Fatimah.ridwanAvatar border
TS
Fatimah.ridwan
Laut dan Manusia-manusia yang Patah Hati [Cerpen]
"Hai, sudah berapa purnama tak bersua? Aku rindu. Sejak satu detik kau pergi hingga dua tahun berlalu, rinduku masih sama, tak berkurang, bahkan untukmu ia selalu lebih. Apakah kau rasakan hal serupa itu? Anganku melambung ingin terbang menemuimu, desir di hatiku membuncah serupa deburan ombak malam yang pasang kala teringat dirimu. Berjanjilah untuk sehat selalu, karena aku tak memiliki ingin yang lebih besar selain mengetahui kau baik-baik saja. Selamat ulang tahun, aku masih mencintaimu."

Kalimat-kalimat itu tumpah oleh tinta dalam pena, dan berbaris di kertas yang kini kuremat kuat-kuat. Malam sudah larut, gelap telah jatuh sempurna, kuusap mataku yang berair menahan kantuk agar tetap terjaga, setidaknya hingga pukul 00.00. Aku ingin menjadi orang pertama yang mengirimkannya doa malam ini, biar kutitip pada angin malam agar dibawa terbang sampai ke langit.


Deru mesin pendingin ruangan, dan samar suara anjing yang menggonggong dari kejauhan mengiringi detik demi detik jarum jam berdetak, kusibak sedikit kain tipis yang menutupi jeruji jendela, mempersilakan cahaya rembulan menyeruak masuk untuk mengurangi kegelapan dalam kamarku dan kesemrawutan dalam kepalaku. Mataku memandang lepas ke arah langit yang dihamburi gemintang dan dirajai rembulan. Di benakku bertanya, apakah dia melihat rembulan yang sama? Semoga rembulan menggantung pula di hamparan langit kotanya, aku ingin lelaki itu bisa menyesap rinduku dari tempias sinarnya.


Debar di dadaku mendadak pasang, degupnya kencang terdengar di keheningan, saat kedua jarum jam bertemu tepat di angka dua belas. Dengan gemetar tanganku mengetik sebuah nama di pencarian kontak nomor telepon di ponselku. Sebuah nomor usang, memandangi angka-angka pada nomor itu, seakan membuat aku terlempar ke masa dimana tidak ada hal lain yang kugemari di bumi selain dirinya, kemudian rindu itu pecah dan terhambur di pipiku yang basah.


Dengan segala ragu yang tak ingin lagi kuperhitungkan, kuberanikan diri menelepon nomor itu, untuk pertama kalinya setelah semuanya berakhir.


Panggilanku disambut nada tunggu pertanda bahwa telepon berhasil terhubung. Nyaliku kembali menyusut tetapi suara berat yang dulu menyelingi gelak tawaku kuyakin akan membayar tuntas semua rindu, aku tak goyah.


"Halo..." Ucap seseorang di seberang telepon, aku terhenyak, tak menjawab, detik itu indra perabaku seakan kehilangan fungsinya, tulang-tulangku lunglai dan gemerlap bintang berdenyar pilu saat kudengar suara perempuan yang ternyata menjawab teleponku.


"Halo, siapa ini?" Ucapnya lagi.

"Mas Bimana sudah tidur, saya istrinya. Silakan menelepon lagi besok." Tutupnya, telepon terputus, aku membisu, malam membisu seakan tak tega mencibirku.


Kantukku telah hilang, tetapi mataku berair, kali ini karena aku menangis, kubiarkan ia menderas membasahi pipi dan telapak tangan yang kugunakan membungkam rapat-rapat mulutku, tak kuizinkan siapapun mendengar rintih tangisanku termasuk rembulan malam ini.


Malam ini kutahu, ternyata ada hal yang lebih menyakitkan dari kehilangannya, yaitu mengetahui dia telah menemukan penggantiku.

"Apakah kekasihmu yang baru sebebal aku? Mencintai tapi tak dicinta, menanti tapi tak pernah diinginkan lagi?" Aku bergumam sendiri, memandang nanar ke arah bulan.

***

Aku tak ingat kapan aku berhenti menangis dan mulai tertidur semalam, seperti aku tak ingat apakah sekarang pagi atau senja, yang aku ingat ini adalah bangun tidur yang paling tidak aku dambakan, aku sadar terlalu lancang jika aku berharap tak lagi dibangunkan.

