yundamassayu18Avatar border
TS
yundamassayu18
Misteri Tukang Pijat
“Mas, di sini ada tukang pijat, gak? Badan rasanya remuk semua,” tanya Yati pada suami tersayang. Dia baru seminggu melahirkan anak pertamanya, setelah sempat tiga kali mengalami keguguran.

“Mas aja yang mijit, gimana?” Aji mengerlingkan mata dengan genit pada istrinya. Biasanya juga ia yang memijat saat wanita itu kelelahan.

Oeek!

Terdengar tangisan Kusuma, bayi yang baru berusia kurang lebih 7 hari.

“Tuh, Kusuma aja gak setuju. Katanya kalau Bapaknya yang mijit nanti keburu punya adek lagi.” Yati ngedumel seraya mengambil Kusuma untuk disusui. Tampaknya bayi itu kelaparan setelah hampir 1 jam ia tertidur.

“Kusuma pinter, ya! udah bisa menghasut Ibu.” Aji mendekati sang istri, kemudian membelai rambut anaknya yang belum genap satu bulan. Bahkan denyut di ubun-ubun Kusuma masih terlihat.

“Kusuma jaga Ibu dulu, ya, Nak! Bapak mau ke kamar Nenek, mau nanyain tukang pijit yang bisa dipanggil ke sini,” imbuh Aji.

Yati tersenyum, senang sekali rasanya memiliki suami yang tanggap permintaan istri.

“Jangan lama-lama, Mas. Aku takut … mendungnya kebangetan. Kamu tahu, kan, kalau aku takut hujan deras dan geluduk.” Yati merengek, bak anak kecil yang tak mau ditinggal sendirian.

“Iya, Sayang. Mas, kan, cuma ke kamar belakang bukan keluar rumah,” ujar Aji lembut seraya mendaratkan kecupan di kening istrinya.

“Bu … Ibu ….”

Aji memanggil ibunya. Tidak ada jawaban, walaupun pintu kamar itu sudah diketuk berkali-kali. Kemana Ibu? Mungkin saja sedang salat. Ibu wiritnya memang panjang dan sangat fokus. Dia tak mau mengganggu.

Aji memutar otak untuk mencari alternatif pada siapa ia bertanya perihal tukang pijit. Lalu, tanpa memberi tahu istrinya, lelaki itu pergi ke rumah tetangga yang jaraknya kira-kira 50 langkah ke kanan. Cukup jauh. Maklum, rumah di kampung transmigrasi —desa Banjar Sari pulau Enggano, Provinsi Bengkulu—belum begitu banyak.

Sampailah Aji ke rumah yang dituju. Diketuknya pintu berbahan kayu yang telah usang.

Assalamualaikum, Bude,” panggil Aji dari luar. Sampai panggilan ketiga baru ada jawaban.

Itu rumah Bude Sri Juminten. Dia tinggal sendirian, suaminya telah meninggal 2 tahun yang lalu karena serangan jantung. Anaknya hanya satu; Eka, tinggalnya di Kota Bengkulu. Jaraknya 12 jam dari pulau ini.

“Iya.” Bude Sri menjawab dengan suara berat dari dalam, tanpa membuka pintu. “Ada apa, Ji?” imbuhnya lagi.

Aji terperangah. Bagaimana caranya Bude Sri tahu kalau yang datang itu adalah dirinya? Bahkan tanpa perlu membuka pintu. Namun, mungkin wanita tua itu mengenali suara Aji. Akan tetapi ... bukankah Aji sangat jarang pergi ke rumah itu? Entahlah.

“Nganu, Bude. Yati, istriku minta dipijat. Bude masih bisa mijat ke rumah, tak? Aji ingat kalau dulu Bude sering dipanggil ke rumah-rumah tetangga sini buat mijat.” 

‘Garr!’

Suara petir tiba-tiba menggelegar. Hujan mulai turun. Aji melompat karena teekejut. Sejenak kemudian ia meringis karena tak membawa payung apalagi jas hujan.

‘Ngiit’

Pintu terbuka. Aji mengintip dari luar, terlihatlah Bude Sri yang tengah duduk di kursi. Masih seperti dulu, wanita berusia sekitar 65 tahun itu memakai kain dan baju kutu baru. Hanya saja kali ini bajunya berwarna hitam. Aji mengingat dalam diam, kalau tidak salah usia perempuan tua itu sekitar 65 tahun.

