Puspita1973Avatar border
TS
Puspita1973
KOIN NASIB, FONTANA DI TREVI
KUMPULAN CERPEN šŸ’žšŸ’ž

La Opinion


Mereka selalu mengatakan aku cantik. Meskipun mengakui kebenaran itu dalam hati, hal ini tak serta-merta membuatku percaya diri terutama saat berada di depan kamera.

Cekrek! Richard membidikkan dua alat protret ke arahku secara bergantian. Kamera Digital Single Lens Reflex Canon EOS 5 D IV dan iPhone XS Max.

"Lihat fotonya!" pintaku antusias.

Lelaki di hadapanku tersenyum. Entah mengapa terlihat begitu manis. Padahal senyuman seperti itu sudah sering dia berikan untukku. Ada yang berdesir lirih dalam dada. Richard menyerahkan dua benda elektronik di tangannya padaku.

"Woow, aku benar-benar cantik." Seketika bola mataku membesar.

Lelaki berwajah indo Amerika dan Jawa yang berdiri di sebelahku, lagi-lagi mengurai senyum di bibir merah jambunya yang bebas nikotin.

"Benar, 'kan?" tanyaku dengan tatapan mata yang kubuat seaneh mungkin. Seolah memaksa dia mengatakan setuju.

Sesungguhnya aku tak perlu penjelasan apa pun untuk bisa menangkap makna di balik senyuman lelaki ini, tentu saja. Ah, tetapi itu belum cukup. Sekali-kali aku ingin menjadi wanita menyebalkan dengan menggodanya.

"Yes, you are so beautiful becausecameranya buat kamu lebih cantik!"

"Whaat!?"

Alih-alih berhasil menggoda Richard, akulah yang menjadi kesal. Aku segera memukul-mukul dada lelaki itu dengan dua kepalan tanganku. Manja.

"Uno cappucino e hotchokolet."

Richard memesan minuman di sebuah kafe yang kebetulan kami lewati, take away. Satu cappucino dan cokelat panas. Kosa kata yang baru saja dia dapatkan dari kamus online. Meskipun memiliki label bahasa internasional, orang Italia sepertinya malas menggunakan bahasa Inggris. Terpaksa, selain kalimat yang tidak terlalu meyakinkan akan kebenaran tata bahasanya, kami juga menggunakan gesture. Kadang aku tertawa sendiri selama berada di negara ini.

"My Black Horse, why kita ke sini?" tanyaku pada Richard seraya menuju suatu tempat. Dari perkataan dan gerak-gerik sebelumnya seolah ada sesuatu yang ingin dia tunjukkan.

"You have to see sesuatu yang yunik, My Lovely."

"Oh yey? Apa itu?"

"It's crazy! Pernah berpikir di sebuah negara like Europe ada tradisi seperti ini? It's fun!"

"Apakah itu sesuatu yang tak masuk akal?"

"Yes, tetapi tidak terlalu juga."

"Kamu aneh, Richard. Hehehe."

Rasanya aku sudah tak sabar ingin segera sampai di sebuah tempat di depan sana yang terlihat ramai. Setelah berjalan hampir satu menit di antara pertokoan bergaya arsitektur Eropa lama, akhirnya kami sampai juga, di sebuah air mancur dengan latar bangunan khas Roma lama bergaya arsitektur Baroque yang cukup besar dan megah.

Aku menarik napas sejenak. Kagum. Angin yang bertiup sepoi-sepoi, membuat hati terasa 'ugh'. Ini pertama kalinya aku ke sebuah tempat yang mendapat julukan Benua Biru, karena sebagian besar penghuninya bermata biru. Mataku pun langsung tertuju pada air biru turkois yang mengalir cukup deras, sangat indah. Dibandingkan semuanya aku lebih menyukai suara gemericik airnya.

Kurang lebih dua menit kemudian, aku mengedarkan pandangan ke seluruh tempat itu. Seandainya tidak ada sosok patung mitologi Romawi dan bangunan abad tujuh belas di sana, tempat ini tak bedanya dengan air mancur pada umumnya. Richard tahu, betapa aku sangat menyukai kisah dewa-dewi Roma kuno dan Yunani. Itu selalu mengingatkanku pada dongeng Mama sebelum tidur saat aku anak-anak dan kisah paganisme yang sering diceritakan oleh Papa, ketika aku remaja. Mungkin ini alasan mengapa Richard membawaku ke sini.