Aku berusaha membangkitkan tubuhku dari rebah, cermin yang teronggok di dinding kamar itu lantas menyambutku, mempertontonkan pantulan bayangan sosok perempuan menyedihkan dengan mata sembab, rambut teracak-acak dan wajah berkabut kelabu seakan tak pernah dipulasi lengkung senyuman, dia merasa tak diinginkan. Aku terdiam sejenak, kemudian teringat sesuatu, ada yang harus segera kuselesaikan, aku kemudian menyambar kunci mobil yang tergolek di meja kecil pada sisi kiri ranjangku dan bergegas menuju ke pantai.

Setibanya di sana, pantai itu turut patah hati, air-airnya jauh surut seperti air mata yang dihabiskan untuk menangisi kekasih yang pergi, gemawan hitam yang mengemban seluruh kesakitan menggantung di atasnya dan silih berganti kawanan gagak menggaok di tepian pantai, sesekali hinggap pada karang-karang yang ditinggalkan air laut.


Aku berjalan menemui air, sesungguhnya aku sudah muak menangis, tetapi di tepian laut ini aku menangis lagi. Terisak-isak tangisku, kulihat bayanganku terguncang-guncang di air karena menahan sesuatu yang rasa-rasanya akan meledak di dadaku.

Kulanjutkan langkah kakiku menuju ke tengah laut, arus air yang berat menciptakan riak-riak kecil di sekitar kakiku, kulawan dorongan ombak yang beberapa kali menyeret mundur tubuhku. Aku tidak tahu pasti, yang jelas saat dadaku mulai sesak dan wajahku dihajar-hajar debur ombak, seluruh yang terjangkau dalam penglihatanku hanya air dan awan hitam gelap di ujung laut, air mataku kembali meleleh, bercampur sudah ia dengan air laut ini.

"Sudah terlalu banyak penolakan yang aku dapatkan, kumohon, laut, bawa aku. Kumohon jangan menolakku juga."

Air laut melahapku kini, tubuhku digulung masuk ke kedalaman oleh gelombangnya. Sejak matahari lindap ditelan garis horizon, semburat oranye yang mencuat di antara mendung itu berubah Cumiat mengelilingi sekujur tubuhku yang gigil.

Aku terlalu ngeri membayangkan hari-hari berlanjut tanpanya bersamaku. Pilihan terbaik adalah tidak melanjutkan apa-apa. Mati dan tenang.

Saat aku tahu laut menerimaku, menerima pintaku dan segera menelanku, tiba-tiba saja kata-kata yang keluar dari mulut lelaki itu sesaat sebelum sebuah pesawat terbang membawanya melesat meninggalkanku, terngiang kembali.

"Kenapa kau menangis?" Tanyanya.

"Jangan menangis seolah-olah kita tidak akan bertemu lagi." Aku hanya meringkuk memeluk pergelangan tangan kanannya yang keras. Dia mengusap acak rambutku dengan tangan kirinya.

"Kau dengar aku, kau tidak boleh menangis seperti itu. Aku tidak suka. Aku tidak suka melihatmu menangis." Ucapnya hanya kubalas tatapan.

Aku tak menyangka itu adalah kali terakhir aku menatap matanya, sepasang mata yang terlihat lelah saban waktu itu. Bekas luka yang dalam menggores dahi kirinya secara tersirat memberitahuku bahwa dia telah banyak melewati masa-masa sukar sebelum bertemu denganku.

Tetapi pada akhirnya dia yang berulang kali menjadi penyebab aku menangis--hal yang tidak dia sukai, katanya.

Laut merengkuhku dan lamat-lamat menelanku semakin dalam, pendengaranku berdengung, gelembung-gelembung air yang mendesak masuk memenuhi telingaku menjadi simfoni kematian yang hampa dan luar biasa terluka.

Napasku habis, jantungku akan redup detaknya sekian detik lagi. Sesaat sebelum pendar rembulan di ketinggian sana lenyap dari pandangan mataku, ombak kembali melemparku menjauh dari laut, tekanan kuatnya membuat tubuhku melayang di udara yang diambil alih oleh laut, air itu kian meninggi menerjang daratan, pohon-pohon kelapa di tepiannya tercerabut dari tanah dan terombang-ambing bersamaku dan benda-benda malang lainnya, lengang malam itu kemudian pecah.

Tubuhku diempas sekian kilo meter, air-air itu menyeruak masuk ke kerongkonganku dengan semena-mena, lebih brutal dibanding yang sebelumnya. Aku masih dikerumuni air, tetapi bukan lagi di laut, saat badanku terpelanting pada tiang lampu lalu lintas, aku yakin gelombang yang maha murka ini juga menyapu rata hingga ke pusat kota.

