rinafryanie
TS
rinafryanie
[Cerbung] Aşkim, Hayatim (My Love, My Life)


Part 1. Di Bawah Langit Istanbul


Kupandangi seraut wajah beriris mata cokelat dengan alisnya yang tebal di layar ponsel. Sorot mata yang tajam namun teduh seolah menjanjikan perlindungan. Akan tetapi sama sekali aku tak pernah membayangkan jika punya pacar atau suami berjambang seperti yang sedang kutatap ini. Geli dan aneh saja rasanya.

"Pokoknya lo gak bakalan nyesel kalo udah ketemu dia." Dengan antusias Ayla mempromosikan lelaki yang akan dikenalkannya kepadaku.

"Ah, terang aja karena dia masih saudara lo!"

"Gue berani taruhan, lo bakalan jatuh cinta sama dia."

"Gak semudah itu, Ndut!"

"Gue kasih tantangan buat lo kalo prediksi gue bener."

"Apaan? Traktir makan?"

"Nggak! Lo seneng liat badan gue tambah melar, ya? Gue tantang lo naik balon udara di Cappadocia!"

"Anjrit! Gila, lo ya? Lo kan tau gue takut ketinggian!"

Kulempar sendal bulu kelinciku ke tubuh Ayla yang gempal. Ayla berlari meninggalkanku sambil tertawa.


Setiba di tanah Istanbul, aku tinggal bersama kakakku dan istrinya. Mereka sudah dua tahun hidup di pusat sejarah peradaban Islam di dunia ini. Kak Fahri memang bekerja sebagai pengajar bahasa Inggris di salah satu Primary School. Sebenarnya aku ingin kos, namun kakakku tak mengizinkan. Ia khawatir bila aku jauh darinya.

***

Segera kulipat mukena setelah salat Magrib di Masjid  Ortakoy.  Aku tak mau telat. Sengaja kupilih masjid ini karena lokasinya tak jauh dari kafe tempat janjian bertemu. Kutinggalkan masjid tua peninggalan sejarah masa kejayaan Sultan Abdul Majid bernuansa pink itu. Bergegas menuju gerbang masjid, tak lupa kusempatkan berswafoto. Agenda wajib yang tak bisa kulewatkan begitu saja dalam perjalananku di negeri ini. Tanpa meng-edit dulu, dengan penuh percaya diri segera kuunggah ke akun Instagramku.

Tatapanku liar mencari sosok  yang akan menemuiku, sesuai dengan pesan  yang  kuterima dari WhatsApp tadi siang. Ciri-ciri fisik yang sudah digambarkan belum tertangkap pandanganku. Hmm, tampaknya ia belum datang.

Di kafe tepi laut yang lumayan ramai dikunjungi, aku duduk menghadap lautan. Panorama malam dengan semarak cahaya lampu dari Bosphorus Bridge, jembatan penghubung benua Asia dan Eropa yang membelah wilayah Turki itu sungguh menakjubkan. Belum pernah kunikmati pemandangan malam seindah ini.

Udara dingin dan angin pantai sesekali mengibaskan ujung hijab yang menerpa wajahku. Kunjunganku kali ini tepat di penghujung musim dingin, sehingga tubuhku sedikit menggigil diserta gigi menggemeletuk. Mantel tebal pun tak cukup membuatku merasa hangat. Aku belum terbiasa dengan perubahan cuaca di negeri orang.

Segelas mungil Cay, teh Turki beraroma khas berada dalam genggaman mengalirkan hangatnya ke tubuhku. Sepotong simit, roti berbentuk donat besar kupesan sekadar pengganjal perut.

Aku penasaran dengan usaha Ayla untuk mengenalkan familinya yang berada di negeri para sufi ini. Ingin tahu saja seberapa keren ia seperti yang Ayl bilang. Kalau lihat di foto profil WhatsApp-nya sih lumayan. Senyum dan tatapannya itu yang mungkin menarik. Ah, Ayl-ku ada saja ulahnya sama adik iparnya ini. Aku tahu Ayl ingin aku segera mendapat jodoh. Ia juga tak mau aku larut dalam kesedihan karena baru saja putus dengan Haikal. Padahal aku justru merasa terbebas setelah meninggalkannya.

Kulirik jam digital di ponsel sudah lewat angka 7.00 PM. Untuk membuang rasa jenuh, kubuka Instagramku. Oh, ternyata sudah banyak komentar  follower yang rata-rata sahabatku di Jakarta. Kubaca satu persatu komentar konyol mereka, lalu kubalas sambil tertawa geli.

Iyi akşamlar.” Terdengar suara berat menyapa dalam bahasa Turki, cukup mengagetkanku. Kuangkat wajah dari layar ponsel.

Iyi akşamlar, selamat malam!” balasku terkesima menatap seraut wajah tampan  di hadapanku.

”Nazhira?” tanyanya. Kuanggukan kepalaku.

