sniper2777Avatar border
TS
sniper2777
Warning! RI Krisis Ekonomi, Hantu Gagal Bayar Gentayangan
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (covid-19) memberi pukulan keras ke ekonomi domestik. Para pelaku ekonomi mulai merasa kesusahan mengatur arus kas (cash flow) karena pendapatan menurun drastis yang ujung-ujungnya membuat kesulitan membayarkan kewajiban (liabilities) alias utang.

Perusahaan-perusahaan pemeringkat (rating company) asing maupun lokal sudah memberikan sinyal ada risiko gagal bayar terhadap utang korporasi domestik karena dampak pandemi covid-19. Perusahaan rating, sesuai dengan kewajibannya, memberikan update terhadap kondisi keuangan para penerbit surat utang.

Hasilnya, beberapa perusahaan rating mamangkasi peringkat perusahaan dan utang karena ada risiko likuditas dari perusahaan-perusahaan yang menerbitkan surat utang tersebut.

Lembaga pemeringkat Fitch Ratings menyebutkan kas gagal bayar perusahaan-perusahaan Indonesia banyak terjadi di industri keuangan non-bank (IKNB).

"Kegagalan terkait tata kelola telah menghasilkan kerugian hingga US$ 3,5 miliar (setara Rp 49 triliun kurs Rp 14 ribu per US$) bagi investor sejak 2018," tulis Fitch, dikutip Kamis (9/7/2020).

Fitch menuliskan serangkaian kasus gagal bayar baru-baru ini akibat kegagalan tata kelola perusahaan di industri keuangan di Indonesia. Kondisi ini, diperparah dengan dampak pandemi Covid-19 yang mengguncang perekonomian nasional, sehingga meningkatkan risiko terjadinya gagal bayar.

Beberapa kasus gagal bayar datang dari industri keuangan non-bank karena menurut mereka industri ini tidak diatur secara ketat seperti sektor perbankan, meskipun ada beberapa penguatan regulasi dan pengawasan dalam beberapa tahun terakhir.

Sementara itu, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menyatakan potensi risiko gagal bayar di industri keuangan tanah air mengalami peningkatan. Perusahaan di sektor jasa keuangan khususnya perbankan dan perusahaan pembiayaan mengalami tekanan likuiditas karena dampak dari restrukturisasi kredit.

Direktur Utama Pefindo, Salyadi Saputra mengatakan, risiko gagal bayar meningkat di hampir semua sektor. Hal ini sudah tergambar dari beberapa perusahaan BUMN maupun swasta khususnya di sektor keuangan yang ratingnya sudah dipangkas oleh Pefindo hingga semester pertama 2020.

"Risiko meningkat, hampir di semua sektor meningkat. Masalahnya mungkin yang sangat mengkhawatirkan, jangan sampai terjadi default besar-besaran," tutur Salyadi, dalam pemaparan secara virtual, Jumat (10/7/2020).

Direktur Pemeringkatan Pefindo, Hendro Utomo menambahkan di masa pandemi seperti sekarang ini, penyaluran pembiayaan baru oleh perbankan maupun leasing mengalami penurunan yang cukup tajam.

Tekanan likuiditas ini juga disebabkan penerimaan yang berkurang karena restrukturisasi kredit. Tapi, Pefindo memberikan catatan, risiko gagal bayar cenderung lebih rendah bagi perusahan di sektor jasa keuangan yang tergabung dalam konglomerasi besar karena memiliki bantalan likuiditas yang cukup memadai.

"Walaupun mereka juga terdampak oleh kondisi pandemi ini, namun tidak sampai mengurangi kemampuan dalam membayar kewajiban jatuh tempo," tuturnya.

Situasi ekonomi Indonesia memang sedang mengalami tekanan akibat dampak covid-19. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan beberapa kali berbicara mengenai krisis ekonomi dan kesehatan yang dialami Indonesia, akibat pandemi virus corona (Covid-19).

Terakhir kali Jokowi berbicara soal krisis ekonomi dan kesehatan, saat memberikan pengarahan untuk penanganan Covid-19 terintegrasi di Provinsi Jawa Tengah, Semarang, yang disiarkan melalui Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (30/6/2020).

"Saya titip yang kita hadapi ini bukan urusan krisis kesehatan saja, tapi juga masalah ekonomi. Krisis ekonomi," tegas Jokowi.

