ismilaila
TS
ismilaila
Kumpulan Cerpen Berbagai Genre
Kumpulan Cerpen yang Dapat Menemani Waktu Luang Kamu


Sumber : Pinterest

PULANG

Rahman menghentikan mobilnya tepat di sebuah halaman rumah yang cukup luas. Mesin kendaraan roda empat miliknya berhenti, tapi lelaki berusia empat puluh tahunan itu tidak lekas beranjak dari kursi kemudi. Netranya menatap lurus ke depan beranda rumah bercat hijau toska. Ada keraguan dalam sudut hatinya, apakah kembali pulang adalah tindakan yang tepat.

Jika bukan karena anak-anak, tentu diurungkan niatnya ini. Kerinduan pada dua buah hati yang sudah menginjak usia dewasa, membuatnya nekat membawa diri ke sini.

Pria berpakaian necis itu mengembuskan napas. Ia melangkah keluar dengan ragu, apakah kedatangannya kali ini di sambut baik oleh sang istri.

Rahman berdiri tepat di depan pintu. Saat akan mengetuk, tiba-tiba seseorang telah membukanya dari dalam. Membuat pria itu sedikit mundur.

"Ayah?" ucap gadis berrambut lurus dengan alis bertaut."

Rahman sedikit kikuk, ada rasa tak enak dalam hati. Padahal, yang di hadapannya saat ini adalah putrinya sendiri.

"Reina ... boleh, Ayah masuk?" tanyanya meminta persetujuan.

"Masuk aja, Yah. Kenapa minta ijin dulu?" Sang putri berkata sembari membuka pintu lebar-lebar.

Rahman mengempaskan punggung ke sofa berwarna putih. Sorot matanya menatap hingga ke sudut ruangan. Tak banyak yang berubah setelah ia pergi. Hanya sesuatu yang berbeda di sebuah lemari kaca. Di sana, berdiri beberapa bingkai foto, tetapi ... tak ada lagi satu pun potret dirinya ikut meramaikan tempat itu. Ia menelan saliva, 'Sepertinya orang-orang di rumah ini benar-benar telah melupakanku,' batinnya pilu.

"Diminum dulu tehnya, Yah." Gadis berparas ayu itu meletakan segelas teh hangat di meja, disusul beberapa cemilan.

Ia ikut mengempaskan tubuh di seberang sang Ayah. Dengan perasaan yang ... entah. Ada amarah yang masih mengendap, tetapi rasa rindu kepada cinta pertamanya lebih mendominasi.

"I-ibu mu, di mana?" tanya Rahman ragu.

Reina mengembuskan napas sebelum menjawab, "Ibu pamit ke warung tadi."

Rahman hanya mengangguk.

"Randi, di mana?" Rahman bertanya keberadaan putra bungsunya.

"Biasa, main di luar. Besok pagi juga pulang, tapi sorenya pasti pergi lagi," jawab Reina dengan santai.

Jantung Rahman seketika berdegup kencang. Mendengar penuturan Reina tanpa rasa bersalah. Matanya membesar, puluhan tanya menari dalam benak.

"Kenapa kamu membiarkan dia sebebas itu?" Rahman bertanya dengan suara tinggi. Antara marah, kecewa, dan, sedih.

Reina terdiam, matanya menatap ke bawah meja. Ia tak berani angkat bicara.

Rahman mengusap wajah, menyesali apa yang telah terjadi pada keluarga ini. Selepas ia pergi, tak ada satu pun kabar yang ia dengar. Sebab istrinya benar-benar memberi sekat pada mereka.

"Mau apa datang ke sini?" Suara dari pintu masuk terdengar sengit.

Rahman dan Reina menoleh ke sumber suara. Di sana, berdiri seorang wanita berwajah masam.

"Aku ... hanya ingin pulang." Nyali Rahman seakan menciut, maka hanya kata itu yang meluncur dari bibirnya.

Tersenyum kecut, Melfa-sang istri-hanya menggeleng. Sedetik kemudian ia melangkah dan berdiri di hadapan Rahman, suaminya.

"Pulang? Aku pikir kau sudah lupa dengan tempat ini," ucapnya dengan sorot tajam.

"Aku rindu kalian, makanya aku pulang. Apa sudah tak ada tempat untukku menginjakkan kaki di rumah sendiri?" Rahman berkata dengan penuh penekanan.

"Kau sudah tak punya hak untuk datang ke sini semenjak diam-diam menikahi wanita jalang itu."

"Jaga mulutmu! Apa dirimu jauh lebih sempurna? Sikapmu saat ini telah menunjukkan siapa kau sebenarnya!"

Melfa tertawa sembari mengambil tempat duduk di sebelah Reina. "Lihat, Rei? Bahkan Ayahmu ini mati-matian membela istri murahannya. Menjijikan."

Reina membisu, berada di posisi ini membuat jiwanya semakin kacau.

"Pergilah dari sini, tidak ada yang menginginkanmu datang kembali. Lagipula, apa kau tidak punya malu menampakkan diri di hadapanku?"

"Aku ke sini untuk bertemu Reina dan Randi. Tentulah mereka merindukan Ayahnya. Aku akan tetap di sini menunggu Randi pulang."

"Menunggu Randi? Aku menerka bahwa ia tak akan sudi pulang jika di rumah ini ada pengkhianat."

"Melfa!" Rahman bangkit, netranya menatap istri pertamanya dengan kilatan amarah. "Aku masih suamimu. Randi dan Reina juga akan tetap menjadi anakku. Aku sadar telah melakukan kesalahan. Aku sudah meminta maaf malam itu. Tidakkah cukup hukuman yang aku terima dengan berpisah berbulan-bulan dari kalian?"

Melfa hanya membisu, sorot matanya mengarah ke sembarang arah. Napasnya naik turun menahan emosi. Setetes bulir bening meluncur ke pipinya, tetapi secepat kilat ia mengusap dengan punggung tangan.

Reina terisak, bahunya berguncang. Hatinya hancur berkeping-keping.

Rahman kembali duduk, ia mengusap wajah, lalu mengembuskan napas. Frustasi.

Hening beberapa saat, hanya isakan kecil yang terdengar memilukan dari bibir Reina.

"Lebih baik aku pergi. Aku memang sudah tak mendapat tempat di sini," ujar Rahman sembari berdiri. Menatap sang putri sesaat lalu berkata, "Reina, Ayah pergi. Sampai jumpa lain waktu."

Semakin terisak, Reina tak menjawab. Ia menenggelamkan wajah di kedua telapak tangan sambil menunduk.

"Ya, memang seharusnya kau tak kembali." Melfa bangkit, menuju pintu dan berdiri di sana.

Rahman mengayunkan kaki, saat sampai di depan pintu mobil, ia berhenti dan menatap rumah penuh kenangan itu untuk beberapa saat.

"Sampai jumpa di pengadilan," ucap Melfa dengan ekspresi datar, lalu menutup pintu dengan kasar hingga menimbulkan suara keras.

"Semuanya sudah berakhir," ucap pria itu lirih.


-Tamat-

Bandar Masilam, 16062020

Belajar Bersama Bisa dan Terima Kasih

Diubah oleh ismilaila 12-07-2020 22:53
gustiarnysaragifaridatul.aaisber
aisber dan 27 lainnya memberi reputasi
28
3.9K
275
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.