handayani.tika
TS
handayani.tika
Kumpulan Cerpen by handayani.tika



1. NATHAN

Aku duduk menekur memandang cangkir teh yang sudah kehilangan uap panasnya. Suara ketukan ranting pohon di jendela dapur terdengar berderak menyeramkan, ditingkahi oleh suara angin yang mendesau. Kualihkan pandangan ke arah jendela, lalu mendesah lirih.

Biasanya dia selalu menemaniku. Kami berbincang hingga larut malam di meja dapur sambil menyesap secangkir teh hangat. Saat mata sudah semakin lelah, kami bergandengan tangan menuju peraduan, kemudian terlelap sambil berpelukan.

Masih teringat jelas olehku satu bulan yang lalu. Dia berpamitan sore itu untuk membeli persediaan susu yang habis. Aku berusaha melarang karena gerimis yang mulai menderas. Namun, dia tetap bersikeras untuk pergi mengayuh sepedanya menuju minimarket terdekat. Kupandangi punggungnya yang menjauh dengan perasaan entah.

Satu jam kemudian, petugas berseragam datang mengetuk pintu depan. Membawa kabar bahwa Mas Arya--suamiku tercinta--menurut saksi mata, melompat dari jembatan yang di bawahnya terdapat sungai yang berarus deras saat musim hujan seperti sekarang ini. Sepeda dan kantong belanjaan yang berisi susu tergeletak di pinggir trotoar.

Keesokan harinya, jenazah suamiku ditemukan tersangkut di antara bebatuan. Setelah melewati serangkaian pemeriksaan saksi dan autopsi, disimpulkan kematiannya murni bunuh diri.

Bunuh diri? Namun, kenapa? Bukankah kehidupan keluarga kami selama ini sangat berbahagia? Suamiku sangat menyayangi aku dan putra semata wayang kami--Nathan. Kariernya bagus dan kami juga tidak punya masalah finansial yang berarti. Lalu kenapa dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu?

Nathan sangat terpukul. Bocah sebelas tahun itu begitu lengket dengan Ayahnya. Baru-baru ini Mas Arya bahkan menjanjikan untuk pergi liburan menghabiskan penghujung tahun ke Pulau Dewata. Janji yang tidak akan pernah ditepatinya.

Aku kembali menghembuskan napas berat, kemudian bangkit dari kursi dan bersiap untuk mencuci gelas kotor. Tiba-tiba terdengar jeritan dari kamar Nathan. Sontak cangkir teh terlepas dari peganganku, menghantam wastafel menimbulkan bunyi berkelontangan.

Aku segera berlari ke kamarnya dan menerobos masuk. Menemukan Nathan duduk di pinggir tempat tidur dengan wajah basah oleh air mata. Aku memeluk tubuhnya yang kuyup akan keringat. Mimpi buruk kerap mendatanginya semenjak kejadian itu.

"Ibu ... Ayah sendirian dan kesepian." ungkapnya gemetar dalam pelukanku.

"Sshhh ... itu hanya mimpi, Sayang. Sekarang Ayah sudah tidur tenang. Kita harus tetap melanjutkan hidup, Nak." Aku merangkum wajahnya lalu mengecup lembut kening putraku itu.

"Ta-tapi, Bu. Kata Ayah ...." Nathan tidak kuasa melanjutkan kata-katanya.

"Sudahlah, Nathan. Ayo kita tidur. Ibu temani, ya," tukasku sambil mengatur selimut untuk kami berdua.

****

Paginya, aku membuatkan pancake kesukaan Nathan untuk sarapan. Tanganku sigap membagikan piring di atas meja, kemudian dengan mata yang tiba-tiba terasa panas, menarik lagi satu piring yang terlanjur tergeletak di tempat suamiku biasanya duduk menikmati sarapannya.

"Bu, apakah Ibu pernah memimpikan Ayah?" Nathan bertanya tanpa menatapku, dengan tangan sibuk memotong pancake di piringnya.

"Tidak pernah, ibu rasa," jawabku jujur. Memang, Mas Arya tidak pernah hadir dalam mimpiku, meski aku begitu merindukannya.

