bukhorigan
TS
bukhorigan
[SFTH] Kucing Belang | Thriller Short Story


"Yang jelas saya sudah mantap untuk menjual rumah ini," Ucapnya dengan penuh keyakinan.

"Wah jika memang sudah yakin berarti tawaran harga saya kemarin bisa disepakati kan bu?" Jawab suamiku riang.

"Hmm...hehe," Imbuhnya terdiam.

Ku lihat perempuan itu memegang cangkir dengan gemetar, tersenyum kecut lalu meneguk air teh sedikit demi sedikit dengan lirih. Aku yakin jika perasaan gundah dalam hatinya sedikit mengusik pembicaraan kami sejak tadi. Suamiku sedikit pelit untuk urusan keuangan, bukan tanpa sebab karena dia selektif dalam urusan finansial. Tentu jika hendak membeli sesuatu, dirinya pasti menimbang banyak hal apakah barang tersebut layak untuk dibeli atau tidak, terlebih lagi jika ini urusan membeli rumah. Sebidang rumah dan tanah untuk ditempati keluarga kami kelak.

Suamiku menawar rumah ini setengah dari harga jual yang diberikan pemiliknya, oleh karenanya Ibu Narsih pemilik dari rumah ini sedikit ragu akan penawaran suamiku. Diriku mengerti jika dia dihadapi situasi dilematis, disatu sisi dia ingin mendapat uang lebih tapi di satu sisi dia ingin segera meninggalkan tempat ini. Menurut cerita dari banyak orang, suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Hal  itu membuat suaminya meninggalkan dirinya hingga menjadi janda seperti sekarang. Miris, dia-pun harus rela jika suaminya membawa anak semata wayangnya pergi menuju selingkuhannya. Sebagai seorang perempuan, diriku mengerti apa yang dirasakan Bu Narsih, sebatang kara yang diliputi kenangan pahit. Aku yakin jika Bu Narsih cepat atau lambat akan melepas rumah ini karena tidak ingin mengingat masa lalunya yang pedih. Tapi sebenarnya aku tidak suka mencampuri urusan siapapun, apalagi jika ini menyangkut rumah tangga orang lain. Untuk itulah sejak pagi kami tidak banyak mempertanyakan bagaimana kehidupan di rumah ini dulu.

"Seminggu terakhir saya sudah mempertimbangkan hal ini dengan matang, jadi saya sepakat saja akan penawaran Pak Hardi dan Bu Siska," Ucap bu Narsih dengan senyum seadanya, aku dan suamiku akhirnya bernafas lega.

"Baiklah, terimakasih atas kelonggaran hatinya atas pinangan kami Bu," Ucap suamiku, seraya mengeluarkan selembar cek serta surat perjanjian jual-beli, Bu Narsih dan aku-pun turut tersenyum.

Jujur saja, diriku benar-benar menyukai rumah ini, begitupula dengan suamiku. Dengan luas bangunan dan halaman belakang yang indah membuatku yakin jika rumah yang kami beli akan memberikan ketentraman. Rumah dua lantai bergaya klasik dengan sentuhan mewah arsitektur ternama, membuat rupa dari rumah ini terlihat nyaman dipandang. Bukan hanya itu saja, dengan lokasi yang strategis membuat rumah ini sangat layak untuk dibeli, pasti anak-anak kami kelak akan tumbuh dengan riang mengisi rumah ini.
Beberapa saat kemudian, suamiku selesai mengisi lembaran akta jual-beli diantara kami dengan Bu Narsih, lalu berbincang dengan akrab, karena akhirnya secara sah kunci rumah ini sudah berpindah tangan pada tangan kami. Suamiku dan Bu Narsih beranjak dari tempat duduk dan bersalaman, aku lihat Bu Narsih menerima cek dari suamiku dengan sigap. Kurasakan dia begitu menanti momen ini, dimana pada akhirnya dia bisa beranjak dari rumah ini dengan tenang.
Ruang tamu dari rumah ini terbilang sedikit kecil, aksen warna abu tua dibalut plafon putih ukiran eropa melekat di setiap sudut sampai atap ruangan. Pernak-pernik, lampu meja klasik, hingga lukisan menghiasi seisi ruangan. Aku tidak sabar untuk berkeliling melihat secara detail di setiap bagian rumah ini.

