i.am.legend.Avatar border
TS
i.am.legend.
Kisruh PPDB DKI Jakarta terkait Usia Dibawa ke DPR!


Kisruh PPDB DKI Jakarta terkait Usia Dibawa ke DPR!

Jakarta - Masalah protes orang tua siswa pada Penerimaan Peserta Didik (PPDB) zonasi DKI Jakarta belum menemui solusi. Aduan terkait masalah usia ini sampai dibawa ke DPR RI, Senayan.
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi menyebut sejumlah orang tua didampingi Komnas Perlindungan Anak mengadu ke DPR Selasa (30/6) kemarin. Komisi X DPR pun memutuskan menerima para orang tua yang mengadu dan menggelar forum RDPU.

"Kita terima di ruang paripurna, ada sekitar 20 yang datang dan mereka menyampaikan data bahwa PPDB di DKI itu menggunakan sebuah pendekatan yang berbeda dengan provinsi lain. Pendekatannya itu dia tidak menggunakan jarak, meter, tetapi menggunakan usia terlebih dahulu baru kelurahan," kata Dede Yusuf saat dikonfirmasi, Rabu (1/7/2020).

Dede Yusuf menyebutkan anak-anak yang jarak rumahnya ke sekolah yang didaftarkan terdepak dengan peserta yang usianya lebih tua. Dede Yusuf menyebut para orang tua yang mengadu juga menyatakan menolak penambahan kuota zonasi.

"Data-data ini dipaparkan dan termasuk Komnas Anak kemarin ya, Bang Arist Merdeka Sirait, mereka menyampaikan mereka menolak kalau ada penambahan kuota padahal mestinya memang kita ini kan penginnya outputnya terjadi sebuah penerimaan buat anak-anak. Tetapi karena bicaranya dari sisi legalitas, memang kalau secara legalitas DKI menyalahi Permendikbud karena di provinsi lain semua melaksanakannya dengan sistem meter itu tidak ada masalah," ucap Dede Yusuf.

Dede Yusuf menyebut seorang calon siswi pun mengadu ke DPR soal proses belajar yang dijalaninya untuk diterima di sekolah favorit. Calon siswi itu harus menanggung kecewa karena kalah dengan calon yang usianya lebih senior.

"Dia menyampaikan bagaimana dia proses sudah bimbel, sudah belajar, karena hanya perbedaan 2 bulan dia kalah. Sementara yang usia masuk ini jarak antara sekolah dan rumah sendiri lebih jauh," kata Dede Yusuf.
sumber

*****

"Dasar tua luh!"
"Biarin. Yang penting gue dapat sekolah. Daripada elu, muda, tapi sekolah susah!"

Ungkapan itu mungkin sekarang berlaku di DKI Jakarta.

Dimasa pandemi yang belum reda, diantara kebosanan anak-anak hingga remaja menghabiskan banyak waktu di rumah sehingga membuat jenuh, menunggu waktu pendaftaran sekolah dengan hati riang gembira, tahu-tahu yang terjadi adalah sebuah malapetaka yang tak pernah diduga-duga.

Dan lagi-lagi DKI Jakarta tak bosan-bosannya membuat ulah. Entah kenapa, dari atasan hingga bawahan selalu membuat kebijakan yang banyak merugikan masyarakat.

Zonasi, adalah kebijakan yang dibuat untuk menggantikan sistem Rayon. Hampir sama, tapi beda penerapan. Jika Rayon memakai cakupan yang lebih luas dengan nilai sebagai patokan bagi calon siswa SMP dan SMA atau SMK, maka Zonasi mengedepankan pemerataan siswa-siswi berdasarkan area Kecamatan atau jarak yang terdekat antara calon siswa-siswi dengan sekolah.

Mungkin bagi sebagian orangtua murid, sistem Zonasi ini merugikan. Karena jika anak mereka tergolong cerdas, dalam zonasi ini peluang anak mereka untuk mendapatkan sekolah favorit akan lebih kecil andai sekolah favorit tersebut tidak berada dalam wilayah Zonasi pilihannya. Tapi justru itu yang diharapkan pemerintah. Pemerintah menginginkan pemerataan agar semua sekolah mendapatkan murid yang cukup, merata tingkat akademiknya, serta memberi kemudahan bagi calon siswa-siswi itu sendiri. Itulah sebabnya dalam sistem Zonasi masih dibuka peluang yang lain melalui jalur afirmasi prestasi yang ditentukan oleh nilai. Bagi orangtua murid yang tetap mengejar sekolah favorit tetap bisa melalui jalur prestasi, meskipun kuota yang disediakan hanya berkisar 20%, jauh lebih sedikit dibanding jalur zonasi.

Betapa tidak terpukul hati orangtua murid jika anak mereka gagal masuk sekolah yang sudah ditentukan oleh Zonasi, justru kalah oleh anak lain yang usianya lebih tua daripada anak mereka. Dan hal inilah yang jadi pangkal kekisruhan penerimaan murid baru di DKI Jakarta.

Anak buah Anies di Disdik DKI Jakarta membuat kebijakan menyimpang dari kebijakan Kemendikbud yang sudah baku. Kuota Zonasi yang ditentukan oleh Kemendikbud sebesar minimal 50% justru dikebiri memjadi hanya 40%. Diperparah lagi, yang menentukan seorang calon siswa-siswi bukanlah nilai, akan tetapi sebuah umur! Padahal sebarusnya, jika kuota Zonasi ditekan hanya 40%, hal ini masih bisa ditolerir andai batasan usia tidak dijadikan patokan.

