ningkaAvatar border
TS
ningka
[The Longue]Rumah Biru




Foto. Pinterest



Sebuah rumah bercat biru. Beberapa tahun lalu dibeli seorang pendatang, namun baru sehari ditempati mereka sudah pergi. Apa yang terjadi sebenarnya?

Aku tak bisa menggambarkan, seberapa besar rasa takut memenuhi pikiran, di saat melewati rumah tua bercat biru itu. Sebuah bangunan yang nampak tak terawat. Apalagi jika teringat tentang rumor yang beredar, membuat aku semakin takut. Bangunan tua itu dibangun antara luasnya kebun jeruk dan pabrik karung yang telah lama tutup, membuatnya terpencil. Dan tak terjamah.

Kulihat langit sudah beranjak gelap, adzan magrib pasti sebentar lagi berkumandang. Seandainya ban sepeda tidak bocor, tidak mungkin aku berjalan. Motor aku titipkan ke rumah teman, karena tambal ban satu-satunya yang terdekat sedang tutup. Aku terpaksa jalan kaki meskipun jarak ke desaku masih jauh.

Gerimis yang mulai turun, menambah rasa takut semakin menyiksa. Tak lama hujan deras mengguyur. Aku berlari, mencari tempat berteduh. Pohon mangga depan rumah tua itu yang kutuju. Tidak terlalu baik, karena sebagian seragam sekolahku basah terkena tetesan air.

Aku terdiam dengan mata mengawasi sekitar, sambil melipat kedua tangan di dada. Diantara kedinginan dan rasa takut, terus melafalkan doa. Apapun, asal hati tenang dan bisa cepat pulang.

Terdengar suara langkah kaki, seketika aku menoleh. Terlihat perempuan tua menyeret karung yang nampak berat. Dengan susah payah dia berjalan, lewat di depanku tanpa menoleh, hingga masuk rumah itu.

Sejenak aku lega. Meskipun rasa penasaran akan isi karung itu. Terlintas pikiran buruk. Berat, dan besar, apa itu?

"Awww!!" teriakku terkejut. Saat seorang bocah laki-laki yang terlihat pucat berdiri di samping, dengan membawa sebuah payung hitam. Kemudian, dia menarik ujung bajuku. Berusaha menahan tarikannya, tapi suara petir dan gemuruh hujan yang semakin deras, membuat terpaksa mengikuti langkah kecilnya.

Hingga aku memasuki rumah biru itu. Tumpukan sampah dan botol-botol bekas menggunung di halaman. Rasa jijik, takut, menyiksa. Antara ingin berteduh atau lari pulang.

Sampai langkahku terhenti di sebuah ruangan. Seperti ruang keluarga. Ada televisi dan karpet usang di sudut ruangan.

Nenek itu berdiri menatap tajam, kemudian berjalan ke belakang, terus kembali dengan golok besar di tangan. Ngeri, itu yang terlintas pertama kali. Kulihat dia berkeliling mengambil sesuatu di salah satu sudut rumah. Sebuah batu asah di genggamanya.

Suara golok saat diasah terdengar mengusik hati. Aku beringsut perlahan, rasa takut kembali terasa. Dengan gemetar kulirik golok besar itu. Hanya berusaha membaca situasi.

"Bantu aku!" seru Nenek itu. Aku bergidik ngeri. Hingga tubuhku tetap diam di tempat.

"Ayo!" Suaranya menyadarkan aku kembali.

Dengan perlahan mendekat, mengamati karung yang isinya tercetak berbentuk bulat. Dengan hati-hati menyeret karung itu ke belakang. Berat. Hingga peluh membasahi tubuh.

Susah payah terus menyeret, sampai aku terjatuh. Membuat isi karung itu keluar. Aku menahan napas sejenak, tercekat, saat terlihat benda bulat hitam menggelinding. Tak peduli apapun aku langsung berteriak dan berlari. Keluar, hanya itu yang ada di pikiran. Menerobos pintu, dan berlari di bawah guyuran hujan.


@@@

Aku bangun dengan badan terasa remuk redam. Kulihat sekeliling tampak wajah-wajah cemas di sekitarku. Ayah, Ibu juga ada Pak Ustad yang duduk di ujung ranjang.