"Nah Bu, bagaimana jika seandainya kita berkeliling rumah ini, karena sebelumnya banyak bagian yang belum saya lihat," Ucap Hardi sambil memegang tanganku, dia tahu persis apa yang kumau.

"Ba...baiklah silahkan dengan senang hati saya antar kalian melihat seluruh isi rumah ini, lagipula tempat ini sudah menjadi milik kalian," Jawab Bu Narsih, dia membenarkan rok panjang serta jaket winter-nya, gesturnya mempersilahkan kami melihat seisi rumah.

Lalu entah kenapa, sejak tadi diriku lebih terfokus akan sebuah lukisan yang menggantung cantik di dinding ruang tamu. Terlihat anak kecil yang sedang bermain di halaman yang luas, lukisan ini memberikan arti kedamaian yang sesungguhnya. Mimik wajah anak tersebut tertawa bahagia, bersemangat membangun istana mungil dari gundukan pasir. Disampingnya terlihat kucing dengan sabar menemani anak itu, seekor kucing belang dengan bulu yang indah. Sungguh, lukisan ini terlihat nyata bagiku.

"Siska? Sayang? Sayang? Hey?" Tanya Hardi membuyarkan lamunanku.

"Eh...iya maaf," Jawabku tersadar.

"Kenapa Bu Siska?" Tanya Bu Narsih sambil menghampiriku.

"Tidak apa-apa, hanya saja saya begitu tertarik dengan lukisan ini," Jawabku.

"Oh...Jadi sebenarnya saya hendak membawa lukisan ini untuk pindah, tapi jika Bu Hardi menyukainya maka anggap saja lukisan ini sebagai hadiah untuk si jabang bayi," Ucap Bu Narsih sambil memegang perutku dengan lembut.

"Terimakasih, tapi jika boleh tahu siapa sosok di balik lukisan ini?" Tanyaku penuh senyuman.

"Bukan siapa-siapa, suamiku dulu membelinya dari temannya," Ucapnya dengan datar.
"Mari Bu kita berkeliling," Timpa Bu Narsih meyakinkan, aku yakin jika dia memang tidak ingin membicarakan suaminya.

Kami berdua tersenyum lalu melangkah menuju ruangan lain, terlihat suamiku begitu antusias melangkahkan kakinya. Minggu lalu kami sempat melihat-lihat rumah ini seadanya, melihat setiap inci bagian ruangan hanya melalui gambar denah. Jadi sekarang kami bisa melihat secara kasat mata, apa saja hal spesial dari rumah ini.

***

Setelah dua jam lamanya kami selesai melihat seisi rumah, aku semakin jatuh cinta akan tempat ini. Langkah terakhir kami menginjak halaman luas di belakang kamar tidur utama, jendela dari kamar tidur tersebut menghadap langsung ke arah halaman luas ini. Sungguh indah membayangkan jika saat terbangun dari tidur, aku bisa mencium kesegaran embun pagi setiap hari.

Musim gugur sudah dimulai, kulihat pohon jambu batu di halaman belakang mulai mematahkan daunnya hingga berjatuhan. Daun-daun berserakan dari ujung ke ujung, dari bangku taman hingga gundukan pasir di dekat jendela kamar tidur. Semak-semak di sudut halaman tampak kecoklatan, begitupula dengan cemara yang mulai menguning namun tetap kuat untuk bertahan dari gempuran angin musim gugur. Aku sedikit kedinginan dan tentunya kelelahan setelah berjalan-jalan di sekitar rumah, aku hanya mampu terkulai di atas kursi di teras belakang. Sambil mengelus perutku yang mulai membesar, ku lihat Hardi dan Bu Narsih bercengkerama dengan akrab di tengah halaman.

"Meong...meong..." Terdengar seekor kucing menghampiriku, dengan bulun khasnya yang belang.

