.noiss.Avatar border
TS
.noiss.
WHO Hentikan Uji Klinis Hydroxychloroquine Sebagai Obat COVID-19
26 Mei 2020

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memutuskan untuk menghentikan penggunaan klinis obat anti-malaria Hydroxychloroquine dalam pengobatan pasien COVID-19. Keputusan itu diambil berdasarkan observasi yang dilakukan oleh tim medis dan diterbitkan dalam jurnal kedokteran The Lancet. Berdasarkan kajian mereka, pasien yang mengonsumsi obat anti-malaria itu memiliki risiko kematian lebih tinggi dan permasalahan pada jantung. Sedangkan, mereka yang tidak mengonsumsi obat itu tidak rentan terhadap risiko tersebut.

Penghentian uji klinis Hydroxychloroquine sudah dilakukan di beberapa negara sejak (25/5) lalu.

"Organisasi WHO akan mencoba menggunakan pengobatan lainnya sebagai bagian dari kajian tersebut, termasuk obat percobaan remdesevir dan terapi kombinasi HIV," ungkap Kepala Program Darurat WHO, Mike Ryan dan dikutip laman Deutsche Welle pada (25/5) lalu.

Padahal, Presiden Amerika Serikat, Donal Trump sempat mengatakan ia telah mengonsumsi obat itu agar terhindar dari COVID-19. Bahkan, obat yang belum teruji klinis itu didorong oleh Trump agar digunakan secara lebih luas.

Lalu, apa sebenarnya hasil kajian yang diterbitkan di jurnal The Lancet? Bagaimana penggunaan Hydroxychloroquine di Indonesia?

1. Kajian jurnal Lancet menunjukkan pasien COVID-19 yang konsumsi hydroxychloroquine lebih banyak yang meninggal

WHO Hentikan Uji Klinis Hydroxychloroquine Sebagai Obat COVID-19(Ilustrasi obat chloroquine) www.techstartsup.com

Studi jurnal The Lancet terbit pada pekan lalu. Kajiannya melibatkan 96 ribu pasien COVID-19. Sebanyak 15 ribu yang diberi obat hydroxychloroquine atau chloroquine lainnya, entah dikonsumsi dengan antibiotik atau hanya obat itu saja. Sebanyak 18 persen kelompok pasien yang diberi obat hydroxychloroquine, meninggal. 16,4 persen pasien yang diberi obat chloroquine mengalami nasib serupa. Bahkan, tingkat kematian pasien akan jauh lebih tinggi, bila obat hydroxychloroquine dikombinasi dengan antibiotik.

Hydroxychloroquine merupakan obat yang aman bagi pasien yang terjangkit penyakit malaria, atau mengalami gejala seperti lupus atau arthritis.

2. Permintaan terhadap obat hydroxychloroquine mengalami kenaikan sejak dipromosikan Trump
Stasiun berita BBC (26/5) melaporkan usai pemberitaan luas mengenai Trump mengonsumsi hydroxychloroquine, permintaan terhadap obat tersebut meningkat di Amerika Serikat. Publik juga banyak meminta agar diberi resep chloroquine. 

Tablet yang mengandung chloroquine sesungguhnya sudah lama digunakan untuk pengobatan malaria untuk mengurangi demam dan radang. Harapannya semula, usai mengonsumsi obat itu, maka efeknya bisa melawan gejala yang ditimbulkan dari COVID-19. 

Saat ini ada proses uji klinis yang dilakukan di berbagai negara terhadap kemanjuran hydroxychloroquine. Sebagai bagian dari kajian ini, petugas medis yang berada di garda terdepan dan rentan terpapar virus Sars-CoV-2, mengonsumsinya sebagai penangkal. 

Salah satu otoritas berwenang yang mengizinkan penggunaan hydroxychloroquine adalah BPOM AS (FDA). Namun, penggunaan obat tersebut hanya dalam kondisi darurat dan di beberapa rumah sakit saja. 

FDA memang tidak mengatakan obat hydroxychloroquine memiliki dampak positif terhadap pasien COVID-19, tetapi artinya dalam kondisi tertentu, rumah sakit dapat meminta dan menggunakan obat tersebut dari cadangan milik pemerintah untuk pengobatan COVID-19.


3. WHO juga meminta Indonesia agar menghentikan konsumsi hydroxychloroquine bagi pasien COVID-19


Notifikasi dari WHO juga diberikan kepada Pemerintah Indonesia agar menghentikan penggunaan hydroxychloroquine bagi pasien COVID-19. Kantor berita Reuters memperoleh konfirmasi dari sumber yang tidak ingin diungkap identitasnya mengatakan sejak Maret lalu, Indonesia sudah terus menambah produksi obat hydroxychloroquine. Bahkan, otoritas terkait memberikan sekitar 20 puluh lisensi kepada produsen obat lokal untuk bisa memproduksi obat itu. 

Bahkan, berdasarkan dokumen yang disiapkan oleh Kementerian Kesehatan untuk rapat bersama Komisi IX DPR menunjukkan produsen obat di Indonesia sudah memproduksi 15,4 juta dosis obat hydroxychloroquine pada periode April dan Mei. 

