilindungi oleh para bodyguard.
"Jangan geer, dia bilang gitu karena biasanya temanku cowok semua. Baru kali ini aku bawa teman cewek buat ketemuan sama mereka," bisik Erina.
“Aku sekarang mengerti kenapa kamu sudah dapat cowok,” bisik Tia begitu pelan hingga hanya dapat didengar oleh Erina.
Erina terkikik lalu ikut berbisik. “Sebentar lagi kamu bakal merasakan apa yang kurasakan. Mereka juga bakal melakukan hal yang sama padamu. Lihat saja nanti.” Erina mengedip sementara Tia tiba-tiba menghentikan langkah dengan mulut terbuka karena tidak bisa membayangkan bakal dikawal oleh cowok-cowok ini.
Dio yang berada di belakang Tia tentu saja tidak berhasil mengerem langkah dengan cepat hingga mengakibatkan mereka bertabrakan.
“Biasanya kalau jodoh bakal sering tabrakan seperti ini lho,” ujar Dio sambil mengerling.
Tia tertawa garing lalu segera menyusul Erina yang menunggu beberapa langkah di depannya.
“Kenapa aku merasa Dio aneh ya.”
“Mungkin dia naksir kamu,” goda Erina.
Tia kembali tertawa garing lalu mengamit lengan Erina agar dapat berjalan lebih cepat. Barisan itu kembali rapi seperti semula.
Mereka berdua mendapatkan tatapan iri dari para cewek yang kebetulan berpapasan dengan mereka. Iri karena ada empat cowok cakep yang mengawal.
Namun bukan hanya cewek-cewek yang memandang mereka. Tak jarang ada cowok yang terlihat penasaran tapi tak berani mendekat untuk berkenalan karena sudah takut duluan melihat badan Gading dan Wasis yang terlihat sangar ketika mendapati ada cowok yang menatap terlalu lama.
Ternyata punya teman cowok memang mengasikkan. Tia sangat menikmati acara hari ini. Lastri dan Mimi sampai heran melihat Tia banyak tersenyum. Namun mereka mencibir tak percaya ketika Tia bercerita tentang hari yang dialaminya.
“Biasa aja keles, kalau nonton sama Mas Vano baru luar biasa.” Lastri yang belum pernah melihat teman-temannya Erina merasa tidak percaya.
“Pasti nggak ada yang secakep Mas Vano, iyakan?” tambah Mimi.
“Ah, siapa bilang nggak ada yang cakep. Mereka semua cakep, terutama Dio. Iya nggak, Tia?” Erina menyenggol bahu Tia.
“Jangan bilang kalau kamu naksir Dio,” selidik Lastri.
“Menurutku Dio itu imut,tapi aku lebih suka cowok yang lebih terlihat dewasa dan juga lebih tinggi.”
“Seperti Vincent?” tanya Lastri sambil menggoyangkan gawai yang berbunyi dan menampilkan nama Vincent.
Langsung saja gawai itu menjadi barang yang diperebutkan oleh mereka berempat. Lastri mengoperkan pada Erina, Erina pada Mimi, lalu kembali ke Lastri yang langsung disambar oleh Tia yang mukanya sudah memerah.
Tia menjawab panggilan itu sambil berkelit dari Mimi yang hendak menangkapnya ketika dia mau pergi ke balkon. Erina menghentikan kedua temannya serta meminta mereka untuk memberi privasi pada Tia yang terlihat berbunga-bunga.
Sekarang Tia sudah lebih siap ketika kembali ke dalam kamar dan mendapati ketiga temannya sedang duduk berjajar di ranjang untuk menunggunya memberi penjelasan. Bahunya bergerak naik perlahan-lahan lalu turun dengan perlahan sebelum mulai menjelaskan.
“Itu tadi Vincent yang telepon.”
“Itu kami sudah tahu, terus?” pancing Mimi dengan tidak sabar.
“Pasti dia ngajak kamu kencan kan?” desak Lastri.
Wajah Tia memanas, rona merah pasti sudah merata ke seluruh wajah. Dia bahkan mengibas-kibaskan tangan di depan wajah untuk mengurangi efek panas.
“Aku benar, pasti itu yang terjadi. Omg, ini benar-benar tidak bisa dipercaya. Vincent ngajak kencan seorang Tia, wow.” Lastri melompat bangun kemudian mengitari Tia sambil melompat kecil-kecil.
“Kapan kencannya? Janji ngasih tahu aku biar kamu dapat kudandani biar nggak terlalu polos,” pinta Lastri.