“Masuklah …,” ajak Bude Sri. Suara beratnya lirih, tetapi seakan berbisik di telinga Aji. Spontan. Bulu kuduk lelaki beranak satu itu meremang.

“Iya, Bude.” Aji melangkah masuk. Matanya tak bisa dikendalikan. Langsung saja menatap banyak hal. Di antaranya memandang atap rumah yang terbuat dari seng; ternyata sudah bolong di sana-sini. Setengah dinding rumah ini terbuat dari semen dan separuh lagi  berbahan kayu. Sementara lantai dilapisi oleh semen, warnanya kusam dan penuh debu. Aji juga mengedarkan pandangan ke setiap sudut. Tidak ada perabot di rumah ini, kecuali sebuah meja kecil dan kursi yang sedang diduduki oleh Bude Sri.

Di dinding, terpajang foto perempuan. Aji mengenali sosok itu. Eka, teman masa kecil, putri semata wayang Bude. Selain itu, dinding juga dihiasi dengan sarang laba-laba.

Ruangan tengah di mana Aji dan Bude Sri duduk, terasa pengap. Bebauan yang bercampur-baur. Untunglah lelaki itu seorang pembuat tahu dan tempe. Sudah biasa menangani limbah yang baunya cukup menyengat di hidung. Jadi, bebauan tak sedap di rumah Bude Sri masih bisa diatasi.

Sejenak, tak ada percakapan. Aji terpaku saat memperhatikan Bude yang begitu fokus melihat foto Eka dari tempat duduknya. Pastilah nenek ini sangat merindukan anaknya.

Aji perhatikan wajah si perempuan tua  terlihat sangat pucat. Matanya ... tak bisa digambarkan. Tatapan yang begitu tajam, dan … mengerikan! Buru-buru lelaki muda itu memalingkan wajah, menatap hujan yang mulai reda di luar sana.

“Bude bisa ke rumahmu setelah Magrib. Kamu boleh pulang sekarang sebelum hujan kembali deras,” perintah Bude Sri. 

“Iya, Bude,” jawab Aji dengan senang hati. Apalagi ia telah mengantongi kesediaan tukang pijat itu. Berdiri dengan tegap, ia kemudian permisi pulang. Di luar sana hari telah gelap. Mendung yang menyelimuti langit memperburuk keadaan.

***

Assalamualaikum …,” ucap Aji tergesa-gesa menerobos pintu rumahnya yang tak terkunci.

Aneh. Rumah dalam keadaan gelap. Biasanya, listrik hidup di malam hari dengan bantuan genset dari rumah Pak Mul sampai dengan jam 00.00. Masing-masing rumah penduduk di kampung itu membayar setiap bulan pada keluarga itu, mirip cara kerja PLN. Setelah lampu listrik dari Pak Mul padam, dilanjutkan dengan lampu tenaga surya hingga pagi.

Namun, malam ini, entah apa sebabnya sehingga lampu tidak menyala. Mau bertanya pada Pak Mul rasanya tak mungkin. Rumahnya cukup jauh, kira-kira 150 langkah ke kiri dari rumah ini. Mau menghubungi via handpone? Sinyal telepon seluler ada, tapi sangat susah. Tidak mungkin juga mencari sinyal dalam kondisi gelap.

“Hiks … hiks .…” Aji dikejutkan dengan tangisan. Itu pasti Yati! Kakinya melangkah sepanjang mungkin agar bisa sampai ke kamar. Lelaki itu kemudian menghidupkan senter dari ponsel miliknya.

“Dek ….” Aji menemukan Yati tengah menangis di ranjang sambil memeluk Kusuma.

“Sstt … Mas sudah disini, Sayang,” ujar Aji seraya mendekap istrinya.

Sejenak kemudian, dia menyalakan korek api guna menghidupkan lampu teplok yang selalu disiapkan di dinding. Lampu sudah menyala, pencahayaan dirasa cukup. Yati pun sudah terlihat tenang.

“Ajii …!” gantian suara Ibu yang terdengar melengking memanggil anaknya.

Lelaki yang disebut namanya berlari ke sumber suara. Ibu sudah tua, dalam keadaan gelap, bisa jatuh atau menabrak sesuatu dengan alat itu. Rasa berdosa menyeruak dalam dada, seharusnya tadi dia menghampiri ibu dahulu sebelum Yati.

