3450 MDPL
Langkahnya sigap melewati tanah basah sisa hujan. Tidak ada raut lelah sedikitpun tergaris di wajahnya. Kakinya yg ramping sepertinya memang diciptakan untuk mendaki tanah terjal dan licin ini. Beban ransel di pundaknya bukanlah halangan melompat sana-sini menghindari reruntuhan pohon yg tumbang di terjang angin semalam. Pandangannya tajam melihat medan di depan, sesekali tangan kanannya diangkat untuk menghalangi ranting yang hampir saja menyayat wajah manisnya. Sesekali dia berhenti, mengambil kamera pocket, mengabadikan keindahan yg mungkin tidak akan dia lihat untuk kedua kalinya. Dia berjalan di barisan paling depan, memiliki kekuatan paling besar dibandingkan teman-teman wanita lainnya, sebuah anomali untuk tubuhnya yg begitu mungil.
'Apa alasanmu mendaki ?'
Pertanyaan itu akhirnya memecah keheningan di antara kita berdua. Aku yg saat itu berusaha mengikuti langkah cepatnya, tergopoh-gopoh, sampai lupa caranya untuk basa-basi.
'Alasanku??'
'iya betul, setiap orang pasti punya alasan yang spesifik kenapa dia mau capek-capek berjalan di tengah hutan seperti ini'.
dia menghentikan langkahnya dan bersandar di pohon tua berlumut hijau.
Aku menatap dari bawah tanah berundak, kakiku berusaha menjejak tanah licin, tanganku menggenggam akar pohon agar tidak terjatuh.
'aku bahkan tidak tahu'
'bohong! Biar aku tebak, pasti kamu lari dari sesuatu kan, ngaku deh. Gunung adalah tempat melihat sifat asli seseorang, dan aku bisa melihatmu sekarang'
'haha. Aku sepertinya bukan pembohong yg pintar. Iya aku sedang berusaha lari dr sesuatu'
'apa ? Kuliahmu ? Keluarga?'
'lebih ke kuliahku, aku sudah capek dengan semua ini, rasanya ingin pergi jauh-jauh, dan akhirnya aku bertemu dengan gunung'
'ohh....'
Kemudian semuanya kembali hening, hanya ada suara burung berkicau dan serangga berderit. Angin pun tidak menunjukkan wujudnya sama sekali, matahari terhalang oleh rimbunnya kanopi hutan gunung Merbabu. Sesosok wanita di depanku, berjilbab merah muda, seperti bunga di antara hijaunya dedaunan, begitu mencolok, indah namun berada di ketinggian yg sulit di capai.
Mereka berdua berjalan menyusuri hutan yg entah kapan habisnya, tidak banyak pembicaraan antara mereka berdua. Medan yang sulit membuat tenaga dan mental terkuras.
'Masih semangat ?'
kali ini giliran arjuna yang melontarkan pertanyaan.
'Aku boleh pulang ga ?'
Jilbab merah mudanya kini sudah basah dengan keringat.
'hah pulang ? Ini udah 1/2 jalan, masa mau pulang!'
'haha. Bercanda kok. Emang kamu ga mau pulang ? Ini kita ngapain sih di tengah gunung gini ? Lebih enak di kos, santai, sambil nonton drakor.'
'setelah sampai puncak, aku mau pulang. Iya ya, kadang aku mikir gt jg, apa yg kita cari ? Padahal lebih nyaman di kos.'
'ga tau. Tp puncak seakan memanggil orang seperti kita. Sepertinya tidak butuh alasan, aku hanya mengikuti kata hati.'
Perjalanan sudah sampai di pos sebelum sebelum puncak. Hanya tinggal 3 bukit lg, perjalanan melelahkan ini akan segera selesai.
Saat senja mulai menerjang. Matahari mulai malu untuk bersinar. Batas antara petang mulai bergeser, memberikan siluet indah gunung Merapi.
Saat itu aku melihat sosok wanita yang begitu tangguh. Entah kenapa dia begitu sempurna sore itu, tanpa kekurangan. Pada akhirnya semuanya pun akan meleleh, aku belajar suatu hal, betapa mudahnya hati manusia untuk berpaling, melupakan semua masa lalu kelam, tepat di menit itu, aku jatuh cinta.
Sebuah bukit terkenal di pendakian gunung Merbabu, bukit 'Tikungan Macan'. Setelah melewati ini, padang savana menunggu dengan semua keanggunannya. Diskusi alot pun terjadi, akhirnya aku putuskan bahwa kita harus paksakan sampai di pos savana 1. Disana kita bisa mendapatkan tempat untuk mendirikan tenda yg lebih layak, tanahnya datar dan perjalanan ke puncak akan jauh lebih dekat.
