Surobledhek746Avatar border
TS
Surobledhek746
Kalau Sudah Kebanjiran, Memangnya Perilaku Kita Berubah?


Hidup di dekat sungai dan jembatan pengeberangan memiliki seni tersendiri. Pengennya sih jika mampu pasti aku akan mencari atau membuat rumah di dataran tinggi, jauh dari sungai. Supaya suatu saat bisa tersenyum lebar ketika banjir datang.

Bukan tanpa belas kasihan. Tapi hingga kini, sudah hampir 20 tahun ini banjir adalah sahabat sejati. Mau bagaimana lagi, mau menyalahkan hujan memang berani menentang takdir Tuhan?

Mau teriak sampai urat leher putus pun tak berarti apa-apa. Hanya bikin serak suara dan orang lain mengira gila.

Banjir tak datang sekonyong-konyong. Bukan soal derasnya hujan. Bukan karena sungainya mendangkal dan mengecil. Tapi karena ulah tangan manusia. Dan untuk yang satu ini semua seprtinya cuci tangan.

Kenyataannya, dahulu dua puluh tahun lalu pernah kami mengalami hujan deras hampir tiga hari tiga malam. Aku masih ingat betul ketika itu beras sempat langka. Tak ada yang bisa menjemur padi untuk digiling. Bukan banjir yang kepikiran. Karena memang tak akan ada banjir.

Air sungai hanya keruh beberapa jam, kemudian hilang. Dibet air sepertinya hanya naik sekitar satu meter dari biasa. Walau tak cepat surut tapi tak ada banjir bandang seperti sekarang.

Sawah juga hanya terendam beberapa centi meter saja. Mengapa bisa? Saat itu orang desa menjebutnya "tantujuh", artinya ikan-ikan akan segera memijahkan telurnya. Maka berbondong-bondonglah warga desa ke sawah membawa kail.

Ikan betok, gabus, kihung, dan jenis ikan sawah melimpah. Saat seperti ini jadi saat yang tepat untuk mengambil ikan, menyimpannya jadi "ikan wadi". Persiapan ketika ikan sepi.

Memang debit air di hampir seluruh kawasan desa meningkat. Tapi tak ada yang menyebutnya banjir.

Tidak seperti dua puluh tahun terakhir ini. Begitu mendung hitam ada di langit hulu, siap-siap saja. Nanti malam atau esok siang, sungai akan keruh seperti tanah.

Debit air sudah tidak bisa diukur lagi. Naiknya sangat tinggi dan tak bisa dipridiksi. Padahal di desa kami tidak terjadi hujan. Kadang hanya gerimis sebentar saja.

Kalau rumah terendam lantainya satu meter, itu sudah biasa. Tak ada juga yang memperhatikan. Apalagi belas kasihan. Pemandangan yang sudah biasa. Mereka yang melihat pasti akan berkata, "Esok atau lusa pasti akan surut lagi." Hanya itu.
Quote:

Boro-boro dapat bantuan atau ada tenda dan post mengungsian. Sebuah kemustahilan. Paling banter mereka akan berkata, *Salahnya sendiri masih mau hidup dan menetap di pinggir kali.

Kalau soal ingin saling salah menyalahkan. Pasti ruang artikel di tempat ini tak akan mampu menampung keluhanku.

Apa yang sebenarnya terjadi sih? Baiklah, aku coba butiri satu persatu tanpa ingin menyalahkan siapa pun.

Pertama, bagaimana hutan telah ditebas habis, dahulu para perambah hutan yang dijadikan kambing hitam. Kemudian ketika kadang-kadang terdengar suara ledakan. Orang desa pasti mampu menerka, ada tanah yang sesang dibom. Untuk tambang batubara tentunya.

Demikian juga ketika warna air begitu jernih dan berwarna hitam. Orang desa kenal betul, ini adalah air dari limbah perkebunan sawit. Sedang pemupukan, katanya.

Kalau sudah air hujan dari langit jatuh. Kemana mengalirnya kalau tidak ke hilir sungai? Kalau air hujan jatuh kemana lagi tersimpannya kalau tidak ada akar tanaman yang mampu menyimpan dan menampungnya? Memangnya akar serabut sawit mampu menyerap dan menampung air hujan? Entahlah...

Jika sudah begitu siapa yang akan jadi korban? Mereka yang berada di hilir sungailah korban pertama.

