pemujaseblacAvatar border
TS
pemujaseblac
Cinta Di Balik Layar ( Cerpen : True Story )
Quote:



Masa Lalu


Elvanda. Sebelumnya, aku sudah menceritakan perihal masa laluku padamu. Tentang orang yang pernah mengisi hati. Namanya sama sepertimu. Waktu itu aku cerita padamu bahwa aku mencintai sahabatku sendiri. Tiga tahun lamanya. Tiga tahun masa memendam rasa. Tiga tahun mencintai dalam diam. Aku masih ingat bahwa kamu bilang : kok kaya drama!, Aku hanya tertawa. Memang seperti itu adanya. Aku tidak mendramatisir kisahku.

Kuceritakan semua itu padamu. Bahwa dalam tiga tahun itu adalah masa terindahku. Mencintai cinta pertamaku. Tapi semua tahu, cinta itu kadang membawa luka. Melilit seperti kawat berduri. Sehingga kita susah lepas dari lilitannya. Pedih. Tapi sebelumnya, aku sangat menikmatinya. Tidak ada seorangpun yang tahu mengenai perasaanku padanya. Pada perempuan yang namanya sama sepertimu. Tiga tahun yang terasa sangat cepat. Tiga tahun yang sangat indah. Tapi hancur oleh satu hari saja. Iya, satu hari yang memilukan. Satu hari yang akan ku kenang dalam ingatanku. Bahkan mengalahkan kenangan tiga tahun itu El.

Kamu masih ingat, aku menceritakan itu semua lewat chat yang panjang beberapa bulan yang lalu. Cerita yang bahkan tidak pernah aku ceritakan pada siapapun. Hanya padamu El. Kuceritakan bahwa cinta pertamaku, sahabatku sendiri, dia telah meninggalkanku. Dia tidak pernah bilang jika dia sakit. Sakit yang akhirnya merenggut nyawanya. Dan dengan kepergiannya, aku menjadi tahu, bahwa diapun mencintaiku. Bahkan sebelum aku mencintainya.

Aku menangis sebisaku. Tak sanggup rasanya. Aku tahu kematian itu pasti. Tapi kenapa harus hinggap pada orang yang sedang mencinta? Tuhan telah mematahkan hati hambanya. Tuhan telah merenggut satu kebahagian yang aku anggap mutlak. Sejak saat itu, aku menjadi lelaki yang tak berdaya. Hidup tak karuan. Setiap mengingat dirinya, aku menangis. Setiap mencicipi makanan kesukaannya, aku menangis. Dia sangat suka nasi padang. Apa lagi kikil. Jika aku rindu padanya, aku sempatkan untuk mampir di rumah makan padang favorit kami. Makan disitu. Mengenang canda kami disitu.

Aku sudah seperti mayat hidup. Rasa pedih bak di hunus oleh pedang tajam itu tak kunjung sembuh. Aku belum menceritakan bagian ini padamu El. Ayahku, waktu itu, menghampiriku ketika aku di kamar. Aku masih ingat, itu siang hari di akhir pekan. Tubuhku masih di balut selimut. Aku sengaja seperti itu. Ayahku menepuk-nepuk pundaku. Aku menggerakan badan, dan segera duduk. Namun kepalaku tertunduk. Ayahku bilang, "makan dulu Zal". Aku hanya diam. Ayahku terisak. Aku segera mendongakan kepala. Sungguh, aku baru pertama melihat ayahku mengeluarkan air mata. Yang aku tahu, ayahku adalah orang yang tegar. Kuat.

"Kamu sampai kapan akan seperti ini terus?" ayahku sudah mengusap air matanya.

"Kapan kamu akan peduli dengan dirimu sendiri zal?" lanjutnya.

"Aku boleh bertanya yah?"

"Bertanyalah, apapun itu"

"Kenapa tuhan tega sama aku? Apa dia tidak membiarkan hambanya saling mencintai yah?" dadaku rasanya sesak.

"Justru tuhan sangat cinta pada hambanya. Jangan kamu berpaling dari cinta tuhan zal. Apa kamu tahu penyakit yang di derita Elvanda itu bagaimana rasanya?" aku menggeleng, "maka dari itu, Tuhan memanggilnya karena cinta, tidak ingin Elvanda merasakan rasa sakit yang terlalu lama" nadanya sangat serius. Ayahku memang orang yang seperti ini. Tegas. Tapi senyumannya bisa mendamaikan hati.

Aku sudah menangis. Air mataku jatuh begitu saja. Setiap mendengar namanya di sebut, dadaku bergetar, hatiku tergores.

"Dan Tuhan cinta sama kamu. Kamu masih di beri kesempatan bisa hidup sampai sekarang. Sehat wal afiat. Dan Tuhan akan menjatuhkan cintanya lagi padamu zal"

Ayah segera berlalu setelah mengucapkan kalimat itu. Mungkin ada benarnya. Elvanda sahabatku, dia sudah terlalu lama merasakan sakit. Tapi, ini bagai hukum bagiku. Aku belum sempat menyatakan cintaku padanya, dan Tuhan dengan kuasanya memusnahkan kesempatanku. Aku tahu, mungkin kamu akan menganggap aku gila El, karena aku telah mencintai sahabatku sendiri dengan demikian. Tapi disini, aku tidak akan memanggilmu Elvanda, kita sepakat, tapi sepertinya hanya aku yang sepakat bahwa aku memanggilmu dengan panggilan Pie ( pai ). Memang aku mengambil nama itu dari kue pie. Manis. Sama seperti kamu.

Aku masih terdiam. Menangisi hal yang seharusnya aku relakan. Mengambil fotonya di atas nakas yang ku hias dengan bingkai. Aku menatapnya lekat. Melihat senyumnya yang memikat. Tentu saja, Elvanda sahabatku memiliki senyum yang sempurna. Namun aku tidak ingin membandingkannya denganmu Pai. Bukankah wanita memang tidak suka di banding-bandingkan? Bahkan akupun seperti itu.

Aku menatap fotonya cukup lama. Mencoba mengikhlaskan. Bahkan ini adalah pertama kalinya aku coba mengikhlaskan. Karena sebelumnya, aku tidak pernah terima jika tuhan mengambil dia dariku. Tidak sama sekali. Aku berontak. Aku sakit hati. Bahkan aku mengancam Tuhan, bahwa aku tidak akan lagi percaya padanya. Tapi kali ini, setelah berbicara dengan ayahku, aku mulai akan mengikhlaskan dia, cinta pertamaku yang hilang.
Diubah oleh pemujaseblac 08-08-2020 20:26
anton2019827
brina313
nomorelies
nomorelies dan 8 lainnya memberi reputasi
9
1.6K
20
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.