'gimana keadaan lututmu?'
Mendekap kakinya, duduk di atas matras hitam, sambil memakan sepotong roti yg sudah disiapkan dr basecamp.
'masih oke, sepertinya cedera saat kita ke gunung lawu kemarin belum sembuh 100%'
Arjuna mengelus lutut kirinya yg tertutup Decker.
'jangan dipaksain ya, aku ga mau gotong kamu dr puncak sampai basecamp'
'tumben kamu khawatir, jarang-jarang tau'
'hih.. sana buruan shalat, kita lanjutkan perjalanan ke Pos Savana 1'
Di Tikungan Macan kita beristirahat agak lama, membagikan jatah air minum ke kawan-kawan yg lain, sekedar makan roti atau ada jg yg masih sempat untuk buka kompor dan menyeduh kopi. Beruntung kawan-kawanku di pendakian ini, tidak ada yg perokok, aku bisa jd menghirup segarnya udara di gunung Merbabu tanpa gangguan bau tembakau bakar.
Tidak terasa gelap pun menyapa saat mereka melanjutkan perjalanan. Langkah kaki Arjuna dan Rengganis kembali mantap. Rengganis hanya mensyaratkan 1 hal kepada Arjuna jika dia diajak untuk mendaki.
'Aku ingin berada di barisan paling depan'
Dia bukanlah sosok yang egois, apalagi sampai melupakan kawan. Untuknya, pendakian adalah hal yang sakral, bukanlah pelarian, pamer foto di sosial media, atau menghabiskan waktu luang.
Pendakian adalah bentuk pencarian jati diri, memahami diri sendiri untuk menjadi wanita yg lebih kuat dan dewasa. Sebagaimana hal sakral lainnya, dia tidak mau di ganggu, dia ingin fokus mendaki dan merenungi kehidupan di setiap langkahnya.
Tanpa ragu, sang leader, Arjuna harus merelakan posisinya sementara di gantikan oleh Rengganis. Dia yang hanya mendaki untuk sebatas pelarian, kini bisa mendapatkan makna. Makna ternyata hidup itu bukanlah main-main, bukan hanya soal patah hati dan lari dari kenyataan.
Headlamp mereka terlihat dari kejauhan, melenggok kanan-kiri mencari pijakan kaki. Kabut sempat turun di malam itu, perjalanan menjadi semakin berbahaya. Tp apalah arti dari bahaya di depan 2 insan yang sepertinya sedang berusaha saling mencintai. Saling mengenal satu sama lain, tidak terburu-buru, semua butuh waktu dan proses.
'na.. kamu tau kita di ketinggian berapa sekarang ?'
Dia menarik tenda dome untuk di kaitkan ke frame dan passaknya.
'berapa ya ? 2000 mdpl ?'
Dia mengambil tali untuk menjaga tenda agar tidak terbang di hempas badai nanti malam.
'salah'
'terus berapa'
'kita ada di ketinggian 3450 mdpl, kamu mungkin ga sadar karena ini sudah malam. Tetapi kita sudah berada di atas awan sekarang. See, kamu liat ke atas, kita bisa melihat rasi bintang dengan jelas, ga ada yg menghalangi lg'
'.....'
Dia terdiam sesaat, wajahnya tertegun. Terakhir kali dia seperti itu adalah di sebuah kafe daerah jogja, ketika semesta tidak berpihak kepadanya sedikit pun. Kini semesta pula yg membuat dirinya terkagum.
Savana Merbabu malam itu begitu dingin, angin berhembus cukup kencang. Jaket tebal sudah di pakai, tidak lupa sarung tangan, agar jari-jari tidak kaku.
Aku absen dalam soal masak memasak, aku tidak mau membuat masakannya hangus, bahan makanan yg terbatas harus di masak dengan teliti. Rasanya harus enak! Besok' summit attack.
Kesamaanku dengan Rengganis cuma 1, kita ber-2 tidak pernah di takdiran untuk memasak. Di gunung lawu, Rengganis bahkan salah memasukkan garam dan gula, berakhir dengan makanan yang.. oke itu bukan makanan lg sepertinya.
Selama menunggu memasak. Arjuna pamit sebentar ke tenda untuk mengambil sesuatu. Malam itu rombongan menyalakan api unggun, agak jauh dr tenda, biar aman dan percikan bara apinya tidak melubangi tenda. 20 menit berlalu, Arjuna tidak kunjung datang.
'Biar aku saja yang panggil, mungkin dia ketiduran di tenda. Sekalian aku mau ambil sarung tangan, dingin banget.'
Rengganis berdiri, kemudian membersihkan celananya yg terkena pasir dan rumput savana.