“Ibu …” Aji memanggil dari luar kamar. Bagaimana caranya bisa masuk ke dalam? Tanpa pikir panjang, Aji mendobrak pintu kamar.

Syukurlah, ibunya dalam keadaan baik-baik saja. Mungkin wanita itu tak nyaman dalam gelap. Aji kemudian menyalakan lampu teplok di kamar kecil tersebut.

Sementara itu, dari luar rumah langit sepertinya menyambung tangis. Hujan deras kembali dan diselingi dengan petir yang menggelegar. Angin yang bertiup membanting jendela hingga menimbulkan suara yang berisik. Aji berlari menutup kaca jendela yang berada di seberang kamar ibu.

Akan tetapi, saat Aji berdiri di sana, dari kaca terlihat bayangan—sosok yang mirip ibu—tengah berdiri di depan pintu. Sempat ia merasa gembira, tetapi sebentar saja berubah menjadi bingung yang bercampur kengerian.

Apa? Ibu berdiri? Ke mana kursi rodanya? Bulu kuduk Aji semakin berdiri tegak.  Bagaimana mungkin ibunya berdiri sementara wanita itu sudah lumpuh sejak beberapa bulan yang lalu.

Aji meneguk ludah, membasahi tenggorokan yang sangat kering. Perlahan, dia memberanikan diri menoleh ke belakang. Ternyata ….

Quote:


Quote:


Quote:


Quote:


Part 6
Susan tetangga ujung desa, merasa perutnya melilit. Kepala janin seperti akan mendobrak jalan lahir yang masih buntu. Wajahnya ditekuk, bak kertas origami yang sudah dibuat beberapa pola. Keringatnya mengucur deras dari setiap sudut rambut.

Pasien Bu Lia mengalami pecah ketuban, padahal usia kandungan baru 7 bulan. Bidan desa itu mandi keringat membantu persalinan yang prosesnya tiba-tiba berjalan sangat lancar. Hanya 2 jam setelah Pak Mul pulang ke rumahnya.

Saat bayi itu lahir, dalam cahaya temaram, Bu Lia menangkap bayangan makhluk berbadan merah melintas di kamar. Akan tetapi, kehadiran makhluk itu tak lama. Sekejap setelah bayi menangis, dia menghilang.

Bu Lia cemas, tetapi kecemasannya berkurang melihat suami Susan mengambil bayi yang telah dibersihkan dan mengazankannya. Paling tidak, bayi itu lebih aman dibanding Kusuma.

Kusuma? Apa kabar dia? Pikiran kalut Bu Lia kembali ke peristiwa puluhan tahun lalu.
***

"Jauhi Sri Juminten, Lia!" tak bosan Pak Kep, tetangga Lia, mengingatkan.

"Mbak Sri itu orangnya baik banget, Mas. Setiap hari dia datang ke rumah buat mijatin Lia. Masa harus Lia jauhin?" Lia tak mau dilarang tanpa alasan yang jelas. Tetangganya terlalu berlebihan, berprasangka buruk, padahal Sri Juminten yang dimaksud sangat suka berbuat baik.

"Mul! Nasihati istrimu, jangan sampai sudah kejadian, baru menyesal!" Pak Kep geram. Tanpa permisi, dia pulang ke rumahnya. Mungkin mengadukan perihal ini pada Bu Anik. Sebenarnya mereka tetangga yang paling perhatian dengan Lia dan suaminya. Baru kali ini berpolemik seperti begini.

Setelah ribut kecil itu, Lia dan suami juga bertengkar hebat. Disebabkan Lia ketahuan akan membawa anaknya ke rumah Sri Juminten saat magrib. Perbuatannya dipergoki oleh Mul yang baru pulang setelah salat magrib di masjid.

Lia mengamuk saat ditangkap, seakan kesetanan melempar segala benda ke arah suaminya. Meraung, sorot mata merah, berubah menjadi beringas! Mul hampir kewalahan. Tetangga  berdatangan karena mendengar kebisingan, mereka membantu mengikat Lia di kursi.

"Lepaskan! Buka! Bukaa!" Lia meronta, badannya membuat kursi sedikit terangkat.

