cicimasni
TS
cicimasni
Bab 22: Tidak Ada Pilihan Lain, Tidak Ada Cara Lain
Bab 22: Tidak Ada Pilihan Lain, Tidak Ada Cara Lain

🌸🌸🌸
Lily mendapat pesan dari adiknya, bahwa Ibundanya sudah setuju adiknya menikah 2 bulan lagi. Semua persiapan sudah beres dan hanya tinggal melaksanakan akad dan nikah.

Ia sebenarnya ikut senang, jadi Lily tidak lagi merasa terbebani rasa bersalah karena jadi penghalang pernikahan adiknya. Hanya saja, gadis itu harus mempersiapkan hatinya lagi untuk kembali menjadi bahan sindiran dan ejekan para tamu undangan yang mengenalnya.

'wajarlah...yang nikah itu lebih cantik dari kakaknya'

'mungkin sifatnya buruk, makanya belum laku'

'jangan-jangan nanti dilangkahi lagi sama yang satunya'

'kalau penampilannya masih seperti itu, jangankan dapat jodoh, dapat teman cowok pun mungkin susah'

'tomboy sih!. Beda sama yang lain, feminim. Dia itu jarang banget senyum. Jadi mana ada yang mau ngelirik'

'mungkin seleranya terlalu tinggi, makanya susah cari pasangan. Pilih-pilih sih!!'

Lily paling ingat sindiran-sindiran itu. Meski mereka tersenyum di depan gadis itu, dibelakangnya mereka bergosip sadis tentangnya.

Ia mengakui kekurangan dirinya hanya saja mendengar orang lain membicarakannya dengan pandangan sinis kearahnya. Itu berlahan-lahan menyakiti perasaannya. Maka dari itulah, setelah adiknya menikah dulu, Lily memutuskan mencari kerja dan tinggal di kota lain, yang tak ada satupun yang mengenalnya.

"Lily???......

Varo yang tadi bertanya tentang bekal makan siangnya, merasa diabaikan oleh gadis yang sedang asyik melamun itu.

"Auuu....sakit!!!!, ngapain sih??." Lily mengelus lengannya yang tadi di cubit Varo.

"Aku lapar!!." Ungkap pria itu.

Lily melirik pria itu dengan tatapan kesal. "Makan aja!!, makanannya kan udah di hidangin di atas meja."

"....kamu kenapa sih???, Apa aku tidak sengaja menginjak ekormu??. Kenapa marah-marah??. Bukankah aku yang harusnya marah, kamu telat satu jam dari jadwal makan siang, hingga aku harus ngerjain laporan dulu sambil nunggu kamu datang."

Gadis itu menarik nafas dalam. "Ma'af, aku...tadi dagingnya habis jadi aku kepasar dulu."

"Makanlah duluan!, aku...belum lapar. Aku...akan menidurkan Arion dulu." Lalu gadis itu meninggalkan Varo yang menatap kepergiannya dengan pandangan heran.


🌺🌺


Varo menerima pesan dari ibunda Lily, beliau memintanya datang di hari pernikahan adiknya Lily, Reyna. Varo tentu saja mengiyakannya. Ia bahkan telah mengundur pekerjaannya dan mengambil libur seminggu sebelum hari pernikahan itu.

Varo tidak tau kenapa Lily mendadak jadi sering melamun dan badmood, ia benci ketika gadis itu tak membicarakan masalahnya dan malah selalu minta ma'af jika Varo menegurnya.

Jadi malam itu setelah melihat Lily meletakkan Arion di kamar tidur ia memaksa gadis itu untuk makan malam bersamanya.

"Kamu nggak sarapan pagi tadi, juga nggak makan siang ini dan sekarang kamu mau skip makan malam. Tolong jangan melakukan hal bodoh, kalau kamu sakit, aku juga yang akan menderita." Pria itu berkata dengan nada kesal.

Lily akhirnya makan, yah meski hanya sedikit. Tapi gadis itu terlihat sibuk dengan dunianya sendiri lagi dan itu kembali membuat Varo kesal.

"Besok minggu, aku mau kita piknik."

"Oke."

"......" Varo mulai frustasi. "Nggak nanya kita kemana??, Berapa lama??."

