"Dia siapa?" Tanya Bulan.
"Renata..." aku memandang ke arah Bulan, "dia orang yang pernah mengisi hari-hariku beberapa tahun yang lalu, sebelum kamu datang ke kehidupan aku. Dan... aku suka sama dia."
Bulan menatapku dengan cepat, "Masih? Sekalipun kita udah ketemu lagi entah berapa tahun yang lalu? Atau kamu cuma cerita kalau kamu pernah suka sama dia?"
"Aku suka sama dia." Jawabku singkat.
Bulan menatapku dengan mata yang semakin membesar, ia menutup mulut dengan tangannya. Aku tau apa yang Bulan rasakan, ia pasti sangat terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Menurutku ini adalah waktu yang tepat, aku tidak mau menutupi semua cerita yang ku simpan selama ini. Bulan berhak untuk tau semuanya, dan aku harus siap dengan semua konsekuensinya. Ku hadapkan badanku ke arah Bulan yang ada di sampingku, beberapa kali aku menghela nafas.
"Bubu, aku..."
Plak! Aku pantas mendapatkannya, namun aku tidak menduganya. Bulan menamparku dengan keras, hingga pandanganku beralih darinya. Beberapa saat aku terdiam, lalu aku kembali menatap ke arahnya.
Plak! Kali ini aku sudah siap, pandanganku tak berubah dari Bulan. Tanganya gemetar, hingga aku dapat melihat air matanya mengalir ke pipinya dengan jelas.
"Kenapa kamu ngga ngomong dari awal?..." Bulan sempat mengusap air matanya, "kenapa baru sekarang? Apa yang kamu tunggu? Atau jangan-jangan... selama ini aku cuma jadi pelarian aja?"
Lidahku nampak kelu, tidak bisa berfungsi seperti biasanya. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya, hanya bisa terdiam melihat Bulan ada di depanku. Bulan kembali mengangkat tangannya, dan aku kembali siap untuk menerima tamparan untuk yang ke sekian kalinya.
Dugaanku salah, Bulan tidak kembali menampar. Ia meletakkan tangannya di pipiku, "Ayi, aku kenal kamu siapa. Aku ulang sekali lagi, aku kenal kamu siapa. Kamu ngga akan ngelakuin sesuatu tanpa alasan, dan aku tau kenapa kamu ngelakuin ini semua. Kamu tersesat..."
Mataku terbuka lebar setelah mendengar perkataannya.
"...Kamu pernah di persimpangan jalan dan kamu harus milih salah satu dari jalan tersebut. Pada akhirnya kamu memilih, tapi kamu salah jalan. Semakin lama kamu berjalan, kamu semakin tersesat di jalan tersebut. Kamu tau kamu tersesat, tapi kamu ngga mau ngaku kalau kamu tersesat..."
Aku masih menatapnya dalam.
"...Lalu kenapa kamu ngga mau balik arah aja? Apa alasan yang bikin kamu ngga balik arah? Males? Lelah? Atau buang-buang waktu? Kamu punya salah satu dari alasan itu, aku sangat yakin. Dan pertanyaannya, apa salah kalau balik arah lalu pilih jalan yang satu lagi?..."
Rasanya nafasku sesak hingga sulit untuk bernafas.
"...Ngga salah, kamu ngga salah kalau mau balik arah dan pilih jalan yang satu lagi. Kamu cuma butuh waktu dan tenaga lebih untuk kembali ke persimpangan jalan lalu pilih jalan yang satu lagi, dan akhirnya kamu tetap jalan kok bukan diam di tempat. Aku coba memahami bagaimana Renata mengisi hari-hari kamu, bagaimana dia bisa bikin kamu suka, dan bagaimana dia bikin kamu percaya..."
Air mataku akhirnya tak tertahankan lagi.
"...Tapi kalau kamu ragu, kamu bisa kok berhenti. Kamu ngga selalu harus jalanin semuanya, kamu bisa berhenti dan memilih lagi. Ayi, kamu selalu punya pilihan. Coba belajar untuk jujur, seenggaknya sama diri sendiri." Jelas Bulan.
Aku selalu punya pilihan, namun aku memilih untuk tidak memilih. Aku membiarkan kesempatanku untuk memilih terlewatkan begitu saja, hingga aku merasa bahwa aku tidak punya pilihan untuk menentukan sesuatu. Ibu jari Renata menyeka air mataku yang berlinang di pipi, namun mataku tak sedikitpun bergerak dari matanya.