Jokowi menjelaskan soal krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini. Suplai barang dan produksi sudah mulai terganggu. Hal ini pada akhirnya membuat aktivitas perekonomian lumpuh total.

"Pada kuartal pertama kita masih bisa tumbuh keadaan normal di atas normal. Tapi kuartal I kemarin kita (ekonomi) tumbuh 2,97%. Tapi di kuartal II kita sangat khawatir kita sudah berada pada posisi minus pertumbuhan ekonomi kita," katanya.

Jokowi lantas menjelaskan konsep rem dan gas dalam upaya mengendalikan Covid-19 sekaligus menjaga perekonomian. Menurutnya, kedua hal tersebut mau tidak mau harus dilakukan.

"Ekonomi bagus tapi Covid naik. Bukan itu yang kita inginkan. Covid terkendali, tapi ekonomi juga tidak mengganggu kesejahteraan masyarakat. Tapi ini bukan barang yang mudah. Semua negara alami," katanya.

"Oleh sebab itu, kalau kita bisa atur dan kelola gas dan rem antara Covid, antara kesehatan dan ekonomi, inilah yang kita harapkan. Dan ini menjadi tanggung jawab kita semua," tegasnya.

Menurut Fitch Ratings, kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang gagal bayar pada Oktober 2018 dengan perkiraan simpanan sebesar US$ 1,2 miliar atau Rp 16,8 triliun, merupakan kasus pembuka serangkaian gagal bayar di industri keuangan.

Namun kasus asuransi Jiwasraya penyebabnya lebih karena kesalahan pengelolaan investasi dan fraud yang menyebabkan ada dugaan tindak pindana korupsi. Karena yang terlubat dalam kasus ini banyak.

Kemudian muncul beberapa kasus tak berselang lama, terjadi pada PT Sunprima Nusantara Pembiayaan, perusahaan pembiayaan yang dituduh melaporkan piutang fiktif dan gagal membayar utang dengan total sekitar US$ 300 juta atau Rp 4,2 triliun.

Selanjutnya kasus gagal bayar juga terjadi pada Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Cipta (Koperasi Indosurya) sebesar US$ 1 miliar atau Rp 14 triliun.

"Kami melihat IKNB yang lebih kecil dan dimiliki swasta lebih rentan terhadap penyimpangan tata kelola daripada entitas yang lebih besar dan terdaftar yang biasanya akan menarik perhatian lebih besar," tulis Fitch.

Selain gagal bayar dalam bentuk investasi pada IKNB, gagal bayar utang juga mulai dialami perusahaan-perusahaan Indonesia. Emiten peritel ponsel dan voucher PT Tiphone Mobile Indonesia bk (TELE) bersama dengan empat anak usahanya resmi berada dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) setelah perusahaan mengalami gagal bayar atas utang baik utang obligasi maupun utang bank sindikasi.

Nilai total utang gagal bayar itu mencapai Rp 3,23 triliun untuk nilai pokok. Sementara itu nilai bunga untuk rupiah dari utang obligasi dan sindikasi mencapai Rp 72,16 miliar, ditambah dengan nilai bunga untuk mata uang dolar AS (US$ 1,68 juta) setara dengan Rp 23,56 miliar, maka nilai total bunga yakni Rp 95,72 miliar.

Artinya, jika pokok ditambah nilai bunga maka total mencapai Rp 3,33 triliun. Perseroan telah menyampaikan keterbukaan informasi sehubungan dengan utang gagal bayar pada 22 Juni 2020. Adapun alasan keterlambatan dikarenakan pembuatan surat jawaban tersebut membutuhkan diskusi dari beberapa pihak manajemen terkait.

Selain Tiphone, PT Modernland Realty Tbk (MDLN) juga menyampaikan penundaan pembayaran obligasi dengan nilai pokok Rp 150 miliar yang seharusnya jatuh tempo pada hari ini, Selasa, 7 Juli 2020.

Berdasarkan pengumuman PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), perseroan akan melaksanakan Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO) yang salah satu agendanya membahas tanggal pelunasan. Obligasi Berkelanjutan I Modernland Realty Tahap I Tahun 2015 seri B. Obligasi itu memiliki tenor lima tahun dengan tingkat kupon 12,5 persen per tahun.

Tak hanya FitchRating, Moody's Investor Service memangkas rating atau peringkat emiten properti Modernland dari sebelumnya Caa1 menjadi Ca dengan prospek ke depan tetaplah negatif.