“Trus gimana dengan Dio?” tanya Mimi.
“Yang pasti dia bakal patah hati kalau tahu,” jawab Lastri mewakili Tia.
Namun Erina tidak ikut antusias seperti Lastri dan Mimi. Dahinya berkerut tanda tak setuju, tapi tidak bisa berkomentar apa-apa karena akan mengganggu kesenangan mereka.
Sebuah panggilan menyadarkan Erina. “Halo, gimana, Ko?”
Tia meletakkan jari telunjuk menyentuh bibir agar kedua temannya diam karena merasakan ada hal buruk yang sedang terjadi dan ini ada hubungannya dengan Dio. Entah apa sebabnya, tapi firasatnya pasti benar.
Erina buru-buru menyambar kunci motor ketika menutup panggilan dari Eko-salah satu teman dekatnya yang lebih pendiam. “Aku harus pergi dulu, Dio kecelakaan.”
“Aku ikut.” Tia sudah berdiri, tapi Erina menggeleng.
“Lebih baik aku sendiri saja. Ruangannya pasti penuh dengan teman-teman dekat kami.”
Tia terduduk dengan lemas di ranjang. Mengira kalau dia bisa masuk dalam lingkaran pertemanan Erina, ternyata dia tetap orang luar dan itu membuatnya kecewa.
Lastri dan Mimi sudah berpindah tempat untuk belajar sambil mendengarkan lagu dangdut kesukaan mereka. Ini berarti Tia tidak akan bisa langsung bicara dengan Erina tentang kondisi Dio karena dia bakal tidur lebih cepat. Pasti susah berusaha tetap bangun ketika lagu pengantar tidur mengalun mendayu-dayu.
Pagi harinya Tia tidak juga bisa berbincang dengan Erina karena dia bersiap-siap berangkat lebih awal dan sarapan tanpa menunggu yang lain karena Vincent bakal menunggunya agar mereka dapat berangkat kuliah bersama-sama.
Ini hal yang konyol karena kampus mereka ada di antara asrama cowok dan cewek, jadi Vincent harus melewati kampus sebelum sampai di asrama cewek. Itu membuat gelembung bahagia di hati Tia membesar karena merasa diperhatikan.
Sepanjang hari ini dia bahkan lupa dengan teman-temannya yang lain karena terus berduaan dengan Vincent selama waktu senggangnya. Mereka bahkan makan siang di luar kampus.
Pulang kuliah pun Tia tidak bercakap-cakap dengan yang lain karena mereka sibuk mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah masing-masing karena ini hari sabtu. Erina tentu saja langsung pulang tanpa mampir ke asrama, pasti sedang menuju ke rumah Dio.
Tia sudah tidak memikirkan tentang Erina dan teman-temannya karena kebersamaannya dengan Vincent membuatnya lupa segalanya.
Bagimana tidak lupa, cowok yang selama ini dikaguminya diam-diam ternyata juga mempunyai perasaan yang sama sepertinya.
Mereka berdua sempat berkeliling kota untuk berkencan dan makan malam di angkringan, tentu saja sudah sepengetahuan Mama Tia agar beliau tidak khawatir ketika Tia pulang lebih malam.
Dari kejauhan Tia sudah dapat melihat Lola yang mondar-mandir di jalanan depan rumah, seolah-olah menanti kepulangannya. Itu jelas halusinasi saja karena tidak mungkin Lola terlihat tidak sabar untuk bertemu dengannya, saudara tirinya pasti menunggu Papa.
“Akhirnya datang juga.” Lola berlari mendekat ketika Vincent mematikan kunci motor.
“Mampir dulu ya, Cent,” pinta Lola.
Vincent tidak langsung menjawab melainkan memandang Tia dan Lola bergantian. “Kalian tetanggaan? Wah, nggak nyangka kalau kalian akur juga padahal kalau di kampus sudah seperti Tom dan Jerry saja.”
“Mampir dulu ya.” Lola meraih tangan Vincent lalu menggoyang-goyangkan untuk merayu.
Ada apa dengan nada suaranya yang tiba-tiba manja dan sok imut gitu, seperti artis Korea yang bergaya imut. Namun kali ini tidak terlihat menyenangkan buatnya.
Tia menepis tangan Lola dengan kasar. “Vincent nggak mampir, dia mau langsung pulang.”
Vincent tersenyum lalu mencubit pipi Tia dengan perlahan. “Pacarku gemesin kalau lagi cemburu gini.”