"Kita kemana??, Berapa lama??"

"Kepulauan seribu. Aku mau nenggelemin kamu disana."

"Oh...kalau begitu aku akan menulis salam perpisahan malam ini."

"......."

Varo kembali menarik nafas dalam, bahkan joke nya ditanggapi serius oleh gadis itu. "Besok kita pergi pagi-pagi, jangan telat bangun!!."

"....Oke."


🌺🌺


Mereka pergi ke kepulauan seribu, tepatnya di pulau harapan, Varo sudah memesan homestay di sana dan Rion terlihat sangat excited begitu kakinya menginjak pasir putih. Ia berlari-lari membuat Lily kewalahan namun juga senang pada saat yang sama.

Varo tentu saja mengabadikan moment ketika Lily berhasil menangkap si kecil itu dan keduanya tertawa bahagia.

"Kenapa pantainya sepi??, Kamu nggak nekat menyewa tempat indah ini untuk dinikmati sendiri kan??".

Pertanyaan konyol itu membuat Varo hampir tertawa. "Sayangnya aku nggak segila itu. Kebetulan saja pantainya sepi."

"Kenapa pulau ini disebut pulau harapan??, Apa sejarahnya??." Tanya gadis itu lagi.

"Itu...cari aja di google."

"....."

Varo menyuruh 4 bodyguard nya untuk menemani Arion berkeliling pantai, sementara ia dan Lily duduk santai sambil memandangi pemandangan indah laut biru.

"Kamu pernah ke pantai??." Tanya Varo ketika Lily hanya duduk diam. Gadis itu menggeleng sambil tersenyum

"Katrok!!."

Mendengar sindiran itu senyum manis gadis itu hilang seketika.

"Kamu sendiri sering ke pantai??."

"Lumayan."

"Sendirian aja??, Ngapain??."

Varo menjawab dengan nada bosan. "Memangnya harus berdua??. Aku kesini juga cuma buat makan seafood kok."

"Katanya...pemandangan dibawah lautnya bagus. Kamu pernah lihat??." Lily kembali bertanya. Dan kali ini Varo benar-benar menertawakannya.

"Hahaha....kamu benar-benar cari infonya di google ya."

"......" Gue tonjok juga nih orang.

"Indah kok, indah banget. Pengen lihat juga??, Kita bisa menyewa peralatan menyelam."

Lily menggeleng. "Aku nggak bisa berenang. Kamu aja yang menyelam, terus fotoin, aku pengen lihat aslinya gimana."

Varo menolak. "Kalo foto, kamu juga bisa searching di google ada banyak. Aku udah bosan nyelam sendirian, yang di lihat juga cuma ikan, rumput laut sama terumbu karang doang."

"Kamu makan seafood nggak bosan??, Makan juga pasti dengan menu yang sama." Kali ini Lily menyindir pria itu.

Yang disindir malah tersenyum senang. "Tapi kali ini aku makan nggak sendirian lagi, itu bedanya."

Lily terdiam, ia terpesona dengan lesung pipi yang terbentuk cantik ketika pria itu tersenyum.


🌺🌺


Mereka tidak langsung pergi untuk makan malam. Setelah istirahat dan makan siang. Arion yang tertidur, dijaga oleh ke-empat bodyguard tadi di homestay. Sementara Lily dan Varo kembali ke pantai untuk melihat matahari terbenam.

"Dulu...aku paling senang nungguin matahari tenggelam. Di belakang rumahku, ada sungai Musi dan aku setiap sore pasti duduk di pinggir sungai musi sambil mandangin langit yang tadinya putih berubah jadi orange. Ayahku juga biasanya menemaniku sebelum beliau meninggal."

Varo melirik sekilas kearah Lily. Senyum sedih terukir di wajah gadis itu. "Ayahmu....orang seperti apa??." Tanya pria itu.

Lily menarik nafas dalam sebelum menjawab. "Ia...orang yang sangat ceria dan kekanak-kanakan. Ibu bahkan sering memarahinya karena mengajakku memancing dan bermain bola kaki. Ibu bilang, anak perempuan harusnya tidak melakukan kegiatan seperti itu. Tapi ayahku tersenyum dan membalas bahwa anak perempuan perlu tau segalanya, jadi nanti tidak akan terlalu bergantung pada laki-laki."