Segaris dari tempatku berdiri aku bisa menatap dengan tepat patung dewa Neptunus--pria berotot dengan pakaian minim yang memiliki rambut dan janggut bergelombang--sedang berdiri di bawah sebuah lengkungan. Untuk sesaat aku tertegun, sungguh mengagumi betapa terampilnya tangan si pembuat karya yang detail itu.

Beberapa saat kemudian mataku bergeser ke arah bawah. Ada patung kereta yang ditarik oleh dua kuda laut yang dikemudikan Triton, Sang Dewa Laut dalam kepercayaan mereka. Satu kuda digambarkan jinak sedangkan yang lain, sebaliknya. Mereka mengatakan ini melambangkan suasana hati laut. Aku tersenyum. Mataku kembali tak berkedip beberapa menit untuk menikmati pemandangan itu. Sebenarnya, terasa tak maksimal karena terganggu banyaknya turis yang lalu lalang.

"Do you like it? Apakah tempat ini sudah seperti yang ada di dalam imajinasi kamu?"

Suara Richard membuyarkan konsentrasiku. Lelaki ini kemudian meraih bahuku dan melingkarkan kedua lengannya di pinggangku dari belakang. Mendekap cukup kencang lalu menempelkam pipi kanannya di samping pipi kiriku.


Ikhtisar Islami


"Mana yang aneh? Mana yang gila itu, My Hubby?"

Tidak menjawab pertanyaan, Richard memberiku uang koin euro.

"Untuk apa?" Aku mengerutkan dahi.

"Look at this!"

Richard melempar uang koin di tangannya ke dalam kolam air mancur Trevi. Ternyata ada tradisi menarik berdasarkan mitos di tempat ini: melempar koin menggunakan tangan kanan, melawati bahu kiri dan harus membelakangi kolam. Konon bila seseorang melempar koin satu kali ke dalam Fontana Di Trevi, maka ia akan kembali lagi ke Roma.Ini membuatku teringat pada tradisi di candi Borobudur, dulu. Ya, seseorang harus memegang sesuatu di dalam stupa tertentu untuk make a wish dan akan terkabul. Bagiku ini sangat konyol. Bagaimana mungkin Richard bisa mempercayai hal seperti ini. Oh my god!

"Shireen, throw this coin, please! Ayo lempar koinnya ke kolam."

Richard membujukku melakukan hal sama seperti yang baru saja ia lakukan.

"No."

"It's funny and fun. Kamu harus mencoba. Ayoo!"

"No big deal! Nggak masalah."

Perkataanku yang sungguh tak sesuai sama sekali dengan hati. Kalau saja bukan orang bule, yang kuanggap lebih rasional dariku, aku takkan pernah mau melempar koin yang sia-sia ini. Kulakukan hanya untuk dia, Richard.

Senyum mengembang dari bibir tipis lelakiku di balik syal yang menutupi sebagian wajahnya. Syal, ya, kami harus memakainya. Selain itu juga coat, sepatu boot, celana jeans dan kaos tangan. Ini pertama bagiku, sedikit terasa sesak dan aneh. Meski matahari terlihat terik, tetapi suhu udara tujuh derajat celcius. Ini cukup mendekap paksa tubuh Asia-ku yang tidak resisten dingin.

"Honey, after lempar first koin ini, kamu akan datang ke sini lagi!"

Aku percaya perkataan Richard? Tidak sama sekali, walaupun berharap itu memang akan terjadi.

Setelah koin pertama, kami pun melanjutkan melempar yang kedua. Ini simbol bahwa siapa pun ia, akan mendapatkan kebahagiaan, begitu kata mereka. Lebih konyol lagi!

"Richard, please deh! Stop! Bahagia atau tidak bahagia itu tergantung cara seseorang memandang lalu menyikapi sesuatu. Hidup itu pilihan, bukan teori."

"Yes, of course."

