WardahRos
TS
WardahRos
[SFTH] Lidah Bertuah
Cerpen Religi


Lidah Bertuah


Udin kecil mengamati sekeliling, netranya nyalang memperhatikan kios Bude Sum yang telah ia hafal. Di mana letak kulkas, di mana letak rak rokok, toples-toples permen, rak sembako, bahkan letak laci uang. Ketika matahari tergelincir sedikit dari posisi puncaknya, Bude Sum selalu tidur siang namun membiarkan kiosnya tetap terbuka. Pembeli akan berteriak memanggil namanya, dan Bude Sum terbangun untuk melayani mereka.

Namun, tak seperti biasanya Udin hari ini mempunyai niat berbeda. Uang sakunya hanya cukup dipakai untuk membeli dua batang rokok, dan sudah ia tandaskan sejak jam istirahat di sekolahnya tadi. Sekarang dia ingin merasakan sensasi dingin nan menggelitik dari minuman bersoda yang terlihat berembun dari pintu transparan lemari es. Tak ada uang tersisa di sakunya, maka Udin memikirkan suatu cara kreatif untuk memuaskan dahaganya.

Kala kesempatan datang, andrenalin terasa meninggi. Detak jantung Udin semakin terpacu. Lengan Udin terulur, mulai melancarkan aksinya. Pelan-pelan ia ambil sekaleng minuman bersoda di kulkas, berusaha membuka dan menutup pintu kulkas tanpa menimbulkan suara. Lalu sekotak rokok cepat-cepat ia kantongi. Masih ada lagi yang ia inginkan, Udin menggenggam entah berapa batang wafer coklat. Senyum terkembang, kala ia berhasil mengambil jarahannya tanpa membangunkan Bude Sum yang terdengar mendengkur di balik meja kaca.

Saat Udin berbalik hendak memulai lari sprint-nya, seorang laki-laki yang ternyata sedari tadi berdiri di belakang Udin menahan lengannya, “Kamu nyolong, hah?!” bentaknya.

Wajah Udin langsung berubah pias, seakan darah tersedot habis padanya. “Nggak ... nggak, Kak,” lirih Udin.

“Jangan bohong ya, kamu udah ketangkep basah.” Lelaki itu mengeratkan cengkraman tangannya, dan menggenggam krah baju Udin. Ia sudah siap mendaratkan bogem mentah ke wajah Udin.

Beberapa orang di sekitar kios Bude Sum terlihat mendekat. Udin semakin ciut nyalinya. Lelaki yang memergoki Udin masih bisa menahan diri, karena melihat Udin memakai baju atasan kemeja berwarna putih dan celananya berwarna biru tua. Tak sampai hati ia membuat Udin babak belur.
Namun berbeda dengan yang lainnya, beberapa tonjokan lolos juga ke kepala Udin, entah siapa yang melakukannya karena makin banyak orang yang merubung. Cacian dan makian juga mereka layangkan kepada Udin.

Bude Sum akhirnya terbangun, terusik suara keributan yang terjadi di depan kiosnya. “Eeeh, tunggu! Tunggu!” lerainya. Bude Sum mengenali Udin malang. Sudut bibir Udin terlihat mengeluarkan darah. Bude Sum lalu meminta orang-orang untuk menghentikan perundungan yang mereka lakukan kepada Udin.
Setelah mendengarkan penjelasan para saksi, Bude Sum segera menutup kiosnya. Ia  lalu pergi bersama beberapa laki-laki ke rumah Udin untuk menemui orang tuanya.

*****

“Dasar anak an***g!!” maki ibu Udin, menyerupakan anaknya seperti anak hewan berkaki empat yang suka menggonggong.

Sontak Bude Sum mengucap istighfar, juga para lelaki yang ikut menyaksikan peristiwa itu, sebagian lagi tampak menggelengkan kepala. Bude Sum lalu menasehati ibu Udin agar jangan memaki anaknya seperti itu, omongan orang tua adalah doa.

“Biarin, Bude. Anak ini sudah berkali-kali seperti ini. Malu saya jadi ibunya,” ujar ibu Udin membela diri.

Bude Sum terdiam, andaikan ibu Udin mau bercermin sebentar melihat perilakunya sendiri. Masih dia ingat obrolan pagi tadi dengan Mamang si tukang sayur. Ibu Udin sudah berhutang belanja totalnya sekitar lima ratus ribu, padahal modal Mamang tidaklah besar. Belum lagi ibu Udin selalu menawar ikan atau daging dengan harga di bawah harga modal. Tak cukup seperti itu, kadang kala ia mengambil seenaknya sebungkus cabai atau tomat sebagai bonus, tanpa sepengetahuan Mamang (ibu-ibu lain yang melihatnya mengadu ke Mamang).

