NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Marak Kudeta Masjid, Siapa Mengejar Apa?
Spoiler for Salat berjamaah:


Spoiler for Video:


Langkah Arab Saudi memperbolehkan Shalat Tarawih berjamaah akhirnya berimbas ke tanah air. Meski kini Indonesia tengah berjuang melawan pandemi Covid-19, namun nyatanya hal itu tidak menyurutkan niat dari masjid-masjid yang ada di Indonesia untuk tetap melakukan shalat berjamaah.

Tak perlu jauh-jauh. Di DKI Jakarta saja ada sekitar 40 masjid yang tetap melaksanakan Shalat Jumat dan Tarawih berjamaah di tengah PSBB. Padahal sebelum memasuki bulan Ramadhan, hanya ada sekitar 20 masjid di DKI yang melaksanakan Shalat berjamaah, khususnya Shalat Jumat. Apabila terus dibiarkan, tentunya angka itu akan terus bertambah.

Sumber : Kompas[Pemprov DKI: Masih Ada 40 Masjid yang Gelar Shalat Tarawih Saat PSBB]

Hal yang jadi pertanyaan, apakah yang sebenarnya terjadi? Tidakkah pihak masjid yang tetap menyelenggarakan shalat berjamaah menyadari bahwa mereka justru dapat menimbulkan mudharat bagi para jamaah. Bukankah apabila para jamaah pulang dari masjid dan membawa penyakit ke keluarganya di rumah, baik itu anak, istri, maupun orang tua, sama saja dengan menganiaya mereka. Bukankah aniaya termasuk perbuatan dosa?

Ustadz Abdul Somad (UAS) menanggapi fenomena ini. Pada 29 April 2020 di acara Indonesia Lawyer Club (ILC) ia menyampaikan hadis terkait anjuran beribadah di rumah. Yakni, kalau kamu mendengar ada wabah di suatu negeri, janganlah kamu datang ke negeri itu, dan jika wabah itu terjadi di dalam negeri, jangan pula kamu keluar dari negeri itu untuk melarikan diri. UAS juga menambahkan hadis lain yang berbunyi, "larilah engkau dari orang yang terkena penyakit menular, seperti engkau lari dari singa".

Artinya sesederhana itu apabila kita mau mengikuti ajaran Islam terkait wabah penyakit. Namun kenyataannya tidak semua masjid dapat menerapkannya. Sebab beberapa masjid kini telah dikudeta jamaah dan perkataan ketua masjid untuk tidak menyelenggarakan shalat berjamaah tak didengarkan. Artinya telah terjadi kudeta oleh pengurus masjid sebagai donatur besar yang telah berkontribusi dalam pengurusan dan pembangunan masjid.

Persoalan masjid tidak sesederhana fiqih karena ada persoalan lain yang menyangkut di dalamnya. Yaitu terkait sosial dan ekonomi. Menurut UAS, jamaah akan menurut jika perutnya kenyang, atau kebutuhan ekonomi terpenuhi.

Sumber : Suara [Masjid Masih Gelar Salat Berjamaah, UAS: Secara Fiqih Simpel Saja Tapi...]

Oleh karena itu, agar masjid tidak menyelenggarakan shalat berjamaah, ada baiknya pendekatan dilakukan secara langsung ke masjid-masjid dan tidak melalui ormas agama seperti MUI dan DMI.

Meskipun begitu, ada andil yang sangat besar dari ormas agama terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dalam keputusan masjid untuk tetap melaksanakan shalat berjamaah. Hal ini dapat terlihat di Madura yang telah menjadi akar dari pemikir ideologis NU.

Diketahui Kabupaten Sumenep yang terletak di Madura, telah menjadi zona merah penyebaran virus corona. Namun pelaksanaan Shalat Jumat, Tarawih, hingga Idul Fitri akan tetap diadakan di sana. Keputusan untuk tidak melarang aktivitas shalat berjamaah tersebut diambil pasca rapat tanggal 27 April 2020 antara Pemkab Sumenep, PC NU, MUI, dan organisasi Islam lainnya yang ada di sana. Pelaksanaan shalat berjamaah dilakukan dengan tetap memperhatikan protokol Kesehatan pencegahan Covid-19.

Sumber : Mata madura [Sumenep Zona Merah; Shalat Berjamaah dengan Protokol Covid-19]

Namun siapa yang bisa memastikan pelaksanaan di lapangan akan berjalan seperti seharusnya? Apalagi di tengah kondisi Madura yang telah menjadi zona merah penyebaran corona.

Sehingga patut dipertanyakan, apakah motif dari NU untuk tetap mendorong pelaksanaan shalat berjamaah di zona merah seperti Sumenep, Madura? Apakah seperti yang dikatakan UAS, yakni karena urusan perut alias perekonomian? Artinya kyai-kyai NU yang telah menjadi pengurus dan pendiri masjid-masjid, khususnya di Sumenep tengah mengalami gangguan perekonomian akibat tidak adanya pemasukan dari sumbangan jamaah ke masjid ketika dilakukan pelarangan shalat berjamaah.

Apakah hal ini menandakan mencuatnya kembali perlawanan NU secara organisasi terhadap kebijakan pemerintah? Apabila tidak, mengapa ada pernyataan dari Waketum PBNU, M Maksum Machfoedz yang menyebut RUU Omnibus Law Ciptaker yang tengah dibahas DPR penuh dengan kezaliman terhadap rakyat kecil?

Sumber : CNN Indonesia [PBNU: Omnibus Law Ciptaker Sarat Kezaliman]

Pernyataan tersebut seakan ingin menghidupkan kembali nyala api para buruh yang mulai redup semenjak Presiden Jokowi menyatakan pembahasan RUU Ciptaker ditunda. PBNU seakan ingin menghidupkan kembali gelombang protes para buruh yang urung mengadakan demo 30 April 2020 menentang RUU Ciptaker klaster Ketenagakerjaan.

Bisa dimaklumi, sebab bagi NU, mungkin saja penurunan tensi buruh ini menandakan hilangnya tunggangan mereka dalam menolak Demonopoli Halal yang tercantum di Omnibus Law Ciptaker.  Hal yang dapat menggoncang urusan perut dari NU karena mereka tak lagi dapat memonopoli penempelan label halal pada suatu produk.
Diubah oleh NegaraTerbaru 03-05-2020 07:00
infinitesoul
pakolihakbar
aldysadi
aldysadi dan 37 lainnya memberi reputasi
38
1.7K
43
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.