Pada masa - masa bulan Agustus seperti ini biasanya banyak kegiatan yang diadakan warga atau masyarakat untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Tak jarang dari mereka yang harus izin ke pihak yang berwajib untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.



Izin ke kepolisian setempat tersebut biasanya dilakukan ketika mengadakan kegiatan perlombaan yang mengikutsertakan banyak orang, misalnya seperti jalan santai, sepedah santai, karnaval, pagelaran musik atau seni, dan sebagainya. 




Atau jika tidak pada acara 17 Agustus, kegiatan yang biasanya minta izin atau membuat pemberitahuan polisi adalah sesuatu yang mengundang banyak masa. Misalnya konser, kampanye, orasi terbuka, dan atau demonstrasi. 




Izin untuk melakukan kegiatan yang melibatkan banyak masa tersebut adalah untuk mengantisipasi apabnila ada hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan melakukan izin ke kepolisian maka hal-hal yang mengganggu keamanan atau mengancam keselanatan bisa diantisipasi dan dihindari.

Tetapi anehnya, ada juga masyarakat yang meminta izin ke polisi yang malah mengancam keselamatan jiwa mereka. Apa itu? Izin melakukan perang antar kampung. Hah yang benar saja?

Benar. Izin berperang selama 3 hari tersebut disampaikan oleh warga dua kampung di Jayawijaya Papua. Dilansir Jpnn.com, 20 Agustus 2020, pada tanggal 19 Agustus 2020, terjadi perang antara dua kampung di Jayawijaya. Akibat bentrokan menggunakan senjata tradisional itu, ada delapan warga yang mengalami luka-luka. Delapan warga itu pun dilarikan ke RSUD Wamena.

Pada hari kedua, 20 Agustus 2020, Kapolres Jayawijaya beserta Wakapolres dan personel yang terjun ke lokasi pun menghimbau untuk perdamaian kedua kelompok. Dengan himbauan dan pengamanan itu pada hari kedua, dari pagi sampai pukul 18.00 tidak terjadi bentrokan. Massa yang mempersenjatai diri pada hari kedua ini diperkirakan lebih dari 1.000 orang.

Menurut Kapolres Jayawijaya, Dominggus Romaropen, sebetulnya kedua belah pihak yang bertikai meminta izin ke polisi untuk melakukan perang selama tiga hari. Tetapi tentu saja polisi tidak mengijinkan hal itu.

Begitulah kondisi kampung-kampung pedalaman Papua yang masih sangat berbahaya. Jika sekitar 1.000 orang lebih dibiarkan berperang, tentu saja jiwa mereka akan terancam. Hadirnya aparat keamanan bagi mereka sangat dibutuhkan. Jika tidak korban jiwa bukan tidak mungkin akan berjatuhan.

Yang lebih berbahaya lagi, kondisi kampung pedalaman yang seperti itu tentu sangat berpotensi untuk dimanfaatkan gerakan-gerakan separatis. Maka kehadiran polisi dan pihak keamanan sangat dibutuhkan untuk pengamanan dan pencerahan.

Memang secara umum keadaan masyarakat di sana, khususnya pedalaman perlu perhatian khusus dibanding daerah lain. Perang antar suku atau kampung dengan senjata tradisional tak jarang terjadi di daerah ini. Seperti misalnya perang suku yang tak kunjung usai pada tahun 2018 dan menimbulkan 9 orang tewas. Atau pada tahun 2014 yang sedikitnya menewaskan 20 orang dan ratusan lainnya luka-luka.

Ditambah lagi adanya kelompok-kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia menjadikan daerah ini cukup menyimpan bahaya, yang tak jarang menjatuhkan korban jiwa. Semoga dengan adanya pengamanan dan perhatian dari pemerintah, perang antar kampung dan atau hal - hal seputar bentrokan fisik yang menimbulkan korban jiwa tak terjadi lagi....I]


Referensi:

1. https://m.jpnn.com/news/warga-jayawi...-kepada-polisi

2. https://news.detik.com/berita/d-3914...-9-orang-tewas

3. daerah.sindonews.com/berita/872244/26/bentrok-antar-suku-di-papua-tewaskan-20-orang