Vice President and Senior Credit Officer Moody's, Jacinta Poh mengatakan, penurunan peringkat ini mengindikasikan adanya kemungkinan risiko gagal bayar Moderland dalam waktu dekat ini yang disebabkan oleh penurunan arus kas perusahaan dan terganggunya likuiditas karena pandemi Covid-19 yang menyebabkan terganggunya penjualan properti perseroan.

Kas dan setara kas perseroan mengalami penurunan menjadi Rp 180 miliar pada 31 Maret 2020 dari posisi akhir Desember 2019 sebesar Rp 554 miliar.

Tak hanya MDLN, salah satu emiten properti dan perhotelan, PT Kota Satu Properti Tbk (SATU), baru saja menyelesaikan sidang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) pada 3 Juli lalu. Beruntung, SATU berhasil berdamai dengan 7 dari 8 krediturnya dan diberikan kelonggaran berupa penundaan kewajiban pembayaran selama 32 hari.

Selain itu, beberapa waktu lalu Moody's menurunkan Corporate Family Rating (CFR) serta rating obligasi 3 perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak usahanya.
Ketiga perusahaan BUMN tersebut adalah PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Jasa Marga Tbk (JSMR), PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II).

Moody's menurunkan rating WIKA dari Ba3 menjadi Ba2 dan menurunkan pandangan kedepan perusahaan ini dari stabil menjadi negatif.

Menurut Moody's penurunan rating ini dikarenakan sektor usaha WIKA sudah terdampak sangat parah oleh pandemi virus corona dan menurut Moody's dengan terganggunya rantai pasokan dan terganggunya pekerjaan di bidang konstruksi walaupun tidak parah, ini akan menganggu penyelesaian proyek-proyek WIKA.

Moody's juga menurunkan rating Jasa Marga dari Baa2 menjadi Baa3 dan outlook perusahaan tetap negatif.

Penurunan rating ini menurut Moody's dikarenakan turunya ekspektasi dukungan dari pemerintah Indonesia terhadap BUMN ini karena pemerintah Indonesia nampaknya semakin selektif terhadap BUMN mana yang layak dibantu karena kondisi fiskal Indonesia yang sedang kurang baik.

Apalagi menurut Moody's JSMR tidak memiliki posisi yang strategis dari kepentingan pemerintah Indonesia dibandingkan dengan perusahaan lain. Walaupun begitu Moody's beranggapan bila pemerintah Indonesia akan tetap membantu JSMR bila benar-benar diperlukan

Outlook negatif yang diberikan Moody's juga dikarenakan oleh resiko kredit yang terus menghantui Jasa Marga dampak dari merebaknya virus corona. Moody's berekspektasi terjadinya kontraksi di tingkat lalu lintas terutama di tol milik Jasa Marga akan menurunkan tingkat arus kas JSMR pada tahun 2020.

Walaupun pemerintah Indonesia sudah melonggarkan Pembatasan Sosial berskala Besar (PSBB) akan tetapi ketidakpastian akan terjadinya gelombang kedua virus corona tetap cukup besar.

Tak ketinggalan Moody's juga menurunkan rating PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) dari Baa2 menjadi Baa3, akan tetapi menurut Moody's outlook perusahaan ini tetaplah stabil kedepanya.

Penutunan rating Pelindo II dikarenakan turunya ekspektasi dukungan dari pemerintah Indonesia terhadap BUMN ini karena pemerintah Indonesia nampaknya semakin selektif terhadap BUMN mana yang layak dibantu karena kondisi fiskal Indonesia yang sedang kurang baik.

Apalagi menurut Moody's Pelindo II tidak memiliki posisi yang strategis dari kepentingan pemerintah Indonesia dibandingkan dengan perusahaan lain. Walaupun begitu Moody's beranggapan bila pemerintah Indonesia akan tetap membantu Pelindo II bila benar-benar diperlukan.

Menurut Moody's sektor pelabuhan juga terkena efek kejut virus corona, dimana total volum kargo yang dikirim dan diterima turun karena tingkat perdagangan global juga turun akibat terkontraksinya kondisi makro ekonomi global.


https://www.cnbcindonesia.com/market...-gentayangan/1




GIF



rontok! emoticon-Nohope
nomorelies
nomorelies memberi reputasi
1
1.7K
34
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.8KThread40.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.