Rengganis bergegas menyusul Arjuna, membungkukkan badannya, mengintip ke dalam tenda, ternyata tidak ada siapa-siapa, hanya terlihat tas Arjuna yg terbuka. Berjarak sekitar 50 meter, ada sebuah bukit kecil yang menghadap ke merapi. Di bukit itu, samar terlihat orang menggunakan headlamp dan duduk menyendiri. Dia mencoba untuk mengatur headlamp-nya agar bisa menyorot lebih jauh, terlihat jaketnya merah dengan strip yg memantulkan cahaya. Dia yakin itu arjuna, walau hanya dr siluetnya sudah cukup meyakinkan untuk menghampiri pria tersebut.
'Arjunaaaaa....' Rengganis pun berteriak memecah keheningan savana.
Arjuna terkejut dan melambaikan tangannya dari kejauhan. Rengganis pun melanjutkan langkahnya hingga ke bukit itu.
'Dingiiiin... Kamu ngapain di sini ? Makanannya sebentar lg matang.'
Dia mendekapkan kedua tangannya ke dada.
'aku lg pengen sendiri aja'
'kenapa ? Kepikiran masalah kuliah ?'
Dia kemudian duduk di sebelah arjuna.
'iya sama seperti yg aku bilang td siang. Aku sekarang sudah semester 7, seharusnya tahun depan sudah wisuda. Tetapi melihat skripsiku yg masih amburadul, pasti molor deh'
'aku td bikin coklat hangat, sambil nunggu yg lain masak. Kamu mau ? Katanya coklat bisa menenangkan hati.'
Rengganis menunjukkan thermos kecilnya ke arjuna sambil tersenyum.
'terimakasih'
Dia mengambil gelas kecil yg di sodorkan oleh Rengganis. Dia belum pernah merasakan coklat seenak ini sebelumnya, mampu menghangatkan sudut hati yg beku sekalipun
'hidup terkadang tidak adil iya ga ? Eh tp, sebenernya adil itu apa ? Apa karena masalahmu yg kamu hadapi hari ini ? Lalu kamu mengatakan bahwa hidup ini ga adil'
'buatku sekarang ga adil. Kenapa aku harus melewati ini semua? Untuk apa? Untuk siapa?'
'kamu sekarang sedang berada di fase yg akan merubah hidupmu. Berjuang menyelesaikan kuliah, kemudian bekerja, menikah mungkin'
'gimana sama kuliahmu nis ? Semua baik2 aja?'
'kuliahku semuanya lancar, skripsiku jg sudah setengah jalan, aku yakin semester depan sudah selesai'
'setelah itu kamu mau kemana?'
'jadi wanita karir mungkin, atau jd geologist terbaik, berusaha membuka rahasia bagaimana dunia ini bisa tercipta.'
'aku bahkan ga tau sehabis lulus mau kemana'
'gpp, kamu pasti baik-baik saja. Percaya deh. Ayok, aku duluan ya. Udah laper banget.'
'ayok deh, aku jg lapar'
Mereka berdua berjalan menuju api unggun. Rengganis seangkatan dengan Arjuna, mereka berdua bisa paham seberapa beratnya mengerjakan skripsi anak Teknik. Dia merupakan salah satu mahasiswi terbaik di angkatannya, IP-nya pun selalu cumlaude. Seberapa jauh dia berpetualang, untuknya kuliah adalah tetap yg pertama. Dia jg aktif di BEM dan Himpunan, kemahiran dia dalam tulis menulis pun sempat menjadi sorotan, beberapa kali hasil tulisannya di muat majalah kampus. Dia menjadi wanita dewasa dr semua perjalanan hidupnya, lebih dewasa daripada yg seharusnya.
Malam itu di tutup dengan makanan super enak. Teh Panas, di temani oleh roti bakar dan pisang. Menu utamanya adalah nasi goreng ala Merbabu, dengan campuran sayur hasil mencuri di ladang penduduk tadi pagi. Ada juga sosis, kentang goreng dan nugget. Untuk penutupnya adalah puding coklat + nata de coco. Di ketinggian, semuanya terasa lebih nikmat.
Pukul 03.00 semuanya sudah terbangun, perjalanan ke puncak masih memerlukan waktu 2 jam. Medannya tidak terlalu sulit, hanya saja sedikit berpasir. Hidung dan mulut di tutup menggunakan buff untuk menghindari sesak nafas.
'masih ngantuk?'
tanya Arjuna dengan nada meledek
'menurut nganaa ?'
'haha. Jaketnya kegedean ya ? Maaf aku ga ada ukuran kecil'
'gpp, aku malah bisa pake baju 2 lapis, biar lebih hangat.'
'pakai baju 2 lapis pun kamu tetep saja terlihat kecil'
'haaa ? Mau meledek lg ?'
Rengganis siap menusuk Arjuna menggunakan tracking pole miliknya.
