IztaLorie
TS
IztaLorie
Mereaksikan Kamu dan Aku Menjadi Kita
Bereaksi


Gambar by : IztaLorie
Edit : Ibis Paint


Elok berjalan di bawah rindangnya pepohonan menuju kantin, tepatnya kantin kedua yang berada di tengah-tengah kantin lain. Ini merupakan kantin favorit karena sejak awal angkatannya lebih akrab dengan ibu kantin baik hati itu daripada dengan yang lain.

Cewek itu berusaha menatap lurus ke depan ketika melewati sekumpulan cowok yang asik berkelakar. Namun ekor matanya tak kuasa menahan gerak untuk menangkap segala aktivitas cowok bernama Elang.

Elok duduk di kursi belakang Elang. Sekedar untuk dapat menatap punggungnya sambil menikmati makan siang.

Rindu berjalan tergesa-gesa menghampiri Elok, memanggil namanya dua kali tapi cewek itu tetap bergeming seolah berada di dimensi lain.

Rindu menarik garis khayalan dari manik mata sewarna madu itu menuju ke depannya dan taulah apa yang membuat sahabatnya itu tiba-tiba menjadi tuli akan panggilan.

Dia menarik cepat tisu yang ada di tengah meja kayu, mengelapkan di bibir Elok dengan kasar. "Lap dulu air liurmu yang banjir ini."

Menghempaskan diri dengan kesal ke bangku yang berada di seberang Elok. Elok memberikan tatapan protes. Untung itu sahabatnya kalau nggak pasti sudah dihabisi.

"Ngapain sih? Aku kan baru makan, nggak ada air liur yang menetes seperti orang kelaparan yang belum makan tiga hari." Elok mengelap mulut menggunakan tisu yang direbut dari tangan Rindu. Menunjukkan pada cewek itu kalau tidak ada satu tetes air liur pun yang menempel pada permukaan tisu.

"Nggak salah kok kalau mengagumi ciptaaan Tuhan yang demikian memikat. Nggak usah malu mengakui kalau sedari tadi kamu lihatin Elang terus." Rindu memiringkan kepala lalu mengerling.

Elok menyibukkan diri dengan mengaduk kuah soto untuk mencari daging sapi yang sebenarnya tidak ada karena sudah dimakan semua. Apakah dia terlalu ceroboh sampai perasaannya terlihat begitu jelas.

Sudah dua tahun ini dia berusaha mengekang rasa sukanya dengan berpura-pura tidak mengenali Elang. Mereka bahkan tidak pernah berbicara satu kali pun. Ajaibnya, tidak ada yang menyadari keganjilan itu.

Kesedihan kembali merayapi Elok. Sungguh dirinya tak layak untuk berada di dekat Elang sejak kejadian naas ketika mereka lulus SD.

Kalau bukan karena sifat manjanya pasti sekarang Elang masih bisa bersama-sama dengan mamanya. Elok mendesah, memaksa menyuapkan nasi soto ke dalam mulut kecilnya.

Elok menutup wajah dengan kedua tangan, mengingat kembali kejadian itu membuat hatinya sedih. Betapa pengecutnya karena sampai sekarang tidak berani meminta maaf pada Elang. Menelan sendiri rasa bersalah itu.

"Jadi begini." Elang bangkit lalu memutari meja. Menekankan kedua tangan di atas meja, tubuhnya condong ke depan hingga semua teman-teman mengikuti.

Elang mengangkat dagu sebentar agar matanya bisa menatap pemandangan yang tadinya tidak bisa dilihat. Dahi berkerut ketika melihat objek pemandangan malah sedang menutup mata dengan tangan. Sedang sedihkah dia? Apakah kembali memikirkan masa lalu.

Elang kembali menunduk, melanjutkan percakapan yang tertunda. Namun otaknya memikirkan hal lain. Dia ingin kembali bisa dekat dengan Elok. Namun sejak awal mereka bertemu di kampus, cewek itu seperti menghindar.

Rindu menyentuh lengan Elok. "Kamu kenapa?"

Elok menyingkirkan tangan yang menutup wajah, menggeleng lemah. "Nggak papa," ujarnya sambil tersenyum lemah.