"Maaf aku udah nampar kamu berkali-kali, aku terlalu kasar." Ucap Bulan.
Bulan mendekat ke arahku, lalu ia mencium bibirku. Kemudian ia menjauhkan wajahnya lalu memelukku. Beberapa waktu berselang ia melepas pelukannya, ia berdiri dengan membawa tas kecil yang ia bawa. Ia pun berlalu membuka pintu, ia sempat membalikkan badannya lalu tersenyum kepadaku hingga ia akhirnya meninggalkan tempat ini.
Aku pun berdiri dari dudukku, ku bawa tas yang selalu ku bawa lalu aku berlalu menuju di mana Syailendra terparkir. Ku kenakan helm, ku nyalakan mesin motor ini, lalu aku berlalu meninggalkan tempat ini. Semesta nampak mendukung, jalanan nampak kosong hingga aku bisa memaksimalkan tenaga Syailendra.
Akhirnya aku tiba, ku parkirkan Syailendra di pinggir jalan. Aku berjalan menuju bukit kecil dengan rerumputan, hingga langkahku terhenti. Ku buka tas yang ku bawa, lalu aku mengambil dua buku dari dalam tas. Ku letakkan dua buku itu bersandar pada batu nisan yang bernama, lalu aku berlutut.
"Sekarang gue tau rasanya, bener-bener seberat itu. Dua buku itu rasanya cukup, dan sekarang akan gue balikin kepada yang punya. Terima kasih telah memberikan warna yang lebih dari yang gue tau." Kataku.
"Warna apa yang dia kasih ke kamu?"
Aku membalikkan badanku dengan cepat, mataku terbuka lebar melihat siapa yang ada di hadapanku. Beberapa saat aku terdiam, saat ini aku sedang duduk di sebuah bangku panjang, bersama dengan seorang wanita.
"Kenapa kamu ngeliatinnya begitu banget?" Tanya Widya.
"Aku masih ngga percaya kalau aku bisa ngobrol sama Ka Widya. Kita pernah ketemu sekali, sayangnya aku terlambat buat sadar kalau itu Ka Widya." Kataku.
Widya tersenyum kepadaku. Aku masih tidak percaya dengan wanita yang duduk di sampingku, seorang wanita yang hanya aku tau dari cerita saja. Seorang wanita yang berhasil membuatku membayangkan bagaimana sosoknya hingga aku bisa kagum hanya dengan melambungkan khayalanku selama ini.
"Ngomong-ngomong..." Widya berhasil menghapus pandangan kosongku, "tadi kamu bilang tentang warna, apa yang kamu dapet dari warna tersebut?"
"Semua warna yang selama ini aku kira udah pernah aku lihat, ternyata masih banyak warna yang belum aku ketahui. Dan berkat dua buku itu, semuanya jadi semakin jelas." Kataku.
"Jadi... akhirnya kamu bisa memilih?" Tanya Widya.
Jujur saja aku sangat terkejut bagaimana ia bisa mengetahui akan hal tersebut. Aku belum bahkan tidak pernah menceritakan apapun kepadanya, namun ia bisa menebak dengan sangat tepat.
"Kaget ya kenapa aku bisa tau?..." Widya kembali tersenyum kepadaku, "mungkin karena aku hidup lebih dahulu sama Bram, jadi aku bisa tau ke mana arah pembicaraan kamu."
Angin berhembus cukup kencang hingga Widya harus beberapa kali menyeka rambutnya, "Kamu hebat, bisa memilih sesuatu yang selama ini mungkin kamu kira akan berjalan dengan baik-baik aja. Mungkin keliatannya terlambat, tapi semuanya masih bisa kamu rubah kalau kamu bisa memilih. Belajar dari pengalaman, memang seharusnya kita harus milih."
Aku menatapnya dalam diam. Widya menghadapkan badannya kepadaku, "Terlalu nyaman sama yang belum sama sekali kamu pilih itu ngga baik. Seburuk apapun hasilnya, setidaknya kamu udah berhasil buat milih. Jujur dan percaya sama diri sendiri..."
"Dan setidaknya..." aku memotong pembicaraannya, "kita masih bisa memperbaiki semuanya meskipun butuh waktu yang lebih lama dan tenaga yang lebih banyak."