Andai saja ibu Udin mau bercermin ... sayang dia tidak melakukannya.

“Jangan begitu, semarah-marahnya ibu, tidak boleh mengeluarkan doa buruk untuk anaknya. Ingat, doa ibu adalah mustajab. Didoakan saja Udin jadi anak sholih, anak yang sukses.” Bude Sum masih menasehati ibu Udin. Namun, yang dinasehati kelihatannya tak antusias.

Bude Sum tak sampai hati melihat Udin menjadi pencuri sampai dia besar. Jadi ia mendoakan Udin supaya menjadi anak yang baik.

Sepulangnya dari rumah Udin, Bude Sum memikirkan sebuah rencana. Tiap kali Udin lewat depan rumahnya sepulang sekolah, Bude Sum memanggil Udin, lalu memberikan tugas semisal mengantarkan galon air pesanan tetangga Bude Sum, mengangkat kardus-kardus mi instan belanjaan Bude Sum, dan semisalnya. Agar Udin bisa mendapatkan upah dari Bude Sum. Dengan uang itu, Udin bisa membeli minuman dan makanan yang diinginkannya tanpa mencuri lagi.

Ikhtiar Bude Sum membuahkan hasil. Udin sudah tidak pernah mencuri lagi. Bahkan kalau ia kekurangan uang untuk membayar buku, ia sengaja berkeliling di sekitar kampungnya menawarkan jasa. Menyiangi rumput tetangga, membelikan makanan, membantu cuci piring di warung tetangga, dan semisalnya.

Masa depan Udin masih belum terlihat, namun salah satu perilaku buruknya sudah hilang berkat doa seorang ibu, meskipun bukan ibunya sendiri.

Hingga empat tahun kemudian, seorang sales roti—yang selalu mengirimkan barang dagangannya dititipkan di kios Bude Sum, terlonjak kaget. Terdengar suara dari sebelah Sales Roti, “Guk! Bude, guk! Beli telurnya setengah kilo, guk guk!”

Bude Sum menahan tawanya saat melihat ekspresi Sales Roti yang melongo mematung sambil membawa keranjang roti, matanya membulat sempurna. Tak melepaskan pandangan kepada ibu Udin.

Ibu Udin sejak tiga tahun lalu mempunyai penyakit cegukan parah yang tidak bisa disembuhkan. Berbagai obat medis dan tradisional telah dipakai, namun cegukannya tidak bisa sembuh. Cegukan itu lebih mirip suara gonggongan hewan berkaki empat yang hina. Bude Sum membatin, ‘Sepertinya dia termakan doanya sendiri.’

*****

Bagi sebagian atau bahkan delapan puluh persen dari penduduk bumi di usia remaja, mengalami namanya ‘pencarian identitas diri’. Namun di dalam islam, identitas setiap manusia telah jelas sejak mereka dikandung, bahkan sebelum lahir ke dunia fana.

Seorang muslim, seperti yang telah Allah ceritakan dalam surat Al A’raaf (surat ke-7) ayat ke-172  yang artinya, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian jiwa mereka (seraya berfirman) “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esa-an Tuhan).”


Setelah anak lahir, mereka layaknya kertas putih bersih. Orang tua merekalah yang memberi warna kepada kertas itu. ‘Ummu madrasatul ula’ artinya ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anak. Baik dan buruknya perangai anak adalah pengaruh dari orang tua mereka. Kewajiban orangtualah yang membuat seorang anak mengerti tentang kewajibannya sebagai muslim, menjalani perannya sebagai insan muslim yang berakhlak baik.

Kita tentu sering mendengar pepatah, “Di balik laki-laki yang sukses, ada sosok wanita hebat di belakangnya.”Banyak yang mengartikan bahwa sosok wanita tersebut adalah seorang istri, padahal bisa jadi sosok tersebut adalah seorang ibu.

Dalam sebuah hadis dari Abu Daud berbunyi, “Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi, yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar), dan doa orang yang dizalimi.”

Quote:


Sumber :
Opini pribadi
Pinterest

Diubah oleh WardahRos 30-06-2020 01:55
ismilailaredbaronnomorelies
nomorelies dan 41 lainnya memberi reputasi
42
2.7K
192
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.