Aku terheran apa yang dibawa dalam mulutnya, seperti seruas tulang seukuran jari. Kemudian dia meletakan tulang tersebut dihadapanku, terlihat gerakan kucing itu memelas. Lalu dia mulai merangkak pergi ke ujung teras, aku pikir kucing itu adalah kucing kampung yang ingin mengais sisa makanan di rumah ini.
Aku ingin sekali meraih apa yang dibawanya, namun perut yang membesar serta posisiku yang duduk terkulai membuatku urung melakukannya. Justru angin sore hari ini membuatku sedikit mual, dan ingin segera masuk lagi ke dalam rumah. Sedikit lega, ketika suamiku dan Bu Narsih mulai melangkah menuju rumah.

"Meong...meong..." Kucing itu menghampiri Bu Narsih di muka teras, seperti menginginkan sesuatu.

"Ternyata di sini rupanya kau Belang, mama cari kamu kemana-mana," Ucap Bu Narsih manja sambil menggosok bulunya yang mulai rontok.

"Wah jadi Ibu Narsih suka memelihara kucing ya?" Tanya suamiku cerah, sebuah kebetulan karena Hardi-pun memelihara anjing.

"Benar, kucing ini sering bermain dengan anakku, sekarang...ah sudahlah saya tidak ingin mengingatnya, oh iya saya rasa sudah sepatutnya membawanya pindah juga, karena saya mengurusnya sejak kecil," Ucap Bu Narsih murung.

"Maafkan saya ya Bu," Ucap Hardi tidak enak.

"Ah tidak apa-apa, sepertinya tour kecil ini sudah beres, bagaimana jika kita masuk lagi ke dalam?" Tanya Bu Narsih.

"Hmm...Maaf Bu, hari sudah sore, mungkin kami harus kembali lagi ke apartemen, istri saya terlihat lelah, lagipula segalanya sudah selesai," Jawab Hardi sambil mengelus pundaku, dia memang pengertian.

"Baiklah, namun ingat mulai lusa kalian sudah bisa memindahkan perlengkapan dari apartemen menuju rumah ini, tentunya hari itu saya sudah tidak ada lagi di rumah ini," Balas Bu Narsih.

Terlihat si Belang mulai goyah dipangkuannya, memberontak ingin pergi. Setelah berupaya keras akhirnya kucing itu loncat dari pangkuan Bu Narsih, meninggalkannya pergi. Bu Narsih sedikit canggung, namun dikarenakan aku dan Hardi hendak pergi maka Bu Narsih membiarkan si Belang menjauh.

Setelah berbincang seadanya dengan Bu Narsih, aku dan Hardi akhirnya masuk ke dalam mobil kami di pelataran parkir. Halaman depan menyajikan ketentraman yang tidak kalah dengan halaman belakang. Lusa sekarang akan menjadi momen terindah dalam hidup kami, menginjakan kaki lagi sebagai tuan baru dari rumah ini. Aku tidak banyak lagi memperhatikan sekitar, karena badanku benar-benar terasa lelah juga mual tidak terkira, hingga aku hanya duduk lemas di jok depan.

"Tin-tin..." Klakson terdengar pelan, Suamiku Hardi mulai mundur keluar dari halaman sambil melambaikan tangannya pada Bu Narsih.

Bu Narsih-pun melambai dengan senyuman, wajahnya yang mulai menua tidak sebanding dengan usianya, memberikan khas jika dia mengalami gejolak batin khususnya kenangan di rumah ini. Setidaknya, sekarang dia bisa terbebas dari segala beban hatinya. Sungguh, aku sangat iba dengan keadaannya, sekaligus bersyukur jika rumah ini sudah terjual, khususnya pada kami. Mungkin Bu Narsih berpikir demikian juga.

Akhirnya, babak baru dalam hidup kami segera dimulai.

***

Dua minggu kemudian.


"Zrrrttt..." Suara bising menggema seisi ruangan.

"Siska sayang kamu masih kuat? Biar aku bantu ya?" Ucap suamiku sambil meletakan koran paginya, menghampiriku peduli.