“Emir?” Aku balik bertanya. Ia tersenyum lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

“Sudah lama menunggu?” tanyanya dengan aksen Indonesianya yang kaku. “Maaf, agak macet di perjalanan.”

“Nggak apa-apa, aku belum lama juga kok,” jawabku sambil mempersilakan duduk.

        Sejenak kami terdiam, sedikit grogi dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Ya Tuhan, ternyata ia lebih keren dari foto yang kulihat di WA-nya. Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri. Tak sia-sia usaha kakak iparku kali ini.

“Umm ... aku mau pesan minuman, barangkali Nazhira mau nambah, bisa sekalian kupesankan.” Tawaran Emir berhasil memecah kebekuan  diantara kami.

“Oh enggak, terima kasih, ini sudah cukup,” jawabku gugup. "Oya, panggil aku Naz aja."

       Kuperhatikan dari sudut mata ketika ia menyesap kopi Turki pesanannya. Sekilas wajahnya mengingatkanku pada aktor terkenal Turki Sukru Özyildiz ketika berperan di drama seri Nefes Nefesi.Gagah dengan jambang tipisnya. Matanya itu ....

“Ayla bilang kamu tinggal di rumahnya,  suaminya itu kakakmu, bukan?” Ia kembali membuka percakapan.

“Betul, Kak Fahri itu kakak kandungku,” jelasku. “Oya, Ayla bilang apa saja tentang diriku?”

“No, kami belum banyak bercerita. Yang kutahu, Naz kuliah di sini dan kunjungan kali ini hanya untuk registrasi. Karena Naz akan kembali ke Jakarta mempersiapan dulu keperluan. Itu saja sih. Betul, nggak?"

Fyuhh! Lega rasanya napasku. Yang kutakutkan Ayla bercerita macam-macam. Secara ia paling banyak tahu segalanya tentang aku. Ya, aku dan Ayla bersahabat sejak di bangku SMP. Kami selalu bersama kemanapun pergi, juga teman saling curhat. Sementara itu kami terpisah karena ia dipersunting Kak Fahri setelah menyelesaikan S1-nya, dan diboyong ke negeri ini. Sedangkan aku lanjut mengajar di salah satu SMA swasta di Jakarta. Kebetulan sekali aku lulus mendaftar kuliah S-2 lewat Burslari, yaitu program beasiswa yang ditawarkan pemerintah Turki. Aku tak mau sia-siakan kesempatan emas ini.

“Apa benar kamu pernah tinggal di Indonesia?” tanyaku.

“Betul, aku bahkan lahir dan tinggal di sana sampai usiaku 10 tahun. Babam dulu memimpin perusahaan batubara milik kakekku di Kalimantan. Kemudian bertemu Annem, menikah dan lahirlah aku serta adikku Aisha. Saat perusahaan mengalami kemerosotan, Babam melepasnya dan memboyong kami kembali ke Turki.” Kemudian ia melanjutkan kisah masa kecilnya saat di Indonesia.

“Pantas saja masih fasih berbahasa Indonesia,” sambungku.

“Tapi jujur saja, aku pasti lupa andai Annem tak menggunakannya lagi. Untungnya sesekali ia berbahasa Indonesia, apalagi kalau sedang marah atau ngomel-ngomel,” ceritanya sambil terbahak. Aku pun ikut tertawa mendengarnya.

      Suasana beku diantara kami mulai mencair. Ternyata ia cukup menyenangkan. Kuteguk çay-ku yang hampir habis dan  berubah dingin, sementara Emir asyik menikmati baklava.

“Simit-mu kenapa tak dihabiskan, Naz?” tanyanya melirik roti didepanku.

“Tadinya aku pengen cicipin dolma, tapi nggak ada di daftar menu, jadi terpaksa kupesan simit,” jawabku.

“Di tempat ini yang terkenal enak itu kumpir sama waffle, juga es krim,” jelas Emir. “By the way,  tahu dolma dari mana?”

“Dari drama seri yang suka kutonton,” jawabku. “Aku penggila drama Turki."

“Oya? Kamu penggemar drama Turki?Sudah nonton apa saja?"

“Lumayan banyak sih, tapi yang paling kusuka Kara Sevda sama Erkenci Kus."

"Aku heran, apa sih yang membuatmu tertarik?” tanyanya  penasaran.

“Aktornya ganteng-ganteng!” jawabku dengan spontan.

“Berarti kamu suka sama cowok Turki. Ya, kan?" Ia mulai berani menggoda.

“Iya! M-maksudku ...." Aku menahan ucapanku karena  malu. Ah Naz, ah! Andai ini siang mungkin pipiku akan jelas merona merah.

“Sudah malam.” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan sambil menengok jam di layar ponsel.

“Ok, besok kita cari dolma kalau memang kamu penasaran,” ujarnya seraya beranjak dari kursi. “Sekarang sudah cukup malam, kuantar kamu pulang.”