"Makannya sudah selesai kan? Sekarang sudah hampir waktunya praktik." Rindu berdiri setelah melihat jam tangan.

Elok juga ikut berdiri, berlari kecil mengejar Rindu yang sudah pergi duluan.

"Eh, maaf," kata Elok setelah tidak sengaja menabrak Elang yang tiba-tiba berhenti.

Elok tidak memperhatikan secarik senyum yang coba disembunyikan Elang karena bisa mendengar suaranya kembali.

Praktik kali ini ada di lantai tiga. Elok menyesuaikan napas ketika memasuki ruangan. Terkesiap ketika melihat Elang sudah terlebih dahulu sampai. Pasti dia lewat tangga yang satunya.

Elok mencoba mengabaikan fakta bahwa Elang sama sekali tidak terengah-engah seperti dirinya sendiri. Pasti cowok itu sering berolahraga.

Elok berjalan melewati meja Elang untuk menuju mejanya sendiri yang hanya selisih satu bangku.

Fahmi tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Dengan tidak sabar menarik tangan Elok hingga cewek itu terduduk di bangkunya.

Cowok itu membantu Elok mempersiapkan box yang berisi perlengkapan praktik. Elok hanya bisa tersenyum menerima perhatian itu. Elok menyadari perasaan Fahmi, tapi apa daya hatinya sudah tertambat ke orang lain.

"Sudah siap dengan pretest? Jangan sampai kamu tidak boleh mengikuti praktek karena nilai yang kurang." Fahmi mengerling sebelum menyiapkan perlengkapannya sendiri.

Dosen dan juga asisten sudah memasuki ruang laboratorium, tapi Elani masih belum kelihatan. Waktu teori tadi dia juga tidak kelihatan. Elok melirik bangku yang berada di samping.

"Sebelum memulai pretest, saya ada sedikit pengumuman. Elani sudah mengajukan surat berhenti kuliah. Elok, kamu pindah di sebelah Elang. Kalian jadi partner. Yang lain silakan bergeser satu bangku." Bu Weni mengawasi mahasiswa yang mulai mengemasi perlengkapan untuk pindah.

Elok memberesi perlengkapan dengan berat hati. Dua tahun ini sudah berusaha keras menghindari cowok satu itu. Lalu apa yang harus dilakukannya sekarang. Apa harus mulai minta maaf. Ini terlalu berat baginya.

Elang melirik Elok yang terlihat lesu. Berbanding terbalik dengan dirinya. Rasanya ingin bersorak keras-keras untuk menyerukan kegembiraannya.

Bola lampu di otak Elang menyala. Ini saatnya dia bertindak agar Elok kembali mau berbicara lagi dengannya. Ini akan menyenangkan, benak Elang tertawa bahagia.

"Jangan dikira aku mau menjadi partnermu," bisik Elang untuk Elok gusar.

Mata Elok membelalak hingga terlihat begitu bulat. Ini pertama kalinya Elang bicara padanya. Nada bicara itu membuat Elok merinding. Apakah cowok itu masih begitu marah.

"Jangan sampai menyusahkan." Peringatan kedua yang diucapkan oleh Elang menyulut emosi.

Elok bersedekap dengan dagu terangkat. "Siapa juga yang mau berpartner dengan cowok kaya kamu. Masih lebih baik Fahmi kemana-mana."

Kata-kata itu sukses mengalihkan dunia Elang karena saat ini cowok itu memandang Elok dengan tatapan membunuh. Elok tidak tahu kalau itu benar-benar menyinggung harga dirinya.

Pretest sudah usai, waktunya membuka telinga lebar-lebar untuk mendengar bu Weni memangggil nama mahasiswa. Kalau sampai namanya tidak dipanggil saat praktikum dimulai itu tandanya nilai terlalu rendah, tidak boleh ikut dan harus keluar dari laboratium.

Elok tersenyum ketika namanya dipanggil setelah Elang. Dia berderap maju untuk mengambil kunci laci. Masing-masing mahasiswa memiliki laci yang berisi set peralatan untuk praktikum. Harus bertanggung jawab dengan kebersihan dan kelengkapannya.