"Tidak apa-apa, aku harus terbiasa membersihkan rumah ini, lagipula hari ini adalah akhir pekan, pasti kamu kelelahan bekerja keras seminggu terakhir, jadi bersantailah sejenak," Jawabku memeluknya.

"Kita membersihkan rumah ini bersama-sama ya? Aku tidak ingin kamu kelelahan, kasihan bayi kita pasti ikut lelah juga," Balas Hardi sambil mencium keningku lembut, lalu menempelkan telinganya diperutku, mendengar secara seksama bayi kami yang bergerak tenang.

"Ayah tidak sabar melihatmu terlahir ke dunia ini nak, tidak sabar membangun istana pasir bersamamu," Ucap Hardi sambil meraih Vacum-cleaneryang sejak tadi ku pegang.

"Zrrrttt..." Suara bising mulai bergemuruh lagi seisi ruang tamu.

Terlihat Hardi bersemangat membersihkan setiap sudut ruangan. Ku tersenyum melihatnya, memang tidak sabar jika melihat orang yang kucintai serta anakku bermain bersama kelak. Pikiranku langsung teringat akan lukisan anak kecil yang membangun istana pasir, seketika aku melirik pada dinding ruangan ini.

"Hah?" Aku terkejut jika lukisan ini sedikit berubah dari ingatanku, tidak ada satu-pun sosok anak kecil didalamnya! Kemana larinya gambar itu!

Diriku mulai memundurkan langkah, sambil memegang kepalaku yang mulai tidak seimbang. Ada yang aneh. Sesuatu terlewat dalam ingatanku.

"Sayang? Kamu tidak apa-apa?" Hardi menjatuhkan Vacum-cleanernya, dan langsung menahan bahuku dari belakang.

"Aku sedikit pusing," Ucapku lirih.

"Ayo kita ke kamar, beristirahatlah," Timpa suamiku cemas.

***

Hari beranjak malam, aku dan Hardi berbaring santai di atas ranjang. Kamar tidur ini memberikan ketenangan lebih intim, setidaknya melipur lelahku hari ini. Hardi membaca buku sambil berbicara ringan mengenai siang tadi, sambil mengusap kepalaku lembut.

"Sudah dua minggu kita pindah ke sini, jadi sangat wajar jiwamu masih membutuhkan penyesuaian, apalagi mengenai hal ingatan," Ucap suamiku menenangkan.

"Iya mas, maafkan aku, mungkin aku sedikit kelelahan harus membereskan ini itu, apalagi aku harus ditinggal dari pagi sampai sore olehmu, hampir tiap hari lagi," Balasku lirih.

"Maafkan aku juga jika tidak bisa berbuat lebih untukmu," Hardi semakin membelai manja kepalaku.
"Oh iya aku lihat semenjak pindah ke rumah ini, dirimu sering merasakan mual, apa tidak terjadi sesuatu?" Tanya Hardi, sambil memegang perutku.

"Entahlah mas, aku sering merasakan mual, kata orang penciuman wanita hamil memang sedikit lebih sensitif," Jawabku meyakinkan.

"Guk...Guk...!" Tiba-tiba terdengar Sam menggonggong di halaman belakang, anjing peliharaan kami.

"Sam?," Hardi beranjak untuk menuju jendela kamar.

"Ada apa?" Ucapku cemas.

"Sam apa yang kamu lakukan?" Ucap Hardi heran.

Suamiku berinisiatif untuk melihat apa yang terjadi di belakang kamar tidur ini,  berusaha menenangkan Sam yang menggonggong terus menerus. Tirai jendela dibuka segera oleh Hardi, aku bisa melihat dengan jelas jika Hardi dan Sam saling beradu suara, pemandangan ini justru membuatku semakin pusing.

"Sam hentikan!" Hardi mulai membuka jendela kamar, untuk melihat pasti apa yang sebenarnya terjadi.

Saat jendela terbuka lebar, aku mencium bau tidak sedap yang dihembuskan tiupan angin. Tidak tahan diriku mulai menutup hidung, perutku langsung terhentak mual sekali.