"Terus, untuk apa melakukan ini? Capek, deh!"

"What is capek deh?"

"Terserah kamu maunya apa."

"I don't know what you mean. Saya, tidak mengerti apa? That I said it's crazy! But take it easy. Okay, My love?"

"Oke deh, capek deh, sayur lodeh. Mana koin yang ketiga, entu!" kataku setengah sewot.

Akhirnya kami melempar koin yang terakhir. Kepercayaan setempat meyakini, jika kalian pasangan menikah maka akan mendapatkan cinta abadi, sebaliknya bila masih single maka akan segera menikah. Doa dan impian yang indah. Kali ini aku memilih berkata 'aamiin'.

"Sudah semua. Well done My Man! Ada lagi?"

"No."

Kami pun menikmati cappucino dan cokelat panas di tangan, lalu perjalanan berlanjut ke Trevi Gallery dan sekitarnya.

"Are you happy, Honey?" tanya Richard setelah kami tiba di kamar hotel.

Tidak menjawab pertanyaan Richard, mataku justru melirik makanan di atas nampan yang dibawa oleh seorang pria berpakaian sangat rapi yang sedang melintas. Pizza, classic tiramisu, lasagna dan gelato.

"Grazie," ucapku sambil menganggukkan kepala pada pria itu.

"Prego, piacere di conoscerti," jawabnya sambil tersenyum.

Waduh, dia ngomong apa? Aku membatin.

Antara ingin tertawa dan senang. Aku menduga dia mengucapkan terima kasih kembali, tetapi masak iya sepanjang itu?

Haissh, bodo amat!

"Tentu saja aku bahagia, My Black Horse!" jawabku pada Richard setelah waiter yang berada di dalam kamar kami, keluar. Liur di dalam mulutku serasa sudah tak tertahan lagi melihat makanan lezat di meja sana.

"Thank you, My Lovely."

"Thank you untuk apa?"

"Karena kamu sudah merasa bahagia bersama saya."

"Biasa ajeh, keles!"

Richard tersenyum, aku yakin dia tidak tahu arti kalimat yang baru saja kuucapkan. Selanjutnya dia menatapku dengan tatapan mata yang terlihat sepuluh kali lebih indah dari biasanya.

Bahagia? Bukankah itu wajar. Tempat indah dan makanan lezat, bagaimana mungkin aku tak bahagia? Ini bulan madu kami yang sedikit tertunda setelah pernikahan kami dua bulan yang lalu.

Namun, rasanya aku terlalu happy, bukankah segala sesuatu yang berlebihan tidak seharusnya dilakukan. Entah mengapa, tiba-tiba muncul perasaan tidak enak dalam hati. Apakah ini sebuah firasat? Firasat bur--? Ah, rasanya aku tak ingin merusak hari yang indah ini. I need to save my day.

---

Dua hari setelah sampai di Jakarta.

"Honey, saya harus keluar sebentar," kata Richard sambil mendaratkan kecupan di keningku.

"Ke mana?"

"Saya harus bertemu dengan Jerin."

"Mau ngapain? Jangan lama-lama, yah!"

"Yes. Tidak akan lama, Sayang."

"Kalau lama, aku akan marah."

"Okay."

Punggung Richard menghilang di balik pintu kamar.

*

Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam lewat, tetapi Richard belum kembali. Dia biasa mematikan HP-nya saat menemui seseorang dan menghidupkannya kembali setelah selesai atau on the way pulang. Sampai tepat jam dua belas, ponselnya masih belum menyala. Aku tak nyenyak tidur tanpa dia.

Beberapa kali aku menekan no HP Richard tetapi belum on, juga. Awalnya hanya gelisah, tetapi lambat laun dadaku seolah akan meledak. Aku bangkit dari ranjang, berjalan mondar-mandir kemudian duduk kembali. Kugigit ujung bantal beberapa saat, rasanya sepet. Kesal lalu kulempar. Pikiranku mulai ke mana-mana. Jangan ... jangan, ya, jangan-jangan terjadi sesuatu pada Richard? Ahk ... aku berusaha menepis, menepis, dan menepis. Lelah, akhirnya aku tak ingat apa-apa lagi.