Bisa dibayangkan, para orangtua akhirnya pontang panting mencari sekolah untuk anaknya. Anak yang seharusnya bisa bersekolah dekat rumahnya jadi terdepak begitu saja ketika anak yang usianya lebih tua dari anaknya diperlalukan istimewa.

Coba kita runut satu persatu dari tingkat sekolah yang terendah, Sekolah Dasar.

Pada Sekolah Dasar, memang yang diutamakan adalah zonasi dan usia. Bagi anak SD, usia memang sangat penting. Lagipula untuk masuk SD tidak diperlukan nilai. Untuk itulah, anak yang berusia lebih tua harus mendapat keistimewaan agar mereka bisa segera bersekolah.

Beranjak ke Sekolah Menengah Pertama, jelas disamping Zonasi, seharusnya peringkat nilai yang diperhitungkan, bukan usia lagi. Sebab mereka telah memperoleh nilai dari hasil pendidikan selama 6 tahun. Alangkah kecewanya mereka ketika menemui kenyataan bahwa hasil nilai tinggi mereka menjadi sia-sia karena kalah oleh usia anak lain, sementara dirinya memang lebih muda. Apakah ini adil? Sama sekali tidak. Mungkin jika kuota zonasi ini diperbanyak, ada banyak anak yang terselamatkan. Tapi ini tidak. Bangku sekolah yang seharusnya menerima 50 hingga 60 anak justru dipangkas menjadi 40. Alhasil ada 10 hingga 20 anak terdepak dari sekolah yang diinginkan. Dan ketika sekolah yang masuk dalam zonasi semua seperti itu, praktis si anak tak dapat harapan kecuali mengikuti jalur prestasi. Ini kalau prestasi nilai si anak masuk golongan cerdas. Kalau biasa-biasa saja? Terdepak lagi. Sementara kuota hanya diberikan 20%, taruhlah 20 murid.

"Hukuman" ini semakin menjadi-jadi ketika Disdik DKI Jakarta memberi golden ticket bagi mereka yang orangtuanya supir angkot, supir Trans Jakarta, bekerja sebagai PPSU, SDA. Sementara orangtua si anak bukan termasuk dalam semua itu.

Dan untuk tingkat Sekolah Lanjutan Atas, sama persis dengan Sekolah Menengah Pertama. Hitung berapa banyak anak yang tak bisa bersekolah pada akhirnya. Dan mau tidak mau mereka harus masuk sekolah swasta! Sekolah Swasta artinya membayar uang gedung, uang pangkal, uang seragam, uang buku, uang tetek bengek. Dan ketika orangtua tak sanggup, ancaman putus sekolah membayangi si anak. Jadi jangan kaget jika kita mendengar sampai ada anak yang ingin bunuh diri karena kecewa tak bisa bersekolah.

Lalu ketika zonasi baru diberlakukan untuk mensiasati kekisruhan ini, taruhlah zonasi RW, memang semua RW di Jakarta punya sekolah? Kalau SD saja belum tentu, apalagi SMP dan SMA/SMK?

Entah apa yang merasuki hati Gubernur DKI Jakarta dan Disdik DKI Jakarta. Padahal Gubernur DKI Jakarta adalah mantan Menteri Pendidikan, meskipun terbilang sangat cepat usia menjabatnya karena dipecat. Seharusnya dia bisa lebih bijaksana, bukan justru membuat kebijakan menyimpang dari aturan Kemendikbud. Apa yang mereka kejar? Apa yang mereka inginkan?

Dan ketika ada usulan penambahan bangku sekolah bagi mereka yang tak mendapat kuota zonasi, itu artinya ada penambahan murid tiap kelas. Banyaknya murid dalam 1 kelas pasti mengurangi rasa nyaman belajar. Dan itu juga menjadi beban pihak sekolah maupun guru. Rencana ini ibarat menambal jalan yang berlubang.

Yang terasa aneh, aturan menyimpang di DKI Jakarta ini baru tahun ini terjadi, seiring dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru menjabat sejak tahun 2019.

Seperti ada dendam, tapi pasti bukan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Dan ketika DPRD DKI Jakarta tak didengar saran-saran serta kritikannya, maka DPR pun turun tangan. Dan baru kali ini DPR mengurusi urusan Pemda.

Seharusnya seluruh jajaran Pemprov DKI Jakarta malu karena DPR sampai turun tangan.

Tapi bukan Anies Baswedan kalau tidak selalu beda. Semua harus berbeda. Entah nama, entah aturan. Pokoknya harus beda.

Capek sebenarnya mengkritisi seorang Anies Baswedan, sebab dia selalu merasa benar. Andai seorang Gubernur bisa diimpeachment, mungkin ceritanya akan lain. Tak akan ada rekening KJP hilang tiba-tiba, atau tidak turun sama sekali sesuai janji Gubernurnya itu.

Hadeeh... Mendingan ngopi deh.
falin182
bendolpeang
knoopy
knoopy dan 9 lainnya memberi reputasi
10
1.6K
30
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.7KThread40.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.