Dari laporan Reuters, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, menerbitkan informasi mengenai COVID-19, termasuk panduan penggunan obat hydroxychloroquine dan dosis yang dianjurkan bagi pasien remaja dan orang dewasa. Namun, obat itu hanya ditujukan bagi pasien dengan gejala hingga kronis. 

Uniknya di dalam rekomendasi itu pula terdapat peringatan bahwa ada risiko pasien mengalami komplikasi penyakit jantung, bila mengonsumsi hydroxychloroquine saja. Oleh sebab itu, dianjurkan pasien mengonsumsi hydroxychloroquine dan antibiotik azithromycin. 

Pakar paru di Indonesia, dr. Erlina Burhan, membenarkan hydroxychloroquine dan antibiotik azithromycin memang menjadi resep yang rutin diberikan ke pasien COVID-19. Ia mengaku sulit mengetahui apakah obat itu chloroquine benar-benar meningkatkan risiko kematian pasien COVID-19. Tetapi, keampuhan obat itu masih terus diteliti. 

Erlina juga membenarkan WHO mengirimkan notifikasi agar Pemerintah Indonesia menghentikan penggunaan hydroxychloroquine. Ia mengatakan pemerintah masih mendiskusikan mengenai dorongan agar tak lagi menggunakan hydroxychloroquine sebagai obat. 

"Sebab masih ada sebagian yang menentang. Kami belum memutuskan apa-apa hingga kini," kata Erlina. 

https://www.idntimes.com/news/world/...paign=internal



https://www.reuters.com/article/us-h...-idUSKBN23227L






Hydroxychloroquine or chloroquine with or without a macrolide for treatment of COVID-19: a multinational registry analysis.

Prof Mandeep R Mehra, MD
Sapan S Desai, MD
Prof Frank Ruschitzka, MD
Amit N Patel, MD Published:May 22, 2020DOI:https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)31180-6

Hydroxychloroquine or chloroquine, often in combination with a second-generation macrolide, are being widely used for treatment of COVID-19, despite no conclusive evidence of their benefit. Although generally safe when used for approved indications such as autoimmune disease or malaria, the safety and benefit of these treatment regimens are poorly evaluated in COVID-19.

Methods

We did a multinational registry analysis of the use of hydroxychloroquine or chloroquine with or without a macrolide for treatment of COVID-19. The registry comprised data from 671 hospitals in six continents. We included patients hospitalised between Dec 20, 2019, and April 14, 2020, with a positive laboratory finding for SARS-CoV-2. Patients who received one of the treatments of interest within 48 h of diagnosis were included in one of four treatment groups (chloroquine alone, chloroquine with a macrolide, hydroxychloroquine alone, or hydroxychloroquine with a macrolide), and patients who received none of these treatments formed the control group. Patients for whom one of the treatments of interest was initiated more than 48 h after diagnosis or while they were on mechanical ventilation, as well as patients who received remdesivir, were excluded. The main outcomes of interest were in-hospital mortality and the occurrence of de-novo ventricular arrhythmias (non-sustained or sustained ventricular tachycardia or ventricular fibrillation).

Findings

96 032 patients (mean age 53·8 years, 46·3% women) with COVID-19 were hospitalised during the study period and met the inclusion criteria. Of these, 14 888 patients were in the treatment groups (1868 received chloroquine, 3783 received chloroquine with a macrolide, 3016 received hydroxychloroquine, and 6221 received hydroxychloroquine with a macrolide) and 81 144 patients were in the control group. 10 698 (11·1%) patients died in hospital. After controlling for multiple confounding factors (age, sex, race or ethnicity, body-mass index, underlying cardiovascular disease and its risk factors, diabetes, underlying lung disease, smoking, immunosuppressed condition, and baseline disease severity), when compared with mortality in the control group (9·3%), hydroxychloroquine (18·0%; hazard ratio 1·335, 95% CI 1·223–1·457), hydroxychloroquine with a macrolide (23·8%; 1·447, 1·368–1·531), chloroquine (16·4%; 1·365, 1·218–1·531), and chloroquine with a macrolide (22·2%; 1·368, 1·273–1·469) were each independently associated with an increased risk of in-hospital mortality. Compared with the control group (0·3%), hydroxychloroquine (6·1%; 2·369, 1·935–2·900), hydroxychloroquine with a macrolide (8·1%; 5·106, 4·106–5·983), chloroquine (4·3%; 3·561, 2·760–4·596), and chloroquine with a macrolide (6·5%; 4·011, 3·344–4·812) were independently associated with an increased risk of de-novo ventricular arrhythmia during hospitalisation.
Interpretation

We were unable to confirm a benefit of hydroxychloroquine or chloroquine, when used alone or with a macrolide, on in-hospital outcomes for COVID-19. Each of these drug regimens was associated with decreased in-hospital survival and an increased frequency of ventricular arrhythmias when used for treatment of COVID-19.


https://www.thelancet.com/journals/l...180-6/fulltext

GW BILANG JUGA APA CONG BENCONG....

emoticon-Leh Uga
Diubah oleh .noiss. 27-05-2020 20:31
jeffm12
tepsuzot
tien212700
tien212700 dan 4 lainnya memberi reputasi
3
2.5K
37
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita Luar Negeri
Berita Luar Negeri
icon
78.8KThread10.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.