Paginya aku sengaja memasang wajah mendung. Alih-alih merasa bersalah, Richard terlihat seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Setelah aksi tutup mulut beberapa saat, aku tak betah juga.

"Tadi malam pulang jam berapa? Ngapain ajah!?"

Sedikit ketus aku bertanya.

"Hmmm."

Richard tersenyum tipis seperti ditahan lalu menggeleng-gelengkan kepalanya lembut.

"Aku marah! Marah! Marah! Pokoknya maraaah!"

Suaraku terdengar sedikit melengking.

"Please, buka your cell phone My lovely wife," ucap Richard sambil mengunciku dengan pelukan dari belakang.

Ternyata ada dua panggilan tak terjawab dan sepuluh pesan dari Richard.

***


Detik.com


Pagi itu, baik media mainstreammaupun online dipenuhi berita tentang kecelakaan pesawat yang baru dua puluh menit lepas landas dari bandara Soekarno Hatta.

Gelas di tanganku seketika terjatuh. Jantungku pun serta merta berdetak lebih kencang. Tubuhku serasa melayang seolah tak lagi memiliki tulang. Aku mencoba menyangkal. Itu bukan nomor penerbangan pesawat yang dikemudikan Richard.

Ya Allah. Ini sangat menakutkan.

Aku menutup mata dan kedua telinga rapat-rapat. Napasku terasa sesak dan seperti benar-benar tengah berada di tempat yang entah dan ... gelap.

Entah berapa lama aku tertidur, lebih tepatnya tak sadarkan diri. Begitu membuka mata perjalanan bulan madu bersama Richard dua minggu lalu bagaikan layar kaca yang diputar di depan mata.

Apa senyuman dan rasa bahagia yang teramat manis dan indah saat itu yang terakhir? Ya, Tuhan. Apa itu pertanda dia akan pergi selamanya, hari ini?

Yaaa Allah. Ini sangat menakutkan.

Tangan dan dadaku seolah bergetar.

Aku belum siap. Yaa Allah. Aku belum siap.

Bulir hangat luruh dari ujung mataku. Perlahan dan terus ... semakin lama semakin deras.

"Shireen, kamu sudah sadar, Sayang?"

Mama muncul dari balik pintu.

"Maahh."

Aku segera menyambut wanita yang melahirkanku itu. Memeluk, mendekapnya erat lalu tangisku pun pecah di bahu belakangnya.

---

Satu setengah tahun kemudian ....

"My Lovely, kita benar-benar kembali ke Fontana Di Trevi, because of koin pertama, bukan?"

"Oh my God!"

Richard sudah gila.

"You have said, kamu bahagia bersama saya at the time. Because of koin yang kedua, bukan?"

"Oh my God, again!" ucapku dengan menarik bola mataku ke atas. Mungkin terlihat seperti orang bloon.

Memang benar, kami kembali ke Roma dan tempat ini, Trevi Fountain bersama Ahmad Richard Arya Bumi Peter Sanderson, junior. Lima bulan setelah aku melahirkannya.

Mungkinkah? Karena takdirnya harus kembali ke tempat ini, bahagia dan Insya Allah kami akan memiliki cinta abadi seperti kepercayaan yang selama ini begitu diyakini di balik tradisi lempar koin itu, maka Richard selamat dari kecelakaan pesawat satu setengah tahun yang lalu? Ya, pada malam gelisah yang berujung dengan kemarahanku saat itu, ternyata Richard sedang menukarkan schedule penerbangannya dengan Jerin. Dia pulang terlambat akibat macet karena sebuah truk terguling menutupi jalan.

Apakah ini kebetulan? Atau memang ada hubungannya dengan sebuah koin?

Takdir manusia tidak ditentukan di atas tiga koin euro yang dilempar ke dalam sebuah kolam air mancur. Sampai detik ini, aku tetap mempercayai itu.

End.

North Kalimantan, April, 7, 2020
Diubah oleh Puspita1973 14-04-2020 21:46
NadarNadz
zainalserver
nona212
nona212 dan 43 lainnya memberi reputasi
44
2.4K
125
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThreadā€¢41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
Ā© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.