• Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Psikolog Barat: Beberapa Penyebab Rasa Rendah Diri Akut dan Antisipasi Sederhananya

onee643
TS
onee643
Psikolog Barat: Beberapa Penyebab Rasa Rendah Diri Akut dan Antisipasi Sederhananya
Pernahkah merasa down? Tentang apa saja. Pasti pernah. Namanya juga manusia, dan perasaan seperti ini juga lumrah, manusiawi, dan perihal normal. Selanjutnya, ada kalanya kita merasa tidak ada apa-apanya daripada seseorang di seberang sana, bahasa sederhananya mulai membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Masih normal dan manusiawi.

Tapi jika perasaan ini berkelanjutan, secara konstan menghantui hidup, pada titik tertentu kita mulai menyakiti diri sendiri, dan secara langsung maupun tidak bisa menyakiti orang lain karena perasaan tersebut, para psikolog ternama mengatakan, mungkin seseorang itu mempunyai inferiority complex.


Merasa sedih, tidak berharga, rendah diri, merupakan perilaku normal, tapi kalau sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, cara berpikir,bisa menyakiti diri sendiri dan orang lain sekitar, ada yang perlu diwaspadai, sumber gambar daily.jstor.org

Everyday health pernah menyebut, banyak dari orang yang membandingkan diri sendiri dengan teman sebayanya, kemudian merasa rendah diri, karena teman sebaya tersebut mencapai level tertentu yang belum bisa dicapai oleh seseorang tersebut.

Bagi orang yang normal, pencapaian seseorang di seberang sana dapat menjadi pemacu agar dia mau berusaha, melakukan yang lebih baik lagi, dijadikan sebagai pemacu diri untuk berintropeksi dan mengusahakan sesuatu yang positif agar terjadi perubahan dirinya.

Lain lagi dengan orang yang kecenderungan ada inferiority complex di mindset nya, dia bisa terbenam dalam rasa keputusasaan, prestasi dalam kehidupan juga bisa menurun karena muncul ketidak kepercayaan diri, dan pada titik tertentu berikutnya, jelas fakta seperti ini berbahaya untuk kehidupannya.

Padahal, bahan yang mengganggu pikirannya ini hanyalah sesuatu yang sederhana, baik sesuai realita, ataupun hanya berangkat dari imaginary, sekelumit imajinasi, delusi, berangkat dari prediksi.

Alana Barlia, seorang psikolog dari New York, menyebut inferiority complex yang dialami seseorang bisa berangkat dari beberapa hal, salah satunya karena kebiasaan lingkungan waktu dia masih kecil, misalnya waktu dia masih kecil dibesarkan di keluarga yang terbiasa komunikasi "negatif" daripada kalimat-kalimat verbal yang konotasi positif dan bisa support psikis sang anak.


Makin muda umur seorang anak, otaknya gampang banget menyerap segala fenomena sosial di sekitar, bahkan bahasa verbal sederhana pun langsung menancap di pikirannya, ada kemungkinan hingga dewasa, sumber gambar exploringyourmind.com

Faktor keluarga ini bisa orang tua, saudara kandung yang lebih tua, kembaran, saudara-saudara lain, dimana sering kali secara verbal pemilihan kosakata nya lebih menanamkan stereotip di pikiran sang anak yang mengandung makna negatif, kata-kata yang bisa menumbuhkan sekelumit perasaan seperti "saya tak berharga", orang lain lebih mampu daripada saya, saya tidak kreatif, saya pasti tidak bisa melakukannya, saya lebih rendah daripada orang lain, dan sederet mindset lain yang menunjukkan ketidakmampuan dirinya dalam beberapa bidang.