"Lho kok kuncinya macet," gerutu Elok sambil terus berusaha memutar ke kanan, tapi terasa berat.

Sebuah kunci diletakkan di meja Elok. Dia mendongak untuk memandang Fahmi yang tersenyum geli.

"Lok, kamu ambil kunci yang salah." Fahmi mengulurkan tangan untuk meminta kunci nomor lima.

Elok menepuk jidat pelan karena menyadari kesalahannya. Nyengir malu-malu, ini karena terbiasa mengambil kunci nomor lima padahal sekarang sudah duduk di nomor empat.

"Ceroboh."

Elok pura-pura tidak mendengar ejekan Elang itu. Mengeluarkan perlengkapan dari dalam laci lalu menata berurutan di atas meja. Sekarang tinggal mengambil mikroskop saja. Dia melangkah menuju rak penyimpanan mikroskop.

"Jangan salah lagi." Elang berjalan sambil memberi peringatan.

Elok meringis, untung diingatkan. Nyaris saja salah ambil mikroskop lagi.

Elok mengeluh dalam hati. Baru beberapa menit mereka menjadi partner tapi sudah mendengar kata-kata yang bikin bad mood. Tau gitu lebih baik tidak ikut praktik saja. Eh, sayang juga kalau harus mengulang semester gara-gara selalu tidak ikut praktik. Mereka kan sekarang jadi partner.

Anggap saja berpartner dengan cowok paling tampan di tingkat tiga. Eh, tunggu dulu, bukannya predikat itu disematkan pada Elang. Elok mendesah sebal.

Elang melirik cewek yang duduk di sampingnya. Cara ini rupanya cukup berhasil. Cewek itu pasti tidak tahan untuk menjawab setiap celaan yang terlontar dari mulutnya. Elok nggak bakal diam saja kalau terus dihina. Rupanya cewek masa kecilnya masih belum berubah banyak.

"Hari ini kita akan praktek hitung eosinofil. Di sini siapa yang punya alergi?" Bu Weni menunggu jawaban dari yang lain.

"Elok saja, Bu." Elang menunjuk Elok disertai dengan serigai liciknya.

"Memangnya Elok punya alergi apa?" Bu Weni mendekati meja mereka sambil membawa perlengkapan untuk mengambil sampel darah berupa vial yang berisi antikoagulan, spuit, alkohol swab, dan torniquet.

"Bukan alergi tapi cacingan. Lihat saja badannya yang kurus." Elang memandang Elok dari sudut mata hingga muncul kesan merendahkan.

"Ya sudah kalau begitu. Elang, kamu ambil darah Elok sebanyak 6 cc," perintah bu Weni.

Elok bergidik ngeri melihat serigai Elang. Ya ampun, 6 cc darah. Spontan menutup lengan kanan dengan memakai tangan kiri. Ini bukan mimpi kan? Semoga Elang bisa lancar mengambil darah.

"Ini tidak sakit kok." Elang memainkan alis sambil mengacungkan spuit 6 cc. Dalam hati menertawakan wajah panik Elok.

Elok menarik tangan saat Elang menggegam mantap. Elang melotot, dengan pandangan mengancam kembali menarik kembali lengan Elok agar posisinya pas. "Tenang aja."

Kata-kata dari Elang tidak membuatnya semakin santai malah makin tegang. Elok mengintip dari sela-sela telapak tangan yang harusnya digunakan untuk menutup wajah. Biasanya sih selalu berani kalau diambil darah. Namun kali ini plebotomisnya adalah Elang. Gimana kalau dia sengaja menusuk dua, tiga, atau bahkan empat kali untuk mengambil darah.

"Nggak sakit kan?" Elang menarik spuit dari lengan Elok dengan mulus.

Elok menggeleng lemah karena pikiran buruknya tidak terbukti. Bahkan tidak terasa sakit seperti kalau diambil oleh Fahmi. Dia meraih vial-vial yang sudah diisi Elang dengan darah, menutup dan mencampurnya dengan anti koagulan lalu membagikan ke pasangan-pasangan lain.



