sumber gambar di sini


Ikan mujair atau yang bernama ilmiah Oreochromis Mossambiccusini sudah dikenal luas di kalangan masyarakat kita. Mulai dari warung-warung tenda pinggir jalan hingga resto-resto mewah, seringkali memasukkan ikan ini ke dalam daftar menu.

Tahukah Gansis, bagaimana riwayat ikan yang berasal dari perairan Afrika ini bisa dikenal luas oleh orang Indonesia? Nah, ternyata nama ikan mujair ini diambil dari nama penemunya, yaitu Pak Moedjair.

Mbah Moedjair

Beliau ini adalah seorang penjual sate kambing yang sangat terkenal. Para pelanggannya datang dari berbagai kalangan. Pak Moedjair ini sebenarnya adalah nama panggilan atau nama beken. Nama aslinya sendiri adalah Iwan Dalauk. Beliau berasal dari desa Kuningan, 3 Km arah timur kota Blitar. Beliau lahir pada tahun 1890 dari pasangan Bayan Isman dan Rubiah. Kemudian menikah dan menetap di Desa Papungan, Kanigoro.

Pak Moedjair ini mempunyai kebiasaan tirakat setiap tanggal 1 Suro  menurut penanggalan Jawa ke Sungai Serang pantai selatan Blitar. Nah, di muara Sungai Serang inilah, beliau melihat ikan yang sisiknya berwarna abu-abu, hitam, cokelat dan kuning ini memiliki prilaku aneh. Ikan ini kerap memasukkan anak-anaknya ke dalam mulut saat ada predator, lalu akan mengeluarkannya lagi ketika situasi aman.

Merasa tertarik dengan keunikan ikan tersebut, Pak Moedjair melepas udeng atau kain ikat kepalanya guna menjaring ikan untuk dibawa pulang. Beliau ingin memelihara ikan tersebut di rumah. Ternyata ikan-ikan tersebut tidak bertahan hidup di kolam buatan Pak Moedjair.

Beliau semakin penasaran dan tertantang untuk melakukan percobaan budidaya ikan berperilaku unik ini. Untuk itu Pak Moedjair kembali ke muara Serang dengan berjalan kaki, menempuh medan yang sulit--naik turun bukit menembus hutan belantara--selama dua hari dua malam. Jarak tempuh antara Desa Papungan tempat tinggalnya dengan Sungai Serang sejauh 35 Km. Apalagi saat itu belum ada alat transportasi. Pak Moedjair membawa gentong/periuk dari tanah sebagai wadah ikan beserta airnya.

Java/Mozambique tilapia

Berkali-kali percobaan mencampur air habitat awal dengan air tawar dilakoni Pak Moedjair ini menemui kegagalan. Baru pada percobaan kesebelas ia berhasil. Empat ekor ikan bertahan hidup dan berkembangbiak di dalam kolamnya. Bahkan hingga beranak-pinak banyak sekali. Dari satu kolam berkembang menjadi tiga kolam. Keberhasilan tersebut menurut pegiat sejarawan Desa Papungan dicatatat pada tanggal 25 Maret 1936.

Pak Moedjair lalu membagi-bagikan ikan ini secara cuma-cuma kepada para tetangganya. Lalu, sebagian beliau jual ke pasar. Keberhasilan Pak Moedjair membudidayakan ikan ini sampai ke telinga Asisten Residen pemerintah Hindia Belanda di Kediri, yang kebetulan juga seorang peneliti. Atas kegigihannya tersebut, pemerintah Hindia Belanda memberikan penghargaan dengan memberikan nama ikan ini sesuai dengan nama beliau, Ikan Mujair.

Hingga masa pendudukan Jepang, kepopuleran ikan mujair ini semakin meningkat. Dibuatlah tambak-tambak untuk budidaya secara luas, dan beliau diangkat menjadi pegawai negeri oleh pemerintah saat itu.

Setelah masa kemerdekaan, Pak Moedjair menerima surat penghargaan dari Kementrian Pertanian pada 17 Agustus 1951 sebagai penemu dan perintis budidaya ikan mujair. Pada masa orde baru pun budidaya ikan mujair semakin pesat, dengan menyebar bibitnya di waduk-waduk dan kolam pekarangan.

Makam Mbah Moedjair

Wah, kegigihan yang berbuah manis, ya, Gansis. Patut kita apresiasi dan teladani semangat pantang menyerah Mbah Moedjair ini. Sebelas kali percobaan baru berhasil. Mana harus menempuh medan yang sulit untuk mengambil air media ikannya lagi. Benar-benar luar biasa, bukan?

Malang, 16 April 2020

Penulis: Ina Sendry
Sumber: 12 3