Ibu, jika membicarakan sosok yang satu ini, mungkin tidak akan pernah ada habisnya. Sosok yang paling berpengaruh dalam kehidupanku. Dimana, dari rahimnyalah aku dilahirkan, dari air susunyalah darah dan dagingku diciptakan, dan dengan kasih sayangnyalah aku dibesarkan.



Ibu, sosok yang paling tangguh dimataku. Ingat perjuangannya dulu saat kami anak anaknya masih kecil kecil, beliau rela bekerja keras membanting tulang dan memeras keringat, agar kami anak anaknya tetap bisa makan. Pergi pagi pulang petang bekerja disawah atau ladang milik orang, tanpa pernah menunjukkan rasa lelahnya didepan mata kami anak anaknya.

Ibu, sosok penyabar yang tiada tandingan. Senakal apapun kami anak anaknya, tak pernah sekalipun ia marah, bahkan berkata dengan nada keraspun tidak. Tutur katanya selalu lemah lembut, dengan berjuta nasehat yang sarat akan makna.

Ibu, sosok yang penuh perhatian dan kasih sayang. Apapun rela ia lakukan demi kami anak anaknya. Ia rela menahan lapar, demi agar kami anak anaknya bisa makan sampai kenyang. Ia tak keberatan mengenakan baju lusuh penuh tambalan, asal kami anak anaknya bisa mengenakan baju yang pantas dan tidak menjadi bahan ejekan teman teman. Tak jarang, saat bekerja di sawah atau ladang orang, ia rela tak makan dan membawa pulang jatah makan siangnya, agar kami anak anaknya tetap bisa makan.

Memang, kehidupan kami waktu itu jauh dari kata berkecukupan. Kami hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan. Dan karena perjuangan ibulah kami bisa melewati itu semua. Bapak sudah sepuh waktu itu, jadi sudah tak bisa bekerja secara maksimal lagi. Dan mau tak mau ibulah yang menggantikan perannya menjadi tulang punggung keluarga.

Ibu, sosok mandiri yang tak pernah mau bergantung pada siapapun, bahkan kepada kami anak anaknya. Bahkan disaat sekarang kami sudah besar dan mampu mencari nafkah sendiripun, ibu tetap tak mau bergantung kepada kami. Ia lebih memilih untuk tinggal sendiri, karena memang bapak telah lama tiada. Meski entah sudah berapa kali kami mencoba untuk membujuknya, agar mau tinggal bersama kami, tapi jawaban yang ia berikan selalu sama. Tidak!

Ibu, kenangan indah bersamamu adalah, saat dulu aku bersujud dihadapanmu, memohon restu sebelum aku menghalalkan seorang perempuan yang kini telah menjadi menantu kesayanganmu, dan memberimu seorang cucu. Masih teringat jelas dimataku, dengan mata berkaca kaca karena bahagia, kau elus lembut kepalaku, sambil kau ucapkan sejuta petuah yang sampai saat ini masih jelas kuingat.



Ibu, kami mohon, izinkanlah kami anak anakmu ini, untuk sedikit membalas jasa jasamu dulu. Izinkan kami membahagiakanmu, seperti dulu engkau membahagiakan kami. Izinkan kami untuk sekali saja membasuh telapak kakimu, seperti engkau dulu selalu memandikan kami di waktu bayi. Izinkan kami untuk bersujud dihadapanmu, memohon maaf atas segala kesalahan kesalahan yang pernah aku lakukan padamu, karena disanalah surgaku berada.



Andai sehari saja aku diberi waktu untuk bersama ibu, ingin rasanya aku mengulang masa masa bahagia yang dulu pernah aku lalui bersamanya. Akan kujadikan ia ratu dalam sehari itu, akan kupenuhi segala apa yang ia minta, selama aku mampu melakukannya, meski aku yakin, ia tak akan pernah meminta apapun padaku. Akan kulakukan apapun yang ia perintahkan, akan kukerjakan semua pekerjaan yang sehari hari biasa ia lakukan. Akan kucucikan pakaiannya, seperti dulu ia selalu mencucikan pakaianku, akan kusiapkan makanannya, seperti ia dulu menyiapkan makanan untukku. Dan akan ..., ah, rasanya waktu sehari tak akan pernah cukup untuk sedikit saja menunjukkan baktiku padanya.



Di kesempatan kali ini Bu, izinkan aku, anakmu ini menyampaikan apa yang selama ini hanya bisa kupendam dalam hati, dan tak pernah sekalipun berani aku ungkapkan padamu.







sumber : opini pribadi

gambar : dokumen pribadi