Widya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Secara bersamaan kami mengalihkan pandangan kami ke arah yang sama, kami membiarkan kebisuan kali ini hanya untuk menatap dan merasakan apa yang pernah terjadi dalam hidup kami.
"Ngomong-ngomong..."
Widya menatap ke arahku setelah aku kembali memulai pembicaraan, "Aku kayaknya salah waktu nyeritain Ka Widya di cerita yang aku buat, ternyata ngga seakurat yang aku bayangin."
"Aku udah baca cerita kamu, apa yang beda emangnya?" Tanya Widya.
"Ternyata Ka Widya jauh lebih cantik dari yang aku bayangin, terlebih pas Ka Widya senyum. Aku jadi makin tau makna dari pretty eyes, pirate smile." Kataku.
Widya kembali tersenyum padaku, dan pada akhirnya kami meluangkan waktu kami sesaat untuk bercerita satu sama lain pada hari ini. Hingga waktu berlalu, aku sudah kembali mengendarai Syailendra menembus jalanan yang cukup ramai.
Aku memarkirkan Syailendra di tempat biasa, ku lepas helm yang ku kenakan lalu aku berjalan masuk ke dalam kedai. Setelah melakukan kegiatan seperti biasa, aku berjalan menuju halaman belakang. Tak lama berselang datanglah Bella lalu duduk di sampingku.
"Mas Adrian, aku mau minta maaf soal..."
"Bel..." aku memotong pembicaraannya, "terima kasih untuk waktu itu."
Bella menatapku dalam diam, lalu aku menyalakan sebatang rokok. Ku hembuskan asapnya, "Kalau aja waktu itu kamu ngga bilang kayak gitu, mungkin sekarang semuanya hancur berantakan. Makasih Bel."
Bella pun tersenyum kepadaku. Pintu pun terbuka, datanglah Ferdi lalu mendekat ke arah kami. Ia pun duduk di hadapanku, "Jangan bikin khawatir gini lah mainnya, dua minggu ngga nongol, ngga ada kabar, tiba-tiba dateng udah ngerokok aja di sini."
"Sorry deh soal itu, gue bener-bener butuh waktu buat sendiri." Kataku.
"Ya tapi kabarin dong, ini temen lu loh yang selalu jadi ladang curhat. Kebalik sih, gue yang lebih sering curhat. Ya pokoknya besok-besok kabarin dulu kek jangan main ngilang aja." Kata Ferdi.
Aku dan Bella tertawa mendengar apa yang baru saja Ferdi katakan, "Yaudah jadi sekarang lu mau curhat apaan? Mumpung gue udah ada di sini lagi nih."
Ferdi dan Bella saling memberikan isyarat dengan mata mereka, sayangnya aku cepat untuk menyadari akan hal itu.
"Kalian kenapa sih?" Tanyaku heran.
"Dri, gue mau memastikan dulu sebelumnya. Dulu kita ngga pernah ada perjanjian kalau ngga boleh pacaran di satu lingkup kerjaan kan?" Tanya Ferdi.
Aku sempat berpikir sesaat, "Ngga kok, lagian kan lu yang ngga setuju sendiri ujung-ujungnya. Emang kenapa sih?"
Ferdi menegakkan duduknya, "Gue sama Bella... pacaran."
"Janc*k! Serius?..." aku menghadap ke arah Bella, "serius Bel?"
Bella tersipu malu sambi menganggukkan kepalanya. Ku sandarkan badanku pada bangku, aku sempat bertepuk tangan beberapa kali sebelum aku kembali menyalakan sebatang rokok lainnya.
"Akhirnya perjuangan selama ini ngga sia-sia ya Bel." Kataku.
Bella kembali tersenyum. Ferdi kembali masuk ke dalam karena ada tamu yang mencarinya, tersisa aku dan Bella di halaman belakang ini. Beberapa saat kami terdiam hanya melihat tanaman yang semakin hari semakin tumbuh di sini, hingga Bella menepuk pundakku beberapa kali.
"Makasih ya Mas Adrian." Katanya.
Aku tersenyum untuk menanggapi perkataannya. Sebuah penantian, setelah apa yang sudah diusahakan sekuat tenaga, hingga akhirnya membuahkan hasil. Aku percaya, bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasilnya. Hanya tinggal bagaimana kita menerima hasilnya, apakah secara langsung atau berangsur. Dan setelah itu, semuanya akan terbayarkan dengan indah.
*
"Done." Kataku seorang diri.
