Mitos Jawa dan Mistis Jawa

Keranda, alat pengusung jenazah biasa ditempatkan di tengah makam. Lagian mana ada rumah warga mau ditempati keranda.

Sore itu, kira-kira pukul 4, Pak Darmo ke makam. Sebagai juru kunci salah satu tugasnya menyapu dan membersihkan makam di kampungnya, pinggiran kota Bantul.

Malam Jumat Kliwon. Tidak seperti hari-hari biasanya. Di hati Pak Darmo ada perasaan yang tidak enak. Deg-degan. Jantungnya berdetak tak karuan. Entah kenapa?

Di tengah-tengahnya lagi mengumpulkan dedaun kering yang mau dibakar, kuping Pak Darmo menangkap suara di belakang punggungnya.
Krusuk ...! Krusuk ...!
Pak Darmo menoleh ke belakang. Matanya mengedar ke seluruh sudut makam. Lengang. Tidak ada-ada sesuatu. Pak Darmo meneruskan aktivitasnya membakar dedaunan.

Tiba-tiba ada hembusan angin yang menyergap tengkuknya. Bulu kuduknya berdiri.
'Aneh, aku sebagai juru kunci makam ini, kenapa merasa merinding begini,' gumam Pak Darmo dalam hati.

Krusuk ... krusuk ...! Terdengar suara daun-daun yang bergerak. Pak Darmo berdiri, "Sial ...! Kucing rupanya, bikin kaget saja," gerutu.

Mendung hitam bergulung dari Utara. Angin dingin berembus. Suasana semakin mencekam. Pak Darmo pun bersiap-siap untuk pulang. "Pulang, ah. Besok lagi tinggal sedikit. Hanya tersisa di dekat keranda," ucap Pak Darmo.

Matanya tak sengaja melihat ke tempat keranda. Seperti tidak percaya, keranda itu bergerak. Pak Darmo mengucek-ucek matanya, jangan-jangan. Ternyata keranda itu benar-benar bergerak tetapi tidak ada yang menggerakkan.

Dengan tubuh yang gemetar Pak Darmo terus mengamati pergerakan keranda itu. Keranda itu makin kencang bergerak maju mundur. Dan ... wuuus! Keranda itu terbang berputar-putar di atas makam.


gambar: kerandajenazah.com


Pak Darmo melotot melihat kejadian itu. Tubuhnya bergetar menahan takut. Saking takutnya, keluarlah cairan dari selangkangannya. "Tolong ... tolong ...!"
Sambil berteriak Pak Darmo berlari menuju kediamannya yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari kompleks makam.

***

"Bangun ... bangun, Pak! Ada apa, Pak!" Bu Darmi panik. Ia berusaha membangunkan suaminya dengan mengguncang-guncangkan tubuh Pak Darmo yang tidur sambil teriak-teriak.
Pak Darmo terbangun dan terduduk, tubuhnya basah oleh keringat, celana pun basah.
"Hhaaah ...!" Pak Darmo menghembuskan napas sambil kedua tangannya mengusap wajah. Mukanya tampak pucat.

"Makanya, kalau petang-petang jangan tidur. Gini kan akibatnya. Nih, diminum!' Bu Darmi memberikan segelas teh hangat kepada Pak Darmo yang masih setengah sadar. "Mimpi apa sih, Pak, sampai segitu takutnya?" ucap Bu Darmi.
Pak Darmo meminum teh hangat tersebut.
"Gawat, Bu. Bener-bener gawat!'

"Gawat apanya, Pak. Mbok yang jelas ta, kalau ngomong." Bu Darmi penasaran sekaligus takut.
"Aku ngimpi ke-keranda di makam kampung kita terbang di atas kampung. Itu pertanda akan terjadi akan terjadi bencana, wabah, pagebluk di kampung kita."

"Ah, Bapak ada-ada saja. Takhayul, percaya begituan. Mitos itu, Pak," ucap Bu Darmi membantah.

"Waktu kecil, bapakku, mertuamu. Dulu juga jadi juru kunci seperti aku. Beliau juga pernah bermimpi keranda terbang dan benar saja, kampung ini terjadi pagebluk. Semua petani gagal panen karena diserang tikus."

"Semoga kita tidak mengalami hal buruk itu, Pak. Asal kita selalu berbuat baik dengan sesama juga selalu mendekat dengan Tuhan. Insha Alloh, aman dunia akhirat. Aamiin. Sudah, sana buruan mandi terus salat Magrib!"

***

gambar: an-najah.net

Selang dua minggu setelah kejadian mimpi Pak Darmo, masuk bulan Ruwah atau satu bulan sebelum bulan Puasa. Di bulan Ruwah ada tradisi 'nyadran' yang dilakukan warga masyarakat di kampung Pak Darmo. Nyadran adalah sebuah tradisi membersihkan makam dan mengirim doa-doa untuk para leluhur yang dilaksanakan seluruh warga kampung dengan kenduri.

Mungkinkah, dengan tradisi nyadran yang mampu mengusir wabah pagebluk seperti yang dicemaskan Pak Darmo sebagai juru kunci makam kampung. Tiada yang tahu. Dan hanyalah Tuhan yang tahu dan yang telah berkehendak.

Tamat

Bantul, 29 Maret 2020