Tanpa bisa dicegah, pipi Tia langsung memerah. Bukan karena cubitan Vincent tapi karena pengakuan sebagai pacar membuatnya bangga.
“Aku pulang dulu ya, jangan lupa mimpiin aku.”
Serbuan rasa panik ketakutan membuat Tia hanya bisa melambaikan tangan dengan kaku ketika Vincent berlalu. Ini tidak boleh terjadi, Tia berharap dengan sangat untuk tidak memimpikan Vincent. Bahkan tidak untuk mimpi yang terlihat normal dan biasa saja karena Tia tahu kalau tidak ada yang biasa dalam mimpinya.
“Pacar apaan? Vincent pasti sudah kena jampi-jampimu sampai lebih tertarik pada cewek cebol dan biasa saja sepertimu. Harusnya dia denganku, pasti kami lebih serasi.” Lola memberikan tatapan mencela pada Tia.
Tia menghentakkan kaki ketika meninggalkan Lola, tapi cewek itu tidak berencana membuat Tia tenang karena terus mengikuti sambil terus berbicara.
“Masih nggak ngerti sama Vincent, kenapa bisa milih kamu? Jangan-jangan kamu cuma jadi bahan becandaan saja? Dia tu kan nggak pernah terlihat dekat sama kamu, kok tiba-tiba jadian?”
Tia berhenti lalu menatap tajam ke arah Lola yang terlihat salah tingkah. “Bukan urusanmu!”
“Tentu saja ini jadi urusanku, nggak rela kalau ada cowok keren yang jadian sama kamu.” Lola menghadang langkah Tia.
“Kenapa aku berasa dalam cerita Cinderela ya, bedanya tuh si saudara tiri nggak punya ibu dan saudara yang mendukung tapi masih pede gitu bully sendirian. Jangan salah ya, Cinderela yang ini nggak bakal segan-segan menjadi kejam untuk membela diri,” ancam Tia.
Suara tertawa sumbang keluar dari mulut tipis Lola. “Yakin bisa kejam? Pengecut sepertimu bisa kejam? Nggak bisa dipercaya, ini namanya lelucon.”
Tia tidak mau membahas lebih lanjut dan lebih memilih mengambil bantal, guling, dan juga selimutnya
.
“Kamu mau kemana?”
“Tidur sama Mama,” jawab Tia dengan singkat.
“Asik, aku jadi bisa menikmati kamar ini sendirian.” Lola menjatuhkan diri di atas ranjang dengan tangan terbuka lebar lalu menggerak-gerakkan ke atas dan ke bawah seperti orang yang membuat malaikat di salju.
Tia menghentikan langkahnya beberapa langkah sebelum pintu kamar karena kembali dapat melihat wanita berkebaya, tapi kali ini matanya memerah penuh amarah seperti hendak mencekik seseorang. Sudut bibir Tia terangkat sebentar lalu melanjutkan langkahnya.
“Silakan nikmati kamar ini, tapi jangan harap kamu bakal sendirian di sini karena ada wanita cantik yang mau menemanimu." Tia menunjuk sambil pura-pura takut ke arah hantu wanita berkebaya.
"Bu, jangan sungkan-sungkan kalau mau ngobrol sama Lola ya. Dia suka banget bicara omong kosong,” ujarnya sambil mengedip ke arah hantu itu. Benci membuat dia tidak memikirkan resiko kalau Lola beneran diserang oleh sosok tak kasatmata.
“Tia...” Lola menghambur ke arahnya, bahkan mendahului keluar kamar.
“Kenapa? Takut?” Tia menelengkan kepala untuk mengejek.
“Kamu becanda kan? Nggak mungkin ada hantu kan?” Lola melirik ke kiri ke kanan.
Hanya cibiran yang didapatkan Lola karena Tia mendorongnya agar tidak menghalangi jalan menuju kamar Mama. Tia tidak peduli kalau Lola benar-benar ketakutan sampai terus memegangi lengan bajunya.
“Minggir, sana kembali ke kamar. Jangan ganggu aku!” Tia kembali mendorong Lola.
“Please, kembalilah ke kamar. Temenin aku. Kamu nggak mau aku mati ketakutan di kamarmu kan? Kalau itu terjadi, aku pasti akan gentayangan menghantui kamu.”
“Kamu ngancam aku? Dikira aku nggak tega apa sama kamu? Aku juga bisa bersikap sekejam kamu!” Tia berbalik untuk menghadapi Lola yang sudah mengatupkan tangan dengan tatapan memohon yang paling memelas. Hilang sudah sikap arogan dan sombongnya selama ini.
...