“Syukurlah, kamu sudah bangun,” ucap Ibu sambil mendekat dan dengan susah payah membantu aku duduk. Disodorkan segelas air kemudian aku menyesapnya perlahan.

“Saya pulang dulu.” Aku menoleh pada sumber suara. Terlihat Pak Ustad berdiri dan keluar kamar diantar Ayah.

Aku terdiam menatap sekeliling kamar. Perasaan aneh dan bingung menyerangku, hingga aku hanya menoleh kanan kiri tak jelas. Rasa heranku semakin bertambah saat terdengar suara orang berbincang-bincang cukup ramai, seperti di teras depan. Kulihat jam di dinding menunjukkan pukul empat pagi.

“Sepertinya ada banyak orang di depan, Bu?” tanyaku pada Ibu.

“Mereka itu para tetangga yang bantu mencarimu?”

Kemudian Ibu menceritakan semuanya. Biasanya magrib aku sudah pulang sekolah setelah ikut bimbingan belajar. Namun, setelah ditunggu sampai jam delapan malam, belum juga pulang. Hingga Ayah mencari ke beberapa teman, dan sampailah di rumah temanku. Saat tahu sejak sore sudah pulang, mereka langsung panik dan mencariku beramai-ramai.

“Jam dua dini hari tadi, kamu ditemukan tak sadarkan diri di kuburan,” jelas Ibu kemudian.

“Di kuburan, kok bisa? Seingatku, tadi berteduh di rumah biru. Seorang nenek dan anak kecil yang mengajakku.” Ibu terlihat terkejut mendengar penjelasanku.

“Rumah biru dekat pabrik itu?” tanya Ibu. Aku hanya mengangguk tak mengerti.

“Rumah itu sudah kosong lama.”

“Terus nenek tadi siapa?”

“Ibu tidak tahu. Rumah itu angker, bahkan banyak orang yang lewat diganggu. Menurut cerita, pemilik rumahnya dulu seorang anggota PKI, dan sebagai eksekutor membantai orang yang tidak sepaham dengannya. Dan dibelakang rumah itu ada sumur tua tempat membuang jasad korban.”

Aku seketika bergidik dan menarik selimutku.

“Ibu ke dapur dulu, mau membuatkan kopi Ayah,” pamit Ibu keluar kamar.

Sekarang aku sendiri di kamar, memilin ujung selimut sambil meredakan rasa takut yang masih memenuhi pikiran. Berkali-kali melihat pintu kamar berharap Ibu segera datang. Hingga rasa lelah di badan membuatku terlelap lagi.

@@@

Suara gesekan parang bersahutan. Aku tersudut sendiri di kamar dengan badan menggigil ketakutan. Bau anyir darah menyerbak, membuat mual seketika.

Melihat sekeliling terutama tempatku berpijak penuh dengan darah yang mulai mengering. Aku mundur perlahan, mendekati jendela yang nampak terbuka. Dengan mengumpulkan keberanian naik ke kusen, melongok ke bawah. Baru sadar bahwa berada di lantai dua.

Terdengar suara anak kunci membuka pintu, membuat badanku semakin gemetar. Apalagi saat terdengar pintu yang didorong dari luar. Dengan terpejam, aku melompat.

“Alisha, kamu kenapa?” Aku membuka mata dengan badan yang basah karena peluh yang menetes di tubuh. Kulihat Ibu jongkok di sampingku.

“Kamu mimpi buruk, ya?” tanya Ibu lagi. Aku mengangguk. Dan baru menyadari telah jatuh di lantai.

“Mereka, seperti mengejarku, Bu?”

“Berdoa terus, Ibu akan temani kamu.”

Ibu menuntunku ke atas ranjang. Dan ikut berbaring di sampingku. Meskipun begitu, rasa takut dan bayang-bayang itu belum hilang. Bahkan masih terngiang ucapan nenek tadi, “Parang ini butuh darah."


Sumber. Oprim
Diubah oleh ningka 18-03-2020 05:36
pulaukapok
senja87
franssinaga
franssinaga dan 21 lainnya memberi reputasi
22
2.7K
78
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.