       Di tempat parkir, Emir membukakan pintu mobil sport hitamnya untukku. Setelah bersandar nyaman, kutarik safe belt untuk kupasang mengikat tubuhku. Akan tetapi,  beberapa kali kutarik talinya tak juga  terulur, sepertinya macet. Melihat aku dalam kesulitan, Emir berusaha membantuku. Saat ia meraih lalu menarik gesper, lengannya tak sengaja melingkari perutku. Ia memiringkan tubuh hingga wajahnya hampir menyentuh wajahku. Di saat itu jantungku berdegup kencang. Aliran darahku seakan terhenti dan napasku tertahan seketika. Aroma tubuhnya terhirup dan embusan napasnya terasa hangat di pipiku. Aku tak berani bergerak karena jarak yang begitu dekat. Andaikan kupalingkan mukaku sedikit saja, wajah kami pasti beradu. Dari sudut mata, terlihat jelas helai demi helai rambut halus menghiasi rahang dan dagunya yang kokoh. Sempat pula kutangkap saat matanya memperhatikan wajahku agak lama. Tatapannya yang lembut seakan menjelajahi seluruh bagian di wajahku. Aku hanya bisa menelan saliva. Oh My God! Apa yang sedang terjadi dengan diriku?   Kalimat istighfar berulang-ulang kurapalkan dalam hati. 

       Setelah sabuk pengaman terpasang dengan baik, Emir mulai menghidupkan mobil. Sepanjang jalan kami terdiam, tak sepatah kata pun terucap. Mungkinkah ia sibuk dengan pikiran dan perasaannya atas kejadian beberapa saat tadi, seperti diriku?

Hanya saja di tengah perjalanan, beberapa kali dering panggilan dari ponsel Emir memecah keheningan. Anehnya Emir selalu menolak panggilan itu. Sekali lagi ponsel itu berbunyi, jiwa kepoku muncul. Penuh penasaran diam-diam kulirik nama yang tertera di layar itu. Zeyda! Sepertinya itu nama perempuan.

Kali ini Emir menjawabnya, namun dengan nada kesal. Kudengar percakapan mereka dalam bahasa Turki, ia meninggikan suaranya dengan raut wajah berubah tegang. Tampaknya ia sedang marah dengan lawan bicaranya. Lalu siapakah Zeyda? Apa hubungannya dengan Emir?

        Mengapa tiba-tiba ada rasa tak enak dalam hatiku, seperti ada rasa kecewa atau sakit? Ah, kenapa aku jadi memikirkannya? Itu bukan urusanku! Kenal juga baru saja dan ... siapa aku di hadapannya?  Tahu diri dong, Naz!

       Tiba di rumah kakakku, Emir turun lebih dulu, kemudian membukakan pintu mobil dengan santun.

“Maaf aku tak bisa ikut masuk dulu, sepertinya mereka sudah tidur,” ujarnya perlahan.

“Nggak masalah, terima kasih sudah mengantar,” jawabku.

“Sampai ketemu besok!” ujarnya “Oya, aku siap mengantarmu kemanapun kamu mau, tapi selepas kerja. Kalau weekend  aku siap menemanimu  seharian, itupun kalau kamu mau.”

“Dengan senang hati,” sambutku girang. “Itupun kalau tak merepotkanmu.”

“Enggak! Aku malah senang bisa membantumu selama di sini, dan ...  aku pun ingin mengenalmu lebih dekat.” Ia berusaha meyakinkan. Di kalimat terakhir,  suaranya merendah hampir berbisik, membuatku tergetar.

“Baiklah, besok siang kukabari. Teşekkurler!” ucapku seraya berterimakasih.

“Ok, tamam!  Iyi geceler!” Ia melambaikan tangannya sambil masuk ke mobil.

“Iyi geceler!” Kubalas lambaian tangannya.

"Assalamualaikum!” ucapnya sekali lagi sebelum mobilnya bergerak.

Waalaikumsalam!” jawabku masih berdiri menunggu sampai kendaraannya hilang dari pandangan.

       Setelah salat Isya, kurebahkan tubuh lelahku setelah seharian mengunjungi beberapa tempat di kota Istanbul. Terbayang lagi semua kejadian yang kualami saat pertemuanku dengan Emir. Aku membenamkan senyumku di bantal.
Wajah mirip Sukru Özyildiz itu masih menari-nari di pelupuk mata. Senyum dan tatapannya masih tak mau pergi.

Sambil berusaha pejamkan mata, aku berdo’a semoga semua bisa  terulang  dalam mimpiku malam ini. Ah, tak sabar rasanya menunggu pagi datang.

***


Iyi askamlar  : selamat malam
Iyi geceler  : selamat malam (larut)
Anne / Annem : Ibu/ Ibuku
Baba/ babam  : Bapak/ Bapakku
Abi  : Kakak laki-laki
Abla/ Ablacim : kakak perempuan/ Kakak perempuanku sayang
Tamam : okay
Teşekkurler : terima kasih
Diubah oleh rinafryanie 05-04-2020 14:28
faridatul.aabahekhubytsanypulaukapok
pulaukapok dan 47 lainnya memberi reputasi
44
4.4K
126
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.