itanovita6
TS
itanovita6
Fakta Pahit di Balik Tingginya Rasio Kematian Corona Indonesia


Indonesia memiliki tingkat kematian COVID-19 tertinggi kelima di seluruh dunia. Apakah ini jadi bom waktu virus corona yang akan meledak tak lama lagi?

Jika melihat pengalaman dua pasien acak, diperlukan dua minggu atau lebih bagi sistem kesehatan Indonesia untuk mengkonfirmasi kasus virus corona. Itu adalah salah satu kemungkinan alasan mengapa bangsa ini tampaknya memiliki tingkat kematian tertinggi di Asia Tenggara dan salah satu yang tertinggi di seluruh dunia, menurut John McBeth dalam tulisannya di Asia Times.

Secara sederhana, rasio itu berasal dari angka kematian resmi (209) per 6 April dibanding jumlah kasus yang dikonfirmasi (2.491). Namun, jika jumlah sebenarnya infeksi berada pada tingkat 40.000-50.000, seperti pemodelan yang dibuat oleh beberapa lembaga seperti London School of Hygiene & Tropical Medicine, maka rasionya tidak begitu tinggi.

Menurut Statista, setelah berada di peringkat ketiga global minggu lalu, tingkat kematian Indonesia saat ini (8,7 persen) menempati peringkat kelima di dunia di belakang Italia (12,3 persen), Aljazair (11,5 persen), Inggris (10,3 persen), Belanda (9,8), dan Spanyol (9,6 persen).

Meski penelitian awal China menunjukkan butuh waktu rata-rata 14 hari dari gejala pertama sampai kematian, terutama bagi mereka yang memiliki komplikasi kesehatan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejauh ini belum memperbarui perkiraan terakhir tingkat kematian global rata-rata 3,4  persen pada awal Maret.

Di tengah semua ketidakpastian statistik ini, rakyat Indonesia dibiarkan terus berspekulasi apakah bom waktu virus corona akan segera meledak di negara ini, dan berapa lama mereka harus menunggu sebelum pandemi ini mencapai puncak mematikannya.



Kementerian Kesehatan mengkonfirmasi 218 kasus virus corona baru pada 6 April, lonjakan harian terbesar sejak kasus pertama diumumkan sebulan yang lalu.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, minggu lalu merilis data yang menunjukkan 400 orang yang diduga korban virus corona telah dikubur di Jakarta saja sejauh ini, dibandingkan dengan jumlah kematian resmi ibu kota itu, 90 orang.



Meski laporan berita telah mencatat lonjakan signifikan angka pemakaman keseluruhan di ibu kota bulan lalu dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, mayoritas korban tidak dikonfirmasi merupakan kasus COVID-19 dan otopsi seperti biasa tidak dilakukan.



Orang Indonesia yang lebih tua, yang memiliki kebiasaan merokok, pola makan yang buruk, apalagi memiliki riwayat stroke, penyakit jantung, dan diabetes, sangat rentan terhadap COVID-19.



Itu semua ditambah dengan udara Jakarta yang tercemar juga telah menjadi penyebab umum penyakit pernapasan akut yang melemahkan sistem kekebalan tubuh. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tuberkulosis, influenza, asma, dan penyakit lain yang terkait paru-paru telah merenggut 285.000 nyawa di seluruh Indonesia pada 2017.



Greenpeace Indonesia memperkirakan sekitar 7.400 warga Jakarta meninggal setiap tahun akibat efek PM2.5 (partikel-partikel kecil yang digunakan untuk mengukur tingkat polusi). Di 16 dari 44 kecamatan di ibu kota, infeksi pernafasan adalah penyebab utama penyakit yang diderita warga.



Ketika pemerintah ragu-ragu tentang cara menghentikan penyebaran virus dari Jakarta, serta berupaya mengeluarkan dana darurat untuk perawatan kesehatan, jaring pengaman sosial, dan program penyelamatan bisnis, sistem kesehatan menderita.



Contohnya Achmad (bukan nama sebenarnya), seorang warga Jakarta Selatan yang pergi ke salah satu dari delapan rumah sakit milik negara yang ditunjuk untuk menguji virus corona pada 27 Maret karena ia menderita batuk pilek dan kering.

Setelah menunggu lebih dari lima jam, ia menjalani tes darah dan rontgen dada, dan disuruh pulang dan kembali keesokan harinya untuk mengambil hasilnya. Besoknya, ia menunggu empat jam lagi di tengah kerumunan ratusan orang sebelum dokter meresepkannya antibiotik.



Selanjutnya, dia disuruh mengisolasi diri selama empat hari, setelah itu dia akan ditelepon untuk menjalani rapid test COVID-19. Namun, ia tak pernah ditelepon.

Pada titik itu, seorang pasien yang berpenghasilan pas-pasan mungkin sudah menyerah, apalagi mengingat sebagian besar orang Indonesia takut pada dokter.

Pasien wanita lain menghabiskan dua minggu keluar-masuk tiga rumah sakit tanpa dites. Di rumah sakit keempat, hasil rapid test-nya negatif. Kemudian tiga hari kemudian, tes swab PCR-nya menyatakan ia positif terinfeksi virus tersebut.


Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, mengatakan pada 2 April, dari 15.000 orang yang menjalani rapid test, hanya 677 orang yang positif terinfeksi. Namun di Jakarta, 30 persen dari 7.986 orang yang dites menderita penyakit ini.

Pemerintah telah mendistribusikan 400.000 alat rapid test, tetapi tes positif apa pun dari metode itu tidak termasuk dalam pembaruan harian pemerintah untuk kasus yang dikonfirmasi. Sejauh ini, menurut laporan berita, hanya ada 8.000 tes PCR secara nasional.

Menjelang musim mudik Lebaran, pemerintah awalnya menunjukkan ia akan melarang mudik, namun kemudian Presiden Joko Widodo mengatakan ia tidak akan berusaha mencegah mudik.

Pemerintah telah mencari cara untuk menghentikan penyebaran COVID-19 ke desa-desa tujuan pemudik, tetapi ketika Kabinet mengadakan konferensi video pada tanggal 2 April, presiden dengan blak-blakan mengatakan kepada menterinya: “Kita tidak bisa menghentikan mudik.”

Alih-alih, dia ingin pemerintah daerah memastikan para pelancong bisa mandiri saat mereka mencapai tujuan mereka, tetapi itu sama mustahilnya dengan mencoba menghentikan mereka pulang mudik.

Pejabat senior pemerintah, termasuk Menteri Koordinator Maritim Luhut Panjaitan dan Kepala BNPB Letnan Jenderal Doni Monardo, mengatakan mereka khawatir mudik akan menjadi awal dari bencana jika tetap dilakukan seperti biasa.

Para pejabat tidak dapat menjelaskan langkah presiden tersebut, tetapi seperti yang dikatakan oleh salah satu narasumber kepada Asia Times, “Ada sesuatu yang hilang saat konferensi video itu. Kita tidak bisa membaca bahasa tubuh presiden. Tiba-tiba seperti ada jarak di antara kami.”

Seperti yang ditekankan John McBeth, yang dapat dilakukan oleh pemerintah sekarang adalah meminta warga Jakarta untuk berpikir ulang sebelum mudik ke kampung halaman menggunakan bis dan kereta api yang penuh dengan orang-orang dan rentan menjadi pusat penyebaran virus.

Sumber: Sumber



Mudah-mudahan cepat kelar deh corona... sedih & takut banyak yang meninggalnya ga bisa dikuburin dengan prosesi yang wajar.
4iinchsebelahblogtien212700
tien212700 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
5.2K
76
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.2KThread39.7KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.