Sumber : atlm.web.id


Semua langsung berkonsentrasi untuk memulai praktikum sedangkan Elok baru saja mulai karena harus membagi vial terlebih dahulu.

Elang mengangkat tangan tanda dia sudah menemukan sel eosinofil. Bu Weni mendekat untuk melihat kamar hitung lalu memberikan tanda tangan di buku laporan. Elang menghitung jumlah Eosinofil yang ditemukan lalu segera mengumpulkan buku itu.

"Cepat seperti biasa." Bu Weni memuji Elang yang pertama kali menyelesaikan praktikum.

Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan Elok yang masih berkutat dengan mikroskop. Mencari sosok eosinofil yang berbentuk seperti kacamata.

"Lima menit lagi. Segera bersihkan peralatan!" Suara Bu Weni membuat Elok semakin gugup.

Elang sudah selesai membereskan meja, malah duduk diam sambil terus memandangi. Enggan untuk membantu biar cewek itu semakin kesal.

Fahmi yang terakhir mengangkat tangan. Setelah memberi tanda tangan, Bu Weni menghampiri Elok untuk mengecek mikroskop dan memang tidak menemukan apa pun.

"Fahmi, tolong pinjamkan bilik hitungmu buat Elok," pinta bu Weni.

"Kamu cacingan ya? Sampai-sampai aku dapat banyak eosinofil. Minum obat cacingan biar gemukan sedikit," ejek Elang, tapi cewek itu masih berpura-pura tidak mendengar.

Elang tahu apa yang bisa membuat cewek itu bereaksi. "Jangan-jangan kamu punya asma. Ngik ... ngik ... ngik...." Elang memegang dada lalu berpura-pura menarik napas dengan kepayahan.

"Nggak lucu," gerutu Elok, membuang muka.

"Kalau begitu pasti alergi." Elang mencondongkan badan sambil menunjuk muka Elok.

Elok mengabaikan ucapan itu. Menyibukkan diri untuk mengemasi tas agar tidak perlu melihat wajahnya.

"Alergi kan?" Elang mengulangi pertanyaan lalu menyikut cewek itu.

Elok memberikan tatapan peringatan. Elang semakin merasa kegirangan. Wajah cewek itu malah jadi semakin menarik. Mungkin ini bisa dijadikan senjata untuk membuat cewek itu terus berbicara padanya.

Fahmi menghampiri. "Elok, ayo keluar."

Elok dan Fahmi berjalan bersisian. Mereka memang kompak sebagai partner karena sudah dari tingkat satu bersama. Sayangnya sekarang mereka terpisah.

Hampir saja Elok duduk di sebelah Fahmi. Namun cowok itu tersenyum geli sambil menunjuk kursi sebelah Elang. Elok menghembuskan napas kasar. Perubahan ini benar-benar membuatnya kacau. Capek hati dan capek pikiran kalau terus berada di dekat Elang.

"Cacingan, asma, alergi?" ejek Elang dengan nada riang.

Elok merasa heran, tumben-tumbenan cowok satu ini banyak bicara. Biasanya tampak cool. Ini sangat menyebalkan.

"Iya, aku punya alergi," ujar Elok ketus. Pada akhirnya memang harus menghadapi cowok itu.

Elang menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Mendekati agar dapat mendengar lebih jelas. "Aku benar kan? Kamu alergi apa?" Dia memainkan alis demi melihat wajah Elok yang semakin memerah.

"Uhuk, uhuk, alergi kamu." Elok pura-pura batuk untuk menggoda. "Alergi dekat-dekat sama manusia bernama Elang." Kilat jail muncul dari manik sewarna madu.





Kalau suka sama thread satu ini tolong bantu share ya. Biar lebih banyak yang baca dan Lori semakin semangat nulisnya. Selamat membaca lanjutannya.


Btw, Lori kan ada rencana cetak cerita ini lewat event Samudera Printing Nah, Samudera Printing ini ngadain Giveaway lho. Yuk ikutan. Kali aja kamu yang menang.

Diubah oleh IztaLorie 05-06-2021 01:47
69banditosnomoreliescyb3r_thu6
cyb3r_thu6 dan 57 lainnya memberi reputasi
56
9.7K
215
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.