NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Cilaka ! Omnibus Law Menyulut Badai PHK !
Spoiler for PHK:


Spoiler for Video:


Omnibus Law adalah konsep baru yang akan diterapkan dalam perundang-undangan di Indonesia. Pada intinya, regulasi dalam konsep Omnibus Law adalah membuat satu undang-undang baru untuk mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus.

Pertama kali akan diterapkan di Indonesia bukan berarti kali pertama diterapkan di dunia. Konsep ini juga dikenal dengan Omnibus Bill dan sering digunakan di negara yang menganut sistem common law, seperti AS dan Kanada. Luasnya cakupan dari Omnibus Bill memperkecil celah bagi kritikan dan perdebatan. Secara historis, Omnibus Bill kadang digunakan untuk menerbitkan amandemen yang kontroversial. Sehingga tak jarang beberapa pihak berpendapat bahwa Omnibus Bill sebagai konsep yang anti demokrasi.

“Are omnibus bills anti-democratic? No doubt about it” – Lorne Gunter (Jurnalis Toronto Sun)

Begitu pula dengan Omnibus Law yang akan diterbitkan pemerintah, RUU Cipta Kerja. RUU Cipta Kerja dimanfaatkan untuk menerbitkan amandemen yang kontroversial, khususnya pada bagian ketenagakerjaan dan lingkungan hidup.

RUU Cipta Kerja dikabarkan akan menyebabkan tingginya angka pemutusan hubungan kerja. Padahal sebelum draf RUU tersebut disahkan, PHK besar-besaran saja telah terjadi di Indosat, Bukalapak, NET TV, Krakatau Steel, PHK Massal di Batam dan Surabaya, dan industri tekstil.

Sumber : Detik[Badai PHK Sudah Tiba, dari Indosat hingga Krakatau Steel]

Indosat Oredoo telah melakukan PHK terhadap lebih dari 500 karyawannya. Mendengar kabar tersebut, Presiden Serikat Pekerja Indosat R Roro Dwi Handayani mengatakan pihaknya akan terus mendampingi dan membela karyawan yang terkena PHK, lantaran PHK yang dilakukan perusahaan tidak beralasan. "Kami yakin tidak ada celah hukum untuk memaksakan PHK bagi karyawan yang tidak bersedia menerima penawaran PHK, apalagi mereka selama ini tidak ada masalah kinerja," katanya.

Pihak Indosat melalui Director & CEO Ahmad Al-Naema beralasan melakukan pemutusan kerja karena tengah melakukan perubahan organisasi perusahaan. Ia mengklaim perusahaan telah fair dalam memberlakukan kebijakan tersebut.

Sumber : CNN Indonesia [Indosat Ooredoo PHK 500 Karyawan]

Kasus PHK di perusahaan telekomunikasi seperti Indosat mengingatkan kita pada keinginan Menteri BUMN Erick Thohir menginginkan PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) lebih baik tidak ada dan Telkomsel sebagai anak perusahaan PT Telkom dijadikan sebagai BUMN. Keinginan tersebut ia ungkapkan lantaran dividen PT Telkom sebagian besar disumbang oleh Telkomsel yang merupakan anak usahanya.

Maka kita pun bisa menduga bahwa setelah Indosat, PT Telkom turut akan PHK para karyawannya.

Sumber : Okezone [Erick Thohir Kritik Telkom, Telkomsel Diusulkan Jadi BUMN]

Bukan Cuma Indosat yang telah mem-PHK karyawannya secara massal. Langkah ini juga pernah dilakukan Bukalapak pada tahun 2019 lalu. Pihak manajemen Bukalapak menyebutkan bahwa PHK pada karyawan sebagai upaya restrukturisasi. Ternyata kabar Bukalapak melakukan PHK telah menyebar di kalangan karyawan 3 bulan sebelumnya. Namun saat itu kabar tersebut hanya berupa rumor.

Hal yang menarik untuk turut disimak, saat itu pihak pemerintah meresponnya dengan menyatakan bahwa langkah perusahaan seperti itu adalah suatu hal yang wajar sesuai dengan dinamika bisnis.

Sumber : Detik [Bukalapak PHK Karyawan, Ini 6 Fakta di Baliknya]

Hal serupa pun pernah dilakukan NET TV dan Krakatau Steel (KS) dalam rangka restrukturisasi. Bahkan Krakatau Steel telah memberhentikan 2.683 karyawan kontrak dari 9 vendor di lingkungan PT KS pada 2019 lalu.

