ningkaAvatar border
TS
ningka
Luka Itu Kamu




Foto. Pinterest



"Atasanmu, boleh dibantai, gak?" tanyaku ketus sambil sibuk melihat beberapa dokumen di meja kerja. Terlihat Ardi tertawa, manis. Laki - laki tinggi besar dengan rahang kokoh dan kulit putih itu mulai mendekat.

"Digendong, mau?" sebelah alisnya digerakkannya naik turun, terlihat mencoba menggoda.

"Kamu gak akan tahu,” ucapku sambil memasukan beberapa barang dalam tas.

Rapat barusan sungguh menguras energi. Laporan yang kubuat sampai lembur, tidak ada yang diterima pimpinan. Begitu banyak kesalahan, katanya. Yang membuat aku semakin sedih, laporan itu dilempar begitu saja ke dalam tong sampah. Sungguh tragis.

"Tahu lah, orangnya emang gitu. Biarin." Ardi masih saja setia menemani di ruang kerja yang mulai sepi ditinggal karyawan istirahat.

"Memang kamu anak buah kesayangan, pantesan dipuji terus,” sungutku, dengan rasa jengkel yang masih membuncah.

"Hei anak kecil!"

"Jangan panggil aku anak kecil, Paman!" ucapku meniru tokoh film kartun. Kulihat dia tertawa terbahak-bahak.

"Dasar anak kecil, pantes lihatnya kartun. Istirahat dulu saja, nanti aku bantu buat laporannya."

"Hah, serius!"

"Ya."

Aku terlonjak bahagia mendengar jawaban Ardi. Setengah berlari kuikuti langkah lebarnya. Sebagai kepala keuangan, memang tak diragukan lagi kemampuannya.

Apa yang membahagiakan dalam hidup? Ketika dalam masalah, ada bahu yang siap jadi sandaran. Meski cuma bahu seorang teman bernama Ardi Kusumo.

...........

Segalanya mulai berjalan lancar berkat bimbingan Ardi. Laporanku selesai tepat waktu, tanpa revisi yang melelahkan. Syukurlah, pak tua sudah jarang mengeluarkan tanduk, setidaknya otakku tidak mudah berkarat mendengar semburannya.

Pertemuan demi pertemuan yang tanpa aku rencanakan menghias hariku. Jika bukan karena kebodohanku membuat laporan tidak mungkin aku menemuinya. Aku lemah jika harus membuat data. Entah berkah atau musibah, kelemahan ini mampu semakin mengikatku dengannya.

Walau aku sadar, ada sekat di antara kami. Tapi apa mungkin, hati yang terlanjur tertaut ini mau mengalah?

Pagi itu, terlihat dia berdiri di depan mes pria. Tangannya melambai, memanggilku. Aku langsung menghampirinya.

"Ini." disodorkan bungkusan kotak warna putih.

"Trimakasih. Apa ini?"

"Buka nanti, ayo sarapan." bergegas dia melangkah. Kemudian terhenti dan menoleh sekilas padaku. Tangannya telulur, lalu menyambar jemariku dan digenggamnya erat.

Suara protesku tak dihiraukan. Malu, begitu banyak pasang mata melihat. Tapi langkah lebarnya menarik dengan tegas melewati tapak demi tapak menuju kantin.

Hiruk pikuk karyawan yang sarapan seketika senyap. Melihat kedatanganku. Pasti, gosip itu akan segera beredar.

"Jangan hiraukan. Cepat makan." diberikan piring lengkap dengan isinya padaku. Ardi paham apa makanan kesukaan. Menyiapkan segalanya tanpa kuminta.

Hatiku menghangat. Seulas senyum lolos dari bibirku. Hati siapa yang tak luluh jika dihujani perhatian.

..........

Pulang kerja aku bergegas menuju mes putri. Tak sabar melihat bingkisan darinya. Begitu terbuka, sebuah kotak dengan isi coklat warna-warni berbagai merk. Dan sebuah catatan kecil. Aku membacanya, seketika air mataku menetes tanpa bisa dicegah. Dia menyatakan rasa cintanya padaku.

Bagai mimpi, akhirnya saat yang aku nantikan datang juga. Perasaanku sama dengannya.

Lagi, taman bunga ini semakin subur. Namun aku berusaha mengumpulkan kewarasan dan keberanian bagaimanapun lemahnya hatiku. Berkali-kali aku berusaha meyakinkan hati, hubungan ini salah.

Perlahan aku memberi jarak dengannya dan mengganti nomor ponsel. Meskipun bekerja dan tinggal di mes yang berdekatan, sebenarnya sulit menghindar.

"Kamila!" kuhentikan langkah. Sore ini saat senja di pinggir pantai, dia menghampiri. Sejak dua minggu menjauh, pantai menjadi pelarianku menikmati senja.

"Kenapa?" tanyanya kemudian. Aku menunduk, kemudian menggeleng.

"Bicaralah,” ucapnya kemudian. Aku mendongak, menatap wajahnya yang terlihat berubah. Kuyu ....

"Aku tahu diri." kuberanikan memulai. Tanganku tak hentinya meremat ujung kemeja.

"Maaf, aku tak bermaksud menyakitimu."

Aku hanya diam menatapnya, kemudian berjalan pergi. Namun, tangan kokohnya, menahanku.

"Aku mohon, ini salah,” kataku kemudian.

"Aku terjebak dalam pertunangan itu. Dia selingkuh, dan selalu mengancam bunuh diri jika mau kuputuskan, bahkan keluargaku lebih percaya padanya. Aku tak berdaya."

"Bagaimanapun, kamu masih terikat. Aku, menyerah." Kuhentakkan tangannya kemudian berlari menjauh. Sejauh mungkin, hingga hatiku terbiasa tanpanya.

Cinta hakikatnya saling menghargai. Ada tanggung jawab di dalamnya. Jika dimulai dengan yang salah, kesucian cinta akan tetap ternoda bagaimanapun caranya kita menghapusnya.
Diubah oleh ningka 20-04-2020 17:26
tafakoer
anwarMU
nona212
nona212 dan 100 lainnya memberi reputasi
101
1.9K
98
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.