Misalnya pada anak kembar, salah satu anak rajin, berprestasi di sekolah, lalu yang satunya belum begitu bisa mencapai level seperti anak yang pertama, padahal mereka kembar dan seumuran pastinya, tapi karena kondisi keluarga suka membandingkan, dan banyak mempersalahkan salah satu anak yang yang kurang bisa berprestasi seperti anak satunya tersebut, identik dengan pemilihan kosakata verbal yang cenderung malah merusak psikis, bisa jadi si anak ini akan menyalahkan dirinya, menyalahkan ketidakmampuannya, akhirnya pada waktu dewasa karena terbiasa dengan menyalahkan dirinya dan yakin bahwa dia tidak mampu seperti orang lain, dia menjadi minim prestasi, kurang percaya diri, pada level tertentu suka putus asa.

Kamu nggak bisa ya nilainya matematika bagus seperti kakakmu? Gimana sih kamu harus lebih rajin belajar!

Si anu, anak tetangga kita, dia bisa mendapatkan rangking 4 di sekolahnya, kamu masa cuma ranking 28? Mama nggak suka kamu seperti ini, Mama malu, percuma Mama kasih uang jajan kamu sebulan satu juta.

Kalau makan dihabisin, lihat itu adik kamu, kalau makan selalu bersih, kamu dibilangin kok nggak bisa, kamu pasti nggak bakalan bisa jadi orang sukses.

Kalau pada masa kecilnya sudah tertanam stereotip, berangkat dari sejuta kosa kata berkonotasi negatif di pikiran, kebayang kan bagaimana nanti ketika dia sudah dewasa? Kata-kata yang sejenis seperti di atas, dikonsumsi secara rutin, hari ke hari bulan ke bulan tahun ke tahun. Makanya para pakar psikolog setuju, faktor eksternal yang bisa menggiring seseorang mempunyai sindrom ini terutama dari keluarga, minimal dari orang-orang terdekat. Beberapa pakar psikolog setuju, ada masa otak anak kecil bener-bener pure, dan harus dijauhkan dari mengkonsumsi hal yang negatif, sekitar umur dibawah 6 tahun.

Seperti kita saja,siapa tahu pernah mengalami kejadian yang menyakitkan waktu kecil, atau menyeramkan, bisa ingat hingga dewasa bahkan menjadi trauma tersendiri.

Ada kemungkinan faktor yang kedua kenapa seseorang bisa mengidap penyakit 'kejiwaan' ini. Bisa jadi disorder ini datang waktu kita sudah dewasa, lepas dari umur anak-anak, karena suatu momentum besar yang sudah dilewati, tapi ada clash di sana, misalnya seperti kita memasang target, lalu karena suatu kondisi yang unpredictable target itu gagal, padahal kurang satu langkah sedikit lagi kita bisa mendapatkannya.


Stress melulu dalam jangka waktu yang lumayan, berakumulasi pada kemungkinan merasa rendah diri berkelanjutan, sumber gambar eventbrite.co.uk

Misalnya gagal dalam meraih pekerjaan yang diinginkan, bisa jadi seorang remaja yang tidak lulus sekolah, dan orang-orang yang merasa susah untuk bergaul di dunia sosial.

Seseorang mengeluh karena mencari pekerjaan kesana kemari belum dapat juga, pada level orang normal, dia bisa berusaha terus meskipun agak down, bahkan mencoba usaha kecil seperti bisnis. Bagi sebagian kecil orang, bisa dihitung jari, momentum semacam ini mampu memberikan rasa putus asa pada hatinya, saya tidak bisa mencari kerja, tidak ada yang mau sama saya, rasa putus asa ini bisa menggiringnya ke perilaku lain yang negatif.

Seorang anak yang gagal lulus sekolah, tanpa ada support dari orang tuanya untuk bangkit dari kubangan kesalahan tersebut, maupun dukungan dari teman di lingkar sosialnya, bisa jadi dia putus asa, merasa rendah diri, merasa tidak mampu melakukan ini dan itu, takut mencoba sesuatu yang positif karena sudah terbayang bayang kegagalan, kisi-kisi macam ini harus di support agar tidak menghantui kehidupan dia melulu.