Lily kembali tersenyum saat mengenang masa lalu bersama ayahnya. "Di banding dengan adik-adikku, aku paling dekat dengan ayah. Beliau tidak pernah memarahiku ketika aku mengikuti kegiatan yang biasanya dilakukan oleh anak laki-laki. Aku memancing, bermain bola, ikut Pramuka, juga...manjat pohon mangga tetangga. Karakterku...sama sekali tidak cocok dengan namaku."

"Ayah...sangat pandai dalam segala hal. Beliau bisa memasak, membangun rumah, juga...mengecat tembok lalu melukis gambar-gambar indah. Aku sepulang sekolah selalu mengikuti ayah jika ia mendapat pekerjaan membangun rumah orang, aku membantu ayah menyusun batu bata bahkan mengecat tembok. Dan begitu ayah memutuskan untuk membuka warung makan, aku tertarik untuk belajar memasak dan akhirnya masuk kuliah jurusan tata boga. Beliau bangga padaku, lalu kami membuat janji bahwa nanti begitu aku mendapat uang dari hasil jerih payahku, ayah akan membuat restoran kecil atas nama kami. Tapi...itu tidak pernah terjadi."

Ada air mata yang mengalir dikedua pipi Lily. Ia menahan tangisnya untuk tetap menceritakan kisah sedih itu.

"Beliau....masih tersenyum bangga padaku ketika aku menyerahkan topi wisudaku padanya, lalu detik berikutnya...ia menutup matanya untuk selamanya. Tak pernah membuatku bisa mengabulkan impianku menjadi kenyataan. Beliau kena serangan jantung dan meninggal di hari wisuda ku."

Varo akhirnya duduk dihadapan Lily dan menghapus air mata gadis itu. "Bagaimana adik-adikmu bisa kuliah??." Tanya pria itu lagi.

"Ibu masih tetap berjualan. Aku... setengah tahun sebelum aku di terima kerja di restoran. Aku membantu ibu di rumah, nasi bungkus kami cukup laris. kadang menjual ikan hasil tangkapan ku, juga ikut kerja sambilan di wedding decoration, bagian dekorasi, gajinya cukup untuk membiayai uang semester adik-adikku. Tapi setelah aku diterima bekerja menjadi koki, aku hanya fokus memasak. Gajinya juga lumayan jadi...aku bertahan disana sampai 8 tahun. Adik-adikku juga pintar-pintar dan bukan tipe boros. Mereka mendapat beasiswa prestasi dari kampus, juga mengajukan beasiswa ke dinas pendidikan, menabung uang jajan yang tiap bulan ku kirim. Yah...soal keuangan, masih bisa ditangani dengan baik." Lily mengakhiri ceritanya sambil tersenyum.

"Anak baik." Varo mengelus rambut gadis itu membuatnya tertawa.

"Ibuku juga selalu bilang begitu." Lily berkata dengan nada bangga.

Varo senang melihat senyum yang terus ada di wajah Lily. "Ya...kamu anak baik sampai harus berbohong agar tidak menyakiti perasaan ibumu."

"Tolong jangan mengungkit-ungkit masalah lama. Kamu juga jadi penyebab kebohongan itu masih berlanjut sampai sekarang."

Pria itu hanya tersenyum lalu bangkit dan kembali duduk disamping Lily.

"Bunda mengirimiku pesan kalau....

"Kamu nggak perlu datang." Lily memotong perkataan Varo. "Aku udah bilang kan, aku akan jujur ke Bunda bahwa kita nggak punya hubungan apa-apa. Aku...benar-benar akan mengatakannya begitu aku sampai di Palembang, aku nggak mau menyampaikan hal seperti itu lewat telpon. Jadi...kamu nggak usah berbuat baik seperti itu lagi."

"Kenapa kita nggak benar-benar jadi pasangan dan menikah saja. Aku single dan kamu juga single, bunda juga mengenalku dan setuju kita menikah."

Pembahasan itu membuat Lily deja vu. Gadis itu kembali menggeleng.