Mul lari ke rumah Pak Kep, bersujud memohon bantuan. Lelaki tua yang disegani di kampung itu akhirnya datang. Dibacakannya mantra sakti, membuat Lia lemas seketika dan sadar diri.

Beberapa hari disekap, baru ketahuan kalau Lia dalam kondisi sakit parah. Seluruh badannya memar, yang diikuti muntah darah. Mul cukup putus asa melihat kondisi Lia. Dia labil, sangat gampang dipengaruhi.

Pak Kep dan istrinya datang membantu, berusaha menyelamatkan mereka dari pengaruh Sri Juminten. Sri Juminten bukan orang sembarangan, sangat susah ditakhlukkan. Dibangun tembok tinggi yang mengelilingi keluarga dari bayi yang diinginkan sekalipun tidak akan menyurutkan langkahnya.

Lia dibuat terus-terusan menderita, supaya Mul terus sedih dan kebingungan. Saat itulah makhluk gaib dikirim, untuk mempengaruhi Mul dan Lia menyerahkan anaknya di tengah malam saat bulan purnama sedang bersinar terang.

Pak Kep gerah, menemukan tetangganya menghilang, lalu dengan tangan kosong mendatangi rumah Sri Juminten. Mendobrak pintu rumah perempuan itu dengan kakinya.

"Kamu menyalahi aturan, Sri! Tidak diajarkan oleh Datuk kita cara-cara seperti itu!" hardik Pak Kep yang menangkap basah Sri Juminten telah menggendong Bagas. Lia dan Mul duduk ketakutan di lantai dalam posisi tangan dan kaki yang terikat.

"Kemampuanmu payah, Mas! Tak sama denganku," sindir Sri tanpa melirik Pak Kep sedikit pun. Matanya menatap lekat pada bayi tampan dalam dekapan.

Terasa seperti terbakar jantung Pak Kep mendengar ucapan wanita muda di depannya.

"Kurang ajar! Percuma punya ilmu tinggi, kalau kelakuanmu hina!" cecar Pak Kep. Darahnya mendidih dilecehkan adik sepupunya.

"Pulanglah, Mas. Aku tak mau melukaimu. Apa kata nenek moyang kita kalau sampai menciderai saudara sendiri," bujuk Sri Juminten pada lelaki yang sengaja datang mencari ribut.

"Cuih!" Pak Kep meludah ke samping. "Aku lebih baik terluka daripada membiarkanmu menyakiti orang lain!" Pak Kep maju, siap menyerang dengan jurus maut, tetapi Sri Juminten hanya tertawa.

Rupanya makhluk gaib yang datang menghadapi Pak Kep. Terjadilah perkelahian. Lelaki tua itu memohon lindungan Gusti Allah, di samping melakukan perlawanan fisik. Alhamdulillah, beliau mampu membuat makhluk itu kewalahan, bahkan nyaris terbakar.

"Maas! Jangan sakiti dia! Aku janji berubah, Mas." Sri Juminten menjerit histeris. Dia berlutut, memohon agar Pak Kep melepas makhluk peliharaan kesayangannya dengan alasan makhluk itu dititipkan Datuk mereka untuk dijaga.

"Tiga tahun lalu, saat suamimu meninggal, aku bersumpah untuk menjagamu. Jadi, jangan sampai aku mengingkari janji karena membuatmu celaka." Pak Kep memberi ampun, tetapi dengan syarat Sri tidak mengganggu ketentraman masyarakat lagi.

Anak Mul selamat, namun kondisinya tak terlalu baik. Anak itu mengalami gangguan bicara.

Tingkah buruk Sri Juminten ternyata tak berhenti sampai di situ. Beberapa tahun setelahnya satu demi satu bayi di desa itu mati di tangannya. Semua dilakukan untuk menambah kekuatan dan memberi makan genderuwo. Siapa yang menghalangi, tak akan selamat. Saking beringasnya, Sri Juminten hampir saja membunuh cucunya sendiri.

Warga menjadi ketakutan. Satu per satu keluarga mulai pindah ke desa lain, bahkan ada yang tak mau lagi tinggal di pulau ini. Itulah sebabnya mengapa sedikit sekali penduduk desa Banjar Sari.

Pak Kep semakin tua, tak sanggup meladeni manusia keji itu. Terakhir, beliau malah dianiaya makhluk mengerikan peliharaan Sri Juminten karena berusaha menghalangi niat buruk mereka, bahkan anak gadisnya pun ikut menjadi korban.