Aku mulai membereskan alat-alat yang baru saja ku pakai. Setelah memastikan semuanya kembali pada tempatnya, akhirnya aku keluar dari ruangan penyangrai biji kopi. Ku ambil sebatang rokok lalu ku nyalakan, aku berjalan mendekat ke arah pot bunga yang baru saja tiba kemarin.
"Kayaknya kalau bunga matahari bagus juga nih." Kataku seorang diri.
"Mas Adrian..."
Bella berhasil membuatku berpaling, "Kenapa Bel?"
"Dipanggil sama Bang Ferdi, ngga tau mau ngomongin apa." Katanya.
Aku pun mengikuti Bella dari belakang hingga aku berdiri di samping Ferdi, yang sedang menatap ke arah tembok kosong. Bella menepuk Ferdi beberapa kali hingga lamunannya berhasil buyar begitu saja.
"Bang Fer, tuh Mas Adrian." Kata Bella.
"Oh iya, makasih ya Bel." Jawabnya.
Bella pun kembali pada tugasnya. Aku memandang malas ke arah Ferdi, "Apa susahnya sih manggil gue ke belakang daripada harus nyuruh Bella?"
"Bukan gitu Dri, dia yang mau." Jawab Ferdi.
"Susah deh yang udah pacaran, lu manggil gue kenapa?" Kataku.
"Menurut lu nih Dri..." Ferdi merangkulku, "mending tembok yang kosong ini kita isi apa? Gue sempet mikir kalau kita isi aja foto kita yang masuk majalah waktu itu, inget ngga?"
"Oh iya gue inget, tapi jangan ah norak banget." Jawabku.
"Norak ya? Kalau misalkan di isi papan tanda yang kekinian gitu?" Tanya Ferdi.
"Maksud lu kalimat-kalimat kutipan bijak gitu? Bisa sih, cuma ngga selaras sama tema Fer." Jawabku lagi.
"Iya juga ya beda tema, jadi bingung nih gue. Masalahnya sayang banget tembok segede ini kosong ngga ada intinya kalau dibandingin sama tembok-tembok yang lain." Kata Ferdi.
"Gue tau kok apa yang cocok untuk dipajang di sana." Kataku.
"Apa tuh?" Tanya Ferdi cepat.
Ku ambil handphone dari saku celana, ku tunjukkan padanya sebuah fotoku yang sedang bertingkah konyol. Setelah melihat foto itu, Ferdi pun mendorong kepalaku dengan pelan.
"Kalau majang foto itu mah malah ngga laku cuk." Kata Ferdi.
"Ya daripada foto lu yang ini..." Aku menunjukkan foto lain, "malah horor jadinya tempat ini."
"Bajing*n." Kata Ferdi.
Sore pun tiba, kami sedang berkutat dengan tugas kami masing-masing. Aku memandang kosong ke arah para pelanggan yang datang dari balik bar, kemudian aku tersenyum entah kenapa. Mungkin ini adalah perasaanku yang selama ini ku pendam, perasaan bahagia ketika rumah ini terisi oleh pelanggan yang datang silih berganti.
Rumah? Ya, rumah. Akhirnya kami bisa memindahkan kedai ke sebuah rumah yang kami beli tepat di samping rumahku. Tepat setelah kontrak kami habis di ruko tersebut, kami pun bulat untuk membeli rumah ini. Meskipun aku harus merogoh tabungan yang ku miliki selama beberapa tahun, namun semuanya terbayarkan begitu saja.
Apa yang berubah dari kedai ini? Mungkin hanya suasananya saja yang berubah, bukan berbentuk ruko lagi melainkan sebuah rumah dengan halaman yang lebih besar dari rumahku. Kami masih bisa menggunakan barang-barang yang sebelumnya ada di ruko untuk kami maksimalkan di tempat ini.
Berbicara tentang fungsi, semuanya masih sama. Ada ruang sangrai di halaman belakang, yang tentu saja aku prioritaskan untuk kami beristirahat. Ada sedikit tambahan di lantai atas, aku menyediakan beberapa ruangan untuk teman-temanku yang mau menginap di sini. Untuk saat ini ada Bella dan Rara yang menempati rumah ini.
"Lu mau tinggal di sini?" Tanyaku.
Ferdi menganggukkan kepalanya, "Iya, cuma ngga setiap hari."