Bisa jadi seorang pebisnis, kala berbisnis ini dan itu gagal terus, kalau orang normal pasti akan selalu mencoba, instropeksi dan menempuh hal baru, berdasarkan wacana yang dia gali, beda dengan orang yang mempunyai sindrom di atas, dia bisa meringkuk di pojokan kamar, dihantui perasaan "saya tidak akan pernah bisa berbisnis karena gagal terus".

Faktor ketiga, orang dengan sindrom ini bisa terjadi ketika dia dalam kondisi physical defect, alias ada kekurangan dalam segi fisik, bisa diidentikkan dengan cacat tubuh. Orang yang tidak mempunyai tangan di bagian kirinya, memang sejak lahir, bisa jadi dia bangkit, membuat banyak prestasi, cuek terhadap kekurangannya, meskipun awalnya berat tapi lama-lama terbiasa, akhirnya mengukir prestasi.


Mempunyai cacat fungsional tubuh seperti memegang pedang, dia bisa melukai diri kita sendiri atau bisa digunakan untuk defensif, pemacu semangat hidup, agar survive di kehidupan, sumber gambar whatweseee.com

Berbeda dengan orang lain yang mempunyai kondisi sama, tapi dengan kekurangannya itu membuat dia rendah diri, merasa tidak mampu seperti orang lain, pada level parah membuatnya putus asa. Bisa tergambar kan bagaimana nantinya orang seperti ini? Kasihan. Belum apa-apa sudah merasa tidak mampu, diberi pembelajaran untuk mengukir prestasi belum apa-apa sudah termaktub pikiran saya tidak akan bisa.

Physical defect tidak hanya itu saja, termasuk orang yang memang kesulitan berbicara, entah lidahnya kenapa, dia juga bisa mengalami dua sisi seperti yang orang tidak punya tangan tersebut, satu sisi ada orang yang bisa bangkit, sisi lainnya ada orang yang bisa merasa rendah diri dan berputus asa dalam hidup.

Tapi tidak hanya cacat tubuh,bisa saja orang yang wajahnya berjerawat banyak banget, akhirnya tidak percaya diri di kehidupan sosial, malah berimbas kepada pembentukan kepribadian yang "enggan tampil di publik", jika dibiarkan malah kontribusi sifat rendah diri.

Faktor keempat, kondisi seseorang yang yang mengidap sindrom seperti ini bisa disebabkan karena dia lahir di kondisi sosial disadvantage. Misalnya seseorang yang lahir di keluarga sangat miskin, atau lahir di lingkungan yang melakukan diskriminasi terhadap ras tertentu, atau secara kode etik sosial dia terlahir di suatu masyarakat yang melakukan diskriminasi juga terhadap gender tertentu.

Jadi orang miskin bisa minder kepada orang lain yang dianggap level di atasnya. Jika sebagian orang menjadikan apa perbedaan ini sebagai alat untuk membangkitkan kemampuan diri, bisa jadi sebagian kecil orang malah terpuruk, menganggap nasib tidak bisa dirubah, terkungkung dengan rasa putus asa.

Kalau masalah ras mungkin pernah dialami oleh beberapa orang negro di Amerika di mana dulu pernah ada momen orang berkulit hitam benar-benar didiskriminasi oleh kebanyakan orang asli berkulit putih di sana. Tidak mendapat pelayanan kelayakan pendidikan, posisi politik seperti orang lain, dan sejuta diskriminasi lain.

Masalah gender, bisa dilihat pada kehidupan masyarakat Arab pada zaman dahulu, di mana sebelum diutusnya the last prophet, mempunyai anak wanita merupakan aib, keluarga bisa mengubur hidup-hidup anak yang baru lahir jika berkelamin wanita. Adapun yang sedikit dibiarkan hidup, misalnya karena strata sosial keluarga yang menyelamatkan hidupnya, diskriminasi besar-besaran pasti terjadi mengingat jenis kelaminnya wanita.