"Hoekkk!" Tubuhku tidak bisa menahannya lagi, aku muntah pada seprai dan permukaan selimut.

"Sam! Sam!" Hardik suamiku.

"Guk! Guk!" Sam semakin beringas.

"Shhhh Meowww Shhhh..." Tiba-tiba terdengar kucing melompat ke bingkai jendela, berusaha menghindar dari terkaman Sam, gesturnya ingin sekali melawan Sam.

Hardi melangkah mundur, berusaha menerka apa yang sebenarnya terjadi. Dengan cekatan akhirnya suamiku bisa meredakan Sam yang ingin menangkap kucing itu.

"Sam sudah, sudah hentikan!" Hardi mampu menahan Sam, terlihat kucing itu melihatku dan kembali melompat pergi.

Hardi dan Sam mulai saling menenangkan, tidak diragukan lagi jika anjing Golden Retriever bisa menjadi sahabat setia sekaligus penjaga terbaik untuk manusia. Namun Sam terkadang tidak bisa membedakan mana ancaman dan mana yang tidak. Untungnya, kericuhan kecil ini sudah selesai.

"Ada-ada saja, sepertinya aku pernah melihat kucing itu, tapi entah dimana," Ucap suamiku, terlihat Sam mulai beranjak pergi menuju rumah kecilnya di ujung halaman.

"Mas tolong tutup lagi jendelanya, aku mual sekali," Ucapku sambil mengkerutkan dahi.

Aku tidak ingin melihat apapun lagi, kepalaku samar karena ingin segera merebahkan badan dan istirahat. Bayi dalam perutku-pun demikian, situasi ini membuatnya gusar tidak nyaman dalam perutku. Sesudah menutup jendela serta tirai, suamiku dengan gesit mengambil tisu, membersihkan noda di selimut agar diriku bisa nyaman dengan keadaan.

"Kamu tidak apa-apa sayang?" Tanya Hardi cemas.

"Iya mas, saat kamu membuka jendela itu, aku mencium aroma busuk, semakin hari aroma khas ini semakin pekat," Jawabku lemas.

"Aku mau mengambil air hangat, kamu tunggu sebentar," Timpa suamiku perhatian, lalu melangkah ke dapur.

Perutku semakin mual, kurasakan kepalaku semakin pening. Beberapa saat kemudian mataku terkatup.

Tertidur dengan keheningan.

***

"Tolong!"

"Tolong aku!"

"Siapa di sana?"

"Tolong!"

"Tolong kami!"

"Siapa?"

"Siapa itu?"


Siapa mereka? Sahutan minta tolong menggema diantara pikiranku, terasa nyata.

"Siska? Sayang? Sayang?" Seperti suara Hardi.

"Hardi? Itu kamu?"

Kurasakan badanku basah berkeringat, lalu membuka mata perlahan. Ternyata mimpi.

"Hari sudah pagi, kamu bermimpi buruk ya?" Tanya Hardi dengan membawa segelas susu hangat, dan cemilan kesukaanku.

"Iya..." Aku mulai bangkit, menahan perutku sesaat, bayiku pasti kelaparan.

"Kamu sepertinya sakit, bagaimana jika kita pergi ke dokter sore nanti?" Imbuh Hardi.

"Kamu tidak kerja mas?" Tanyaku.

"Aku cuti dulu, untuk menemanimu seharian, lagipula ada sesuatu yang harus aku kerjakan di halaman belakang." Jawab Hardi perhatian.

"Wiw...wiw..." Tiba-tiba terdengar suara sisine bersahutan, sangat dekat sekali.

"Ada apa mas?" Tanyaku terheran.

"10 menit yang lalu aku memanggil kepolisian, sekarang lebih baik kita berkemas, lalu pergi ke rumah ibuku, lalu di sore hari kita bisa berangkat ke dokter," Jawab suamiku tegas.

"Tapi..."

"Sudah, nanti aku ceritakan saat segalanya selesai," Suamiku mulai beranjak.