Perjalanan summit pun di mulai, bukit terakhir, sebelum puncak Triangulasi. Jaket Rengganis yg terlalu besar membuatnya terlihat sangat imut, seperti anak kecil yg merengek di tengah hujan karena tidak diperbolehkan melanjutkan bermain di luar. Pipinya memerah, tangannya ia masukkan ke dalam saku, mencegah suhu dingin semakin menusuk.
'aku alergi dingin..' Arjuna terlihat pucat.
'beneran ??'
'iya hidungku keduanya mampet, haha. Aku nafas dari mulut.'
'mau istirahat bentar?'
'oke boleh, sambil nunggu yg lain ya, baru kita jalan lg'
Dalam sebuah pendakian, harus ada limiter/pembatas. Artinya harus ada batas siapa saja yg capek, harus bersedia mengaku, agar bisa beristirahat dan meminimalisir resiko kecelakaan. Naik gunung itu bukan siapa yg paling cepat menuju puncak, tetapi siapa yg bisa lebih cepat pulang ke rumah.
Mereka berdua beristirahat di tanah datar, ukurannya kecil, di samping jalur pendakian. Pendaki lain yg hendak berangkat untuk summit attack, menyapa mereka dan memberikan semangat.
'indah ya, kemarin kita masih berada di bawah. Di antara lampu rumah-rumah itu. Sekarang kita ada di atas gunung'
'kita ngapain sih disini?'
Pertanyaan itu kembali di lontarkan oleh Rengganis.
'Untukmu.. aku mendaki setinggi ini hanya untukmu. Di gunung kita punya waktu untuk bersama, selepas dr sini kamu pasti menghilang, sibuk dengan urusan kuliah dan organisasimu. Aku tidak punya hak memaksa meluangkan waktu bertemu. Bukan coklat hangat yg membuatku nyaman dan tenang, tp kamu.' Arjuna bergumam dalam hati.
'puncak iya ga sih ?' jawaban ini yg hanya Arjuna berani keluarkan.
Rengganis pun tersenyum sebelum menjawab.
'he'em... Eh liat ada meteor jatuh. Kamu tau ga setiap bulan Desember, ada fenomena alam hujan meteor Geminid. Seperti tadi, tetapi intensitasnya lebih tinggi'
'ga make a wish dl ?'
'udah dong'
'apa ?'
'rahasia lah!'
Puncak semakin terlihat, hanya bersisa beberapa meter. Arjuna terpaksa berada di depan, memastikan jalur aman untuk di lalui. Tebingnya cukup terjal sebelum puncak, di tambah pasirnya membuat licin. Berdiri sudah tidak mungkin, merangkak, memegang tali bantuan yg terjulur adalah satu-satunya cara menuju puncak.
'kenapa tiba-tiba berhenti na ? Dikit lg kan ?' tanya rengganis dengan bingung.
'honor to you my queen.'
'maksudnya ??
'iya di depan sudah puncak, silahkan kamu duluan, aku tau kamu pengen banget sampe kan'
'serius ??'
'iya cepetan, nanti aku di belakangmu'
Rengganis meniti tali, melewati Arjuna, pasir dan debu menempel di celana dan jaketnya, sama sekali tidak dipedulikan. Di kepalanya hanya ada puncak, puncak, dan puncak.
'Huaaaaaaa ! Aku sampai !' Teriak Rengganis dengan kerasnya.
Tidak lama Arjuna muncul dari balik tebing. Dia sangat emosional, bersujud syukur, perjalanan sudah berakhir.
'PUNCAAAAAAAAK!' Arjuna berteriak sekuat tenaga.
Dia melihat Rengganis tersenyum, lesung pipitnya menambah kecantikan Rengganis di puncak Triangulasi.
'kita berhasill nis.. Allahu akbar, setelah semuanya.'
'iya, aku capek, tp rasanya langsung hilang'
Tanpa sadar Rengganis meraih lengan Arjuna, menggegamnya erat, matanya berkaca, menangis haru.
'Terimakasih' suara lembutnya terdengar.
Pagi itu, tidak akan pernah terlupa. Berharap untuk terulang adalah doa yg terlalu tinggi. Aku bersyukur diberi kehidupan. Di pertemukan denganmu, aku merasa menjadi pria paling beruntung di seluruh semesta. Siapapun jodohnya nanti, tolong jaga dia baik-baik. Atau berikan saja padaku kalau kau tidak mampu. Aku sekarang memiliki alasan untuk hidup, berjuang, dan bertahan.
Matahari mulai nampak, cahayanya menusuk dr balik awan. Puncak sudah di padati oleh para pendaki, semua dengan khidmat, menunggu matahari terbit di ufuk timur.
-The End-