"Ayah selalu datang dimimpiku, Bu. Setiap malam." Matanya terlihat menerawang.

"Mungkin karena engkau terlalu merindukan Ayahmu," jawabku sambil lalu. Tanganku kembali sibuk membolak-balik pancake di wajan.

"Jadi, Ibu tidak rindu Ayah? Itu sebabnya Ayah tidak pernah datang dimimpi Ibu?" cecar Nathan.

Aku tersentak, kemudian membalikkan tubuh kembali menghadap Nathan. Putraku itu menatap lekat. Aku tersenyum kemudian membelai lembut rambutnya.

"Ayo cepat habiskan sarapanmu. Sebentar lagi bus jemputan datang."

***

Keesokan sorenya, Nathan mengajakku berkeliling dengan mengendarai sepeda. Jantungku berdetak kencang ketika Nathan tiba-tiba mengarahkan sepedanya ke arah jembatan tempat ayahnya meregang nyawa.

Nathan meletakkan sepedanya begitu saja di pinggir trotoar, lalu bersandar di besi jembatan yang berkarat. Pandangannya terpaku ke arah sungai yang menderum. Aku hanya mengikuti dan berdiri goyah di sampingnya.

"Ibu tahu? Dalam mimpiku Ayah selalu mengeluh kesepian dan minta ditemani." Nathan berkata dengan suara lirih sambil terus menatap sungai yang airnya bergelora.

"Sudah berapa kali ibu bilang Nathan, itu hanya mimpi!" Aku berkata keras. Bahu Nathan sedikit tersentak mendengarnya.

Kurengkuh tubuh bocah tampan yang tingginya hampir menyamaiku itu ke dalam pelukan. Sesaat kami hanya terdiam. Gerimis mulai hadir berupa tetesan kecil. Aku meminta Nathan untuk mengambil payung kecil di keranjang sepedaku. Nathan mengambilnya sambil berlari kecil.

Nathan menyerahkan payung itu, lalu berjongkok di depanku sambil membetulkan tali sepatunya, kemudian mendongakkan wajahnya menatapku lurus.

"Kata Ayah, selama ini dia tidak bahagia, Bu. Ayah juga bilang, Ibu terlalu mengatur hidupnya sehingga dia merasa muak."

Aku terhenyak mendengar ucapan Nathan. Itu semua tidak benar!

"Ayah memintaku untuk menemaninya, tapi aku tidak bisa. Maukah Ibu yang menemani Ayah di sana?" Nathan menatapku tajam. Mata bocah itu terlihat aneh dengan lingkaran hitam di bawahnya. Kontras dengan kulitnya yang pucat.

"Ma-maksudmu apa, Nak?" Aku berusaha mencerna setiap perkataannya.

Nathan perlahan bangkit. Mendekatiku dan berbisik di telingaku.

"Ayah tidak akan berhenti mendatangiku dalam mimpi jika dia masih terus kesepian, Bu. Kumohon pergilah, temani dia."

Nathan lalu dengan sekuat tenaga mendorongku hingga separuh tubuhku terangkat dengan kaki menggapai udara kosong. Payung yang kupegang serta merta terlepas.

Aku mencengkeram erat kedua tangannya, mencoba berpegangan. Napasku terengah ketakutan.

"Nathan ... ibu mohon, jangan lakukan ini, Sayang." Aku mengiba kepada putraku itu.

"Pergilah, Bu. Tolong temani Ayah!"

Setetes air mata bergulir di pipi Nathan. Lagi, dengan satu dorongan keras darinya, akhirnya tubuhku terjungkal jatuh ke bawah jembatan. Air sungai yang dingin dan bergemuruh menyambutku dengan suka cita.

Pandanganku timbul tenggelam ketika sungai itu menyeret tubuhku menjauh. Sekelebat tampak sosok Nathan melambaikan tangannya dari atas sana. Baiklah, Nak, jika itu kemauanmu. Ibu ikhlas menemani ayahmu di sana.


Nantikan cerpen lainnya ya, GanSis!
Diubah oleh handayani.tika 24-02-2020 11:49
annuumakolanona212
nona212 dan 41 lainnya memberi reputasi
40
6.8K
244
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.