Begitu juga dengan perusahaan-perusahaan padat karya yang ada di daerah seperti di Batam dan Surabaya, serta beberapa perusahaan tekstil. Di Batam 2.500 orang kehilangan pekerjaan karena dua pabrik milik PT Foster Electronic Indonesia dan PT Unisem Batam ditutup. Sedangkan di Surabaya, terjadi PHK 2.000 pekerja perusahaan rokok.

Mari kita bayangkan, dengan regulasi yang berlaku saat itu saja telah terjadi PHK besar-besaran. Apalagi ketika nanti RUU Cipta Kerja disahkan yang telah mengubah Pasal 151 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Yakni menghapus bagian yang mengharuskan tiap pihak yang terkait mengusahakan agar PHK tidak terjadi.

Draf RUU Cipta Kerja juga menghapus Pasal 152, yang berbunyi:  "Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya". Draf RUU Cipta Kerja justru memasukkan satu pasal baru yang disebut pasal 151 A yang berisikan beberapa kriteria tidak perlu adanya kesepakatan dalam PHK. Seperti pekerja dalam masa percobaan.

Sumber :  Kompas [Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Pekerja Lebih Rentan Di-PHK]

Kita semua bisa bayangkan apa yang terjadi ketika RUU Cipta Kerja tentang Ketenagakerjaan diterapkan. Akan banyak perusahaan lain yang mengikuti langkah Indosat, Bukalapak, NET TV, Krakatau Steel, maupun perusahaan padat karya lainnya di Indonesia mem-PHK para karyawannya.

Hal lain yang menjadi persoalan dalam RUU Cipta Kerja adalah masalah lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut banyak kekonyolan dalam RUU Cipta Kerja. Manager Kajian Kebijakan Walhi Boy Even Sembiring mengatakan pada 14 Februari 2020 lalu, ada pengurangan beberapa norma pertanggungjawaban hukum korporasi dalam RUU Cipta Kerja.

Berdasarkan Pasal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH): Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Namun dalam draf RUU Cipta Kerja, pasal itu diubah. Pihak yang bertanggung jawab nantinya harus melalui proses pembuktian terlebih dahulu.

Selain itu ada pula penghapusan ruang partisipasi publik seperti yang tercantum dalam Pasal 93 UU PPLH untuk mengoreksi atau menguji izin lingkungan dan atau izin usaha melalui Peradilan Administrasi (PTUN). Oleh karena itu Walhi menilai RUU Cipta Kerja hanya memperhatikan dan mengakomodasi kepentingan bisnis.

Padahal Pasal 88 UU PPLH yang diubah di RUU Cipta Kerja digunakan pemerintah untuk menjerat para perusak dan pembakar hutan. Bahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengantongi putusan dengan nilai ganti rugi dari perusak atau pembakar hutan senilai Rp 18 triliun.

Sumber : Detik [Pasal 'Sakti' Penjerat Pembakar Hutan Dihapus di Omnibus Law, Walhi: Konyol!]

Berdasarkan berbagai paparan di atas, maka kita dapat ambil pertanyaan. Apakah yang sebenarnya dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan Indoensia (Kemnaker)? Apabila RUU Cipta Kerja diterbitkan nantinya, maka hal ini justru bertentangan dengan fungsinya, yakni meningkatkan penempatan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja.

Begitu pula dengan isu lingkungan. Apabila RUU Cipta Kerja diterbitkan, tentu perusak atau pembakar hutan tidak akan mengganti rugi sebanyak yang telah ditetapkan oleh peraturan sebelumnya. Bagaimana dengan komitmen dari KLHK yang fungsinya sesuai dengan namanya? Tentunya fungsi mereka sebagai penyelenggara kebijakan di bidang kelestarian lingkungan hidup dan kehutanan jadi dipertanyakan.

Ketika kita melihat RUU Cipta Kerja yang kontroversial seperti ini dan atas persetujuan dari Menaker dan Menteri LHK, maka tak menutup kemungkinan kedua Menteri tersebut akan direshuffle bukan?
Diubah oleh NegaraTerbaru 18-02-2020 09:49
anasabila
sebelahblog
4iinch
4iinch dan 16 lainnya memberi reputasi
13
10.1K
200
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.