***

Lampu-lampu sirine terpancar di pelataran parkir rumah kami, terlihat beberapa polisi dan petugas forensik berdiskusi serius. Beberapa diantaranya sibuk menyusuri setiap bagian rumah kami, khususnya di halaman belakang.
Aku hanya mampu duduk di kursi teras belakang, bersama polisi wanita yang menemaniku. Aku tidak menyimak pembicaraannya dengan jelas, karena lebih terfokus akan suamiku yang membantu petugas kepolisian. Terlihat mereka sedang menggali gundukan pasir di belakang kamar tidur, aku melihat kucing belang itu lagi, ikut menyaksikan apa yang ada terkubur di dalamnya. Tidak lupa Sam dengan cekatan turut menggali tumpukan pasir itu dengan semangat.

Diriku terkejut melihat pemandangan yang aku saksikan sekarang, petugas kepolisian dan tim forensik berpakaian lengkap mulai mengangkat bagian yang kuanggap misterius, seperti bagian tubuh manusia!

"Hoekkk!" Mual mulai melanda.

Jadi dua minggu terakhir, aku dan Hardi tertidur disamping tumpukan mayat!

"Ibu, lebih baik kita menuju ambulan ya?" Polwan disampingku berusaha membawaku pergi, tapi aku menolaknya. Aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi!

Bagian demi bagian tubuh manusia mulai terangkat, entah berapa bagian, menurutku itu banyak sekali. Hal yang paling mencengangkan adalah ketika polisi mengangkat tubuh seorang anak kecil yang aku kira masih utuh walaupun mulai membusuk, tanda dia meninggal baru-baru ini. Pikiranku semakin runyam, tidak kuasa untuk melihatnya lagi.

Siapapun pelakunya, dia sangatlah keji!

***

["...motif pelaku adalah takut hubungan terlarang dengan supir pribadinya diketahui publik, sehingga dia gelap mata dan membunuh suaminya sendiri, dan mengurung anaknya hingga meninggal karena sama-sama mengetahui perselingkuhan itu. Pelaku atas nama "N" akhirnya mengubur korban di halaman belakang rumahnya..."]

Hidup memang penuh dengan prasangka yang tidak pasti, hitam putih dan begitu samar di pelupuk mata. Tidak menyangka, jika selama ini Bu Narsih yang kuanggap perempuan malang ternyata adalah pembunuh keji yang membantai habis keluarganya sendiri.

Dan motifnya adalah "Cinta?"

Berita ini membuat publik terkejut, hingga setiap stasiun televisi nasional meliputnya berhari-hari. Memang betul apa kata orang tua kita dulu, bahwa keburukan tidak bisa menyembunyikan busuknya.

Aku dan Hardi memutuskan kembali ke apartemen kami dulu, duduk di depan televisi menyaksikan berita ini berulang-ulang. Kami berdua mendapat pelajaran penting, jika rumah terbaik untuk kita pulang adalah orang yang kita sayang.

"Sayang, maafkan aku membawamu pada situasi ini, lain kali aku akan cermat memilih rumah," Ucap Hardi mencium keningku lembut, lalu mengusap perutku pelan.

"Dimanapun itu, kita harus menjaga satu sama lain ya," Jawabku tersenyum memeluknya.

Sunguh, ini menjadi pelajaran bagi kami, jika kenyamanan adalah hal yang tidak bisa dibeli dengan apapun.

Sesaat kemudian, aku melihat reporter memasuki ruang tamu untuk keperluan berita. Aku tercengang, ketika melihat lukisan di ruang tamu itu kembali berubah, terlihat anak kecil dan ayahnya bermain bersama di kotak pasir, sungguh aneh!. Di samping lukisan itu terkulai seekor kucing yang melihat kamera dengan penuh arti, aku melambai padanya walaupun dia tidak melihatku langsung.

Hewan adalah gelap-terang,
Manusia adalah hitam-putih.

Belang.

THE END

Spoiler for image source:
chisaaDheaafifahterbitcomyt
terbitcomyt dan 14 lainnya memberi reputasi
15
2.4K
33
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.