Pak Mul merasa sedih, lalu memberanikan diri datang, bernegosiasi, meminta Sri Juminten menyudahi kekejamannya. Tak disangka, kepasrahan dan kelembutan lelaki itu membuat Sri menyudahi aksi jahatnya. Apalagi wanita itu merasa sangat bersalah karena telah membunuh saudaranya sendiri.

Sejak saat itu, Sri Juminten tidak praktik sebagai dukun berbagai penyakit. Dirinya hanya fokus menjadi tukang pijat panggilan dari rumah ke rumah. Tidak di desa itu, dia memijat ke desa lain lantaran di sana banyak yang trauma akan kehadirannya. Dia juga lebih sering meninggalkan rumahnya, menemui anak dan cucu di kota Bengkulu.

Desa kembali aman selama 1 dasawarsa. Bu Lia bergidik mengingat peristiwa masa lalu yang kelam dan mengerikan. Oleh karenanya, di saat situasi kembali mencekam seperti sekarang ini, dia merasa terpanggil untuk membantu.

"Ibu sudah mau pulang sekarang?" Suami Susan membuyarkan lamunan Bu Lia.

"Iya. Bapak dan Ibu, saya mohon, tolong jaga Susan dan bayinya. Jangan ditinggal, walau cuman 1 detik," Bu Lia mengimbau orang tua dan mertua Susan. Rasanya tak mungkin menjelaskan perihal makhluk gaib yang tadi dilihatnya di rumah ini.

Berangkatlah Bu Lia menuju rumahnya. Di perjalanan hatinya tak tenang, seakan ada sesuatu yang buruk tengah terjadi. Dia meminta suaminya Susan untuk ngebut saja, biar cepat sampai di rumah.

Sampai di rumah dalam keadaan letih. Bu Lia meminta suami Susan untuk pulang saja, istrinya lebih membutuhkan dampingan. Pintu diketuk beberapa kali tetap tidak ada jawaban. Bu Lia semakin tak tenang. Lolongan anjing terdengar dari kejauhan semakin menambah kecemasan dalam hati.

Rupanya pintu tak terkunci, lalu dia pun menyusup ke dalam. Rumah sepi, debaran jantung seolah mengiringi langkah Bu Lia. Decak Cicak yang bertengger di dinding memecah fokus.

Bu Lia masuk ke dalam kamar, mencari keberadaan sang suami. Hampa, dia tak menemukannya, lalu dia melangkah ke belakang. Tak ada juga jejak suami tersayang.

Langkah kaki Bu Lia hampir masuk ke ruang yang dijadikan sebagai klinik. Rasa haus tak menundanya untuk masuk ke sana. Hening. Tak terdengar apapun dari ruangan itu, meskipun hanya dengkuran.

Bu Lia berkeringat, perasaannya sungguh tidak enak. Rasa ragu bertumpuk di dada, tangannya sudah memegang gagang pintu. Buka atau tidak? Ditempelkannya telinga di daun pintu, siapa tahu bisa mendengar suara.

Bu Lia menggigit bibir, rasa takut mengalir dalam darah. Andai saja ada suami, tentu dia jauh lebih berani. Dihelanya napas dalam-dalam lalu dihempaskan ke udara. Apapun yang terjadi, dia harus berani. Ditekannya gagang pintu, lalu dibuka perlahan.

'Bip!'

Lampu padam, di saat langkah kaki sudah masuk ke ruangan, dan belum sempat melihat sesuatu di dalam sana. Kepala Bu Lia berdenyut, memberi sinyal tidak nyaman. Napasnya tersengal, ketakutan menjalar ke seluruh sendi.

"Aji?" Bu Lia memanggil seseorang yang mungkin bisa diandalkan.

"Mbak?" Bu Lia juga memanggil Ibu, karena tak mendapat jawaban dari Aji.

Bu Lia merapat ke dinding. Tangannya menelusuri jalan, dia ingat di mana lampu darurat dipajang. Baru 2 langkah berjalan, tiba-tiba ....

Diubah oleh yundamassayu18 15-03-2020 05:18
69banditos
bonita71
arieaduh
arieaduh dan 43 lainnya memberi reputasi
44
36.7K
191
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.