Malam pun tiba, kami sudah menutup tempat ini. Aku dan Ferdi sedang duduk menatap ke seluruh ruangan ini. Ku nyalakan sebatang rokok, lalu ku hembuskan asapnya ke atas. Bella datang membawa gelas berisi minuman untuk kami.
"Makasih ya sayang." Kata Ferdi.
Dengan cepat aku menoleh ke arahnya, "Sayang? Paham deh yang udah pacaran berapa tahun, udah punya panggilan sendiri sekarang. Ngomong-ngomong si Rara kemana ya?"
"Kan gue manggilnya kalau udah bukan jam kerja." Kata Ferdi.
"Rara lagi mandi Mas di kamarnya." Jawab Bella.
Secara bersamaan kami meminum minuman tersebut. Ku letakkan gelas di meja, lalu aku memandang heran ke arah Ferdi yang mengulurkan tangannya kepadaku. Dan akhirnya ia menarik tanganku lalu menjabat tanganku.
"Kenapa lu? Kok aneh banget?" Tanyaku.
"Gue ngga pernah nyesel pas SMA dulu temenan sama lu. Gue ngerasa beruntung bisa punya temen yang jalan pikirannya susah buat gue imbangin, tapi hasil emang ngga pernah bohong sih. Kayaknya setiap apa yang lu pilih ngga pernah salah, makanya gue mau terima kasih sama lu." Kata Ferdi.
"Ngga kok, gue juga manusia biasa. Gue pernah salah untuk milih, dan gue membiarkan itu semua berjalan sampai semuanya memburuk..."
Aku dan Bella sempat beradu mata lalu tersenyum kecil.
"...Pada akhirnya gue harus kembali milih, dan di sinilah gue sekarang, di sinilah kita sekarang." Kataku.
Kami sempat berbincang-bincang, sampai Rara turun dari lantai atas. Ia turun dengan membawa sebuah bingkai kecil, "Mas Adrian, ini sengaja di simpen di sini atau kelupaan ngga di bawa ke rumah?"
"Apa tuh?..." Ferdi mengambil bingkai tersebut, "oh foto pernikahan lu nih, bawa pulang gih."
Aku mengambil bingkai tersebut, "Loh kok bisa di sini ya? Pantesan dicariin di rumah ngga ada, ternyata nyangkut di sini."
"Ngomong-ngomong..." Rara duduk di samping Bella, "gimana Mas rasanya setelah menikah? Beda banget ngga sama orang pacaran?"
"Aku ngerasainnya sedikit beda karena setelah menikah, pasanganmu akan jadi tanggung jawabmu apapun yang dia lakukan. Kalau pacaran yaudah lah ya ngga usah terlalu dipikirin banget, beda sama dua orang ini nih." Kataku.
"Loh kok malah gue sama Bella?" Tanya Ferdi heran.
"Gue ngerasa aneh ngeliat kalian pacaran, berapa tahun dulu kucing-kucingan. Eh pas udah jadian lengket banget, padahal udah berapa tahun tuh pacarannya gue sampai lupa." Kataku.
Ckrek! Suara pintu pun terbuka, secara bersamaan kami melihat ke arah pintu. Aku tersenyum setelah melihat istriku pulang, Bella dan Rara pun memeluknya lalu menyuruhnya untuk duduk. Aku pun memberikan bingkai foto kepadanya.
"Loh kok bisa ada di sini?" Tanyanya.
"Rara yang nemuin di lantai atas ternyata." Jawabku.
"Oh iya sekalian di sini aja deh, ada yang mau aku kasih tau ke kamu." Katanya.
"Apa tuh?" Tanyaku penasaran.
"Mungkin beberapa bulan lagi aku akan ambil cuti yang panjang banget, atau bahkan aku bisa berhenti dari pekerjaanku sekarang." Jelasnya.
Kami semua dibuat terdiam memandang ke arahnya. Ia pun mengambil sebuah kotak dari dalam tas, lalu ia memberikannya kepadaku. Dengan penasaran, akhirnya aku membuka kotak tersebut. Mataku terbuka dengan lebar, aku memandang ke arahnya, lalu aku memeluknya.
Ferdi mengambil kotak tersebut. Ia pun terkejut, "Akhirnya Adrian jadi bapak juga."
Suasana menjadi haru sekaligus bahagia, aku masih tidak menyangka tentang kehamilan istriku saat ini. Secara bergantian mereka memberikan selamat kepada kami.
"Aku ikut seneng..." Bella pun berdiri, "oh iya, mau minum apa Ka Bulan?"
***