"Aku nggak akan menikah dengan orang yang nggak mencintaiku." Ucap gadis itu tegas.

Varo kembali menatap Lily. "Kenapa harus mencintaimu dulu untuk bisa menikah denganmu??, Kita hanya perlu menikah lalu belajar untuk saling mencintai."

"Aku...juga tidak tau bagaimana mencintai sebelumnya. Tapi aku tau dengan pasti apa itu perasaan benci dan perasaan itu, sama sekali tidak kurasakan padamu. Jadi kenapa kita tidak bisa menikah dan mencoba dekat satu sama lain??. Bukankah kamu yang bilang bahwa aku harus mencari kebahagiaanku sendiri. Aku sedang mencobanya sekarang...bukan...bukan mencoba. Aku telah mendapatkannya sekarang. Selain Rion, kamu adalah bagian terbesar dari kebahagiaanku, karena itu aku ingin kita menikah."

"Kenapa kita tidak sama-sama belajar saling mengenal, menyukai dan mencintai setelah menikah??. Aku ingin berkomitmen dengan cara seperti itu.

Lily akhirnya menjawab. Ia tau, pria didepannya ini benar-benar serius sekarang. "Bagaimana...kalau hasilnya sama seperti ayah dan ibumu??. Mereka menikah tanpa cinta lalu berakhir dengan menyedihkan."

"Mereka bukan kita. Aku tau rasa sakitnya dibohongi, ditipu, dibenci, dimanfaatkan. Dan selama aku mengenalmu setahun ini. Kamu membuatku sadar, bahwa masih ada orang baik di dunia ini, masih ada yang bisa membuatku percaya 100%, dan...merasakan disayangi juga dimanja. Aku....membuka hatiku padamu. Kita tidak tau hal buruk apa yang akan terjadi nanti. Tapi sekarang...aku ingin kau yang berada disampingku."

Varo menggenggam tangan Lily. Menunggu jawaban dari gadis itu. Tapi sampai 15menit kemudian keduanya malah terdiam menatap sore yang beranjak malam.

"Aku...nggak mau ada pesta. Cukup keluarga yang datang."

"....Oke."

Lily melirik kearah Varo yang entah sejak kapan sudah menyunggingkan senyumnya.

"Aku...ingin tetap bekerja setelah menikah. Aku ingin jadi koki dan punya restoran sendiri."

"Itu mas kimpoinya." Jawab Varo mantap.

"....."Kenapa terdengar seperti sudah di rencanakan??

"Aku...nggak mau pakai cincin kimpoi mahal."

".....Oke!!. Maharnya udah ada di rekeningmu, nanti kutambahkan. Tolong jangan dikembalikan!!!."

"......"Giliran Lily yang bungkam.

"Kita nikah bulan ini. Aku nggak mau kamu dilangkahin adik kamu lagi. Aku akan pilih tanggalnya dan membicarakannya pada Bunda."

Lily mengerutkan dahi. "Kamu...emang udah yakin kalau aku akan menikah denganmu??."

Varo tersenyum lebar. "Tentu saja. Mana mungkin pria tampan, baik dan kaya raya sepertiku di tolak, hahaha."

"Ee...aku...berencana melakukannya sekarang."

Senyum itu berganti dengan sunggingan senyum licik dan membuat Lily tiba-tiba menelan ludahnya.

"Sebenarnya.....Bunda dan keluargamu yang lain sudah datang ke Jakarta tadi siang dan ada dirumah sekarang."

"Apa!!!."

Sunggingan itu makin lebar. "Bunda tau kita tinggal bersama, jadi...kita mungkin akan dinikahkan dalam waktu dekat. Kamu tau....adat istiadat melarang pasangan yang belum menikah tinggal satu rumah. Jadi...

'cup'

Sebuah kecupan kilat mendarat di pipi kiri Lily. Varo tersenyum senang setelah melakukannya. "Pilihan terbaikmu adalah menikah denganku."

"......."


🌸🌸🌸

Bab selanjutnya :

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...bdb23cc608a810
Diubah oleh cicimasni 20-04-2020 14:01
shofiyasrtdefriansahnona212
nona212 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
1.6K
1
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread•40.9KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.