kalau tantangan zaman sekarang misalnya seorang ibu, yang notabene wanita, jika kode etik sosial masyarakatnya lebih cenderung terbiasa dengan wanita di rumah, entah ini di negara tertentu atau daerah tertentu, kemudian sang wanita terpaksa berkarir di luar, psikis dia akan mendapat tekanan, mungkin zaman milenial ini sudah biasa, tapi berpuluh tahun lalu tidak sama seperti sekarang keadaannya, sama seperti struktur masyarakat, baik stereotip yang berkembang, dan kebijakan pemimpin kala itu, sumber gambar anationofmoms.com

Seperti juga pada masa Firaun, ada masa dimana seluruh bayi laki-laki dibunuh, karena sang raja memimpikan penggulingan kekuasaan oleh seseorang yang lahir di daerah tersebut.

Contoh lain bisa jadi seorang laki-laki yang lahir di antara kaum Amazon, kalau di televisi digambarkan kaum Amazon kan cewek semua. Aduh serius amat sih bacanya.

Nggak melulu di zaman dahulu, seperti sekarang pun, ada komunitas suatu negara tertentu yang masih menganggap tabu wanita bekerja diluar, dan yang senada. Kalo wanita normal mungkin bisa cuek dan tetap melakukan aktivitas seperti biasanya, beda dengan seseorang yang mempunyai sedikit indikasi sindrom di atas, bisa menjadi rendah diri, hingga putus asa.

Kita hanya perlu memahami bahwa setiap manusia terlahir dengan keadaan yang unik mempunyai karakter dan tipikal nya masing-masing. Tidak bisa kita sama ratakan. Karena main cause alias kontribusi terbesar seseorang dengan sindrom seperti ini adalah keluarga dan berbagai verbal negatifnya, harapannya kita nanti kalau misalkan suatu hari membina keluarga dan mempunyai anak, kita harus ekstra berhati-hati dalam meluncurkan verbal ke anak apalagi ketika dia usia sangat muda.

Misalkan harus menyalahkan, kita tidak menyalahkan orang tapi bisa kita salahkan perilakunya. Misalkan anak masih suka ngompol padahal usianya sudah agak besar, kita salahkan ngompolnya, bukan orang yang melakukan, verbal yang kita komunikasikan bisa verbal solutif, meminimalisir bener verbal yang negatif. Intonasi serta pemilihan kosakata juga wajib diperhatikan. Ya sudah kalau gitu besok-besok sebelum tidur pipis dulu ya.

Bagi beberapa orang, merasa tidak mampu tersebut bisa diusir dengan konsisten mempelajari skill yang baru, mendalami hobi yang mungkin bisa diarahkan agar produktif.

Pada kebanyakan kasus di barat sana, rasa rendah diri akut bisa digilas dengan bekerja keras mengusir mindset tersebut dari dalam kepala. Bisa dengan bentuk social support, dukungan sosial dari keluarga, kolega, teman, dan beberapa pihak lain.

Dari sini kita bisa tergugah untuk lebih sensitif terhadap lingkungan sekitar, terutama lingkar pertemanan kita, siapa tahu ada orang yang terindikasi seperti sindrom di atas, bisa kita luangkan waktu tenaga sedikit pikiran untuk membantu dia, sebagai bentuk social support.

Atau mungkin pemacu bagi diri sendiri jika kita pernah merasakan hal yang sama. Paling tidak memang manusia adalah makhluk sosial, membutuhkan aktualisasi diri dan ingin merasa dihargai, tapi yang tidak kalah penting, paling tidak mental kita termasuk mental yang kuat, ada halangan apapun di depan harus bisa kita lewatin, tenang aja, ada yang maha Mengetahui, tugas kita berikhtiar, berusaha semampu mungkin, untuk hasil pasti akan senada dengan usaha yang telah kita keluarkan.

Semoga bermanfaat dan bisa ambil wacana dari sini,tetap semangat dan mari kita lebih sensitif lagi terhadap lingkungan sekitar kita.








Sumber
Di sini.
Di sini.







anasabilasebelahblog4iinch
4iinch dan 28 lainnya memberi reputasi
27
6.9K
123
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.4KThread81.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.