Kemudian teriakan demi teriakan silih berganti tertangkap gendang telingaku, mereka meneriakkan nama Tuhan dan merendahkan diri sejatuh-jatuhnya di hadapan ketakutan.

Tanganku meraih tiang lampu lalu lintas yang setengah goyah itu, berusaha menahan agar tubuhku tidak terseret arus lebih jauh lagi. Apa yang kulakukan? Mengapa aku mencoba menyelamatkan diri? Bukannya ini yang kuinginkan? Ah, sial! Aku merasa menjadi pecundang seutuhnya sekarang.

Dua tanganku tak cukup kuat untuk berkelahi memperebutkan tubuhku dengan gelombang tsunami yang mengamuk ini, serpihan kaca bangunan yang tidak jauh dariku terpelanting ke arahku, merobek betis dan mengubah warna air keruh itu merah oleh darah, perih menyengat ke sekujur tubuhku.

Tanganku mulai mati rasa, genggamannya melemah, namun sebuah tangan besar dan kasar kemudian meraih tanganku saat genggamanku nyaris terlepas dari tiang lampu lalu lintas itu.

Tangan itu menarik tubuhku untuk keluar dari air perlahan-lahan, sosok lelaki tua namun berbadan kekar menampakkan wajah di balik helm oranye tua yang menutupi bagian matanya, tangan kirinya masih memegang kuat kedua tanganku, sedang tangan kanannya berpegangan pada tali tambang raksasa yang perlahan ditarik naik ke atas sebuah bangunan oleh entah siapa, lelaki tua berseragam oranye itu sekarang mendekap tubuhku yang gemetar hingga kami tiba di balkon bangunan itu.

Di sana telah berkumpul empat laki-laki yang berseragam serupa, tetapi terlihat jauh lebih muda dan bugar, aku baru mengetahui siapa mereka setelah membaca tiga huruf akronim yang tertera di bagian punggung seragam yang mereka kenakan "SAR".

"Terima kasih banyak, Pak." Ucapku lirih, aku menunduk malu, malu yang lebih kutujukan pada diri pecundangku.

"Jangan banyak berbicara dulu, kau terlihat sangat ketakutan dan tertekan. Kejadian tadi amat mengerikan memang." Dia melepas helm oranyenya, menunjukkan helai-helai rambutnya yang telah berubah memutih. Kulit wajahnya bergelambir keriput, dia terlihat menjadi ringkih tanpa mengenakan helm.

"Pekerjaan ini terlalu beresiko untuk orang seusia Bapak." Aku yang terperangah tak kuasa menahan ucapan itu dari mulutku.

"Iya, aku bahkan mengemis untuk mendapatkan pekerjaan ini, kantor sempat menolakku karena sudah terlalu tua." Dia tersenyum getir.

"Tetapi setelah kuyakinkan, aku adalah pensiunan tentara, fisikku telah terbentuk kuat oleh latihan militer bertahun-tahun." Lanjutnya.

Aku menautkan kedua alis mataku berharap dia melanjutkan kisahnya.

"Semenjak aku kehilangan putriku yang meninggal dengan menghabisi nyawanya sendiri, dia menggantung diri di kamarnya. Tololnya aku tidak pernah tahu apa yang terjadi pada putriku hingga melakukan semua itu. Dia terlalu tertutup dan aku sering tak di sisinya." Napasnya tertahan, seperti ada yang luruh di dadanya, tangannya mengusap ujung mata kemudian berucap lagi, "Karena aku tidak bisa menyelamatkan nyawa putriku, aku memutuskan menghabiskan sisa hidupku dengan menyelamatkan nyawa orang lain."

Ada yang melesak ke pipiku mendengar kisahnya, aku seakan ditampar tanpa ampun, membuatku semakin percaya bahwa aku adalah pecundang.

"Jika masih hidup, putriku seumuran kau." Dia menatapku dengan mata penuh kerinduan, lalu membuang pandangannya ke langit saat kudapati matanya berkilatan cairan bening.

Pandanganku menyapu penjuru kota yang poranda. Di tengah amarahnya hari ini, laut membawaku pada kesempatan kedua dan menyampaikan pesan bahwa hidup akan terus berlanjut tak peduli berapa banyak hati manusia-manusia yang patah.
tien212700
ummuza
mamsky23
mamsky23 dan 4 lainnya memberi reputasi
3
1.1K
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.