Hal ini diperparah dengan kesalahan penaffsiran tentang tata kelola air. Dikira jika semakin banyak saluran dibuat akan membuat banjir akan berkurang. Memang benar, air akan segera mengalir ke arah hilir sesuai dengan perkiraan. Tapi seberapa air yang jatuh dari langit, siapa yang kuasa mengukur dan menghitungnya? Hampir tidak ada!

Maka akhirnya, dibuatlah tembusan-tembusan dari arah sungai ke persawahan. Maksudnya agar sawah-sawah tidak lagi banjir akibat luapan air sungai. Salah besar ternyata. Dengsn sedemikian banyak saluran yang dibuat akan menjadikan air sungai yang melimpah masuk ke areal pesawahan. Akibatnya sawah tenggelam menjadi lautan banjir hingga menunggu sungai surut.
Quote:

Kapan sungai surut? Sungai akan surut ketika air tidak bertambah lagi. Artinya ketika huja di wilayah hulu berkurang. Tapi kapan? Jawabnya adalah nanti ketika musim hujan telah berlalu. Ha ha ha ha.. Jawaban pasrah karena tak merasa bersalah.

Kondisi demikian diperparah dengan kesadaran masyarakat yang tak henti-hentinya membuang sampah ke sungai. Mulai dari sampah plastik sisa kemasan rumah tangga, hingga pohon-pohon di pinggir sungai yang ditebang pemiliknya kemudian dilarutkan ke sungai. Salah satu trik terjitu dan paling cepat.

Pernahkah terpikir, sungai hilornya dimana? Seberapa luas muaranya? Entah dengan kesadaran yang telah hilang atau memang sengaja menutup mata dan telinga.

Terang-terang di atas jembatan penyeberangan ada tulisan, "Mohon maaf, tolong membuang sampahnya di tempat lain saja."

Sebuah kalimat yang sangat lembut dan sangat sopan dengan maksud menggugah kesadaran agar tidak membuang sampah ke sungai. Apa jawaban sebagian dari mereka?

"Kalau saya tidak membuang sampah ke sungai toh, ada ribuan orang lain yang membuang sampah ke sungi."

Apa tidak gila coba, iri dengan orang lain dalam perkara yang demikian jelek. Jika iri terhadap perbuatan baik bagus untuk dilanjutkan.

Jadi kalau sudah mendengar teriakan banjir. Aku paling akan tersenyum lebar, dan dalam hati akan berkata, "Rasakanlah balasan dari keteledoran dan kerusakan yang telah kita lakukan."

Banjir hanya merendam rumah beserta perkakakasnya. Yang demikian pun ketika banjir telah hilang. Perilaku menjaga lingkungan dan merawat selokan tak pernah lagi menjadi perhatian.

Seperti sebuah lagu, "yang lalu biarlah berlalu." Esok banjir lagi teriak lagi. Begitulah. Jika dalam dua puluh tahun terakhir ini banjir begitu menjadi momok. Alangkah mengkhawatirkannya 20 atau 30 tahun ke depan.

Jangan-jangan hanta karena hujan rintik-rintik saja akan mengakibatkan banjir bandang. Saking tidak perhatiannya terhadap tata kelola air.

Sepanjang ingatanku, hampir setengah abad berada di Kalimantan Selatan. Tak pernah ada kota seribu sungai mengalami banjir. Hanya tahun ini banjir benar-benar terjadi.

Seharusnya musibah ini menjadi cermin bagi semua pemangku kebijakan yang ada di wilayah ini. Bahwa hutan kita telah menipis dan tak kuasa menampung air hujan lagi. Perluasan eksplorasi hutan menjadikan lahan batubara, lahan perkebunan sawit sungguh berdampak pada banjir di tahun-tahun berikutnya.

Jika tetap saja kita berpangku tangan dan tetap mengabaikan tata kelola air hujan secara komperhensip jangan terkejut jika pada masanya nanti Kalimantan Selatan akan tenggelam karena banjir yang menggenang.

Jadi kalau ada yang mengeluh karena banjir dan tak mendapat perhatian atau bantuan. Sudahlah jangan lebay. Orang-orang yang hidup dekat dengan sungai telah mengalami banjir berkali-kali setiap tahunnya.

Kuncinya ubah perilaku mulai dari diri sendiri. Jika belum berhasil saat ini. Semoga kesadaran itu datang ketika anak cucu kita menggantikan kita. Semoga.
lurahgundul
aygilagility
m4ntanqv
m4ntanqv dan 37 lainnya memberi reputasi
38
4.2K
94
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.