bundasholihaahAvatar border
TS
bundasholihaah
Aku seng Berjuang, Arek Kae seng Nyayang
Lima puluh sembilan menit sudah aku menunggu dengan perasaan tak menentu. Dua gelas capuchino kesukaanku memenuhi lambung yang kini terasa begah, tak berani kupesan lagi. Terakhir hanya sebotol air mineral yang kupesan.

Sebentar-sebentar kulirik jendela lebar berkaca transparan yang menjadi pembatasku dengan bagian luar kafe ini. Berharap sosok itu terlihat, memarkir sepedanya, lalu tersenyum dan buru-buru menemuiku.

Kami berjanji bertemu di sini setelah sekian lama, tentu ada alasannya. Kafe ini penuh kenangan. Aku tak sengaja bertemu dia di sini, di bulan Desember yang basah seperti saat ini.


gambar dari sini

Waktu itu, aku yang sedang kehujanan di jalan memilih menepi dan mencari tempat berteduh di emperan kafe ini. Di saat yang sama, datang pula berteduh seorang gadis berseragam putih biru yang menuntun sepeda onthelnya.

Jiwa laki-lakiku membisiki untuk menawarkan bantuan pada gadis yang tampak kedinginan itu. Kutawari dia duduk di tempatku, lalu kupesankan segelas milo hangat untuknya.

"Baru pulang sekolah?" Aku bertanya, dijawabnya dengan anggukan dan senyum di bibirnya yang membiru karena dingin. Senyum yang menghadirkan kehangatan seketika pada tubuhku yang juga kedinginan. Kubiarkan dia tanpa mengajak berbicara lagi, aku diserang gugup. Hingga hujan mulai reda, dia pun pamit dan berterima kasih padaku.

"Saya Sri," ucapnya memperkenalkan diri.

"Oh, Agus," sahutku dengan menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Bagaimanapun juga, aku harus menjaga adab sebagai santri di sebuah pondok di sini. Ya, aku bukan warga sini, aku hanya numpang menuntut ilmu di sini.

Perkenalan singkat itu berlanjut dalam setiap malam-malamku yang kukemas dalam do'a-do'a panjang. Tuhan, aku ingin berjodoh dengannya.

Beberapa minggu kemudian, akhirnya kami ditakdirkan bertemu kembali dalam acara pernikahan saudara temanku. Dia yang ternyata masih bertalian keluarga dengan temanku itu ada di sana juga, dirias cantik sebagai pager ayu. Aku bersorak dalam hati, semakin yakin bahwa do'aku dikabulkan.

Aku pun mencari-cari kesempatan untuk mendekatinya.

"Suka sate?" tanyaku ketika melihat dia berdiri di antrean menu sate.

Dia tampak terkejut melihatku, "Mas Agus?" Aku benar-benar tersanjung dia ingat namaku, hidung kembang kempis dibuatnya.

Sejak saat itu, kami mulai dekat. Meskipun jadwal di pondok ketat, aku selalu bisa memanfaatkan waktu untuk bertemu dengannya di kafe ini setiap hari Jum'at. Meskipun tanpa janjian dan tanpa pesan apa-apa di kafe ini, hanya berdiri di emperan dan saling berbagi kabar.

Hingga waktu terasa begitu cepat berlalu, masa belajarku di pondok hampir habis. Aku bilang pada Sri akan ke rumahnya untuk melamar.

"Hahahahaha." Dia menertawakan rencanaku.

"Sri tahun ini baru lulus SMP, masak iya mau langsung nikah saja," katanya.

"Ya, nggak harus langsung nikah, Sri. Aku hanya ingin keluargamu mengenalku karena setelah ini aku akan kembali ke Surabaya," jawabku.

Kami terdiam cukup lama saat itu, mungkin sibuk dengan pikiran masing-masing. Memang tampak konyol, aku yang baru mau tamat Aliyah --setara SMA-- berpikir untuk melamar seorang gadis yang baru mau lulus SMP. Kami bahkan baru saling kenal selama enam bulan. Tapi sungguh, aku merasa yakin dengan keputusan ini.

Lalu hari itu tiba. Usai upacara kelulusan, aku mengajak keluargaku yang saat itu menjemput, untuk mampir ke rumahnya.

"Kenapa buru-buru memilih Sri, padahal masih banyak gadis yang lain," tanya bapak calon mertua, waktu itu.

"La iya, Pak. Maafkan kelancangan anak saya," sahut bapakku, tampak tak enak hati.

"Kalau saya, inginnya Sri ini sekolah hingga tinggi. Prestasinya di sekolah bagus, paling tidak saya ingin dia sekolah hingga jenjang S2," lanjut bapak calon mertua.

Mendengar hal itu, aku merasa bangga calon istriku akan memiliki titel sarjana S2. Namun, ungkapan beliau selanjutnya sungguh mengejutkan.

"Saya juga ingin punya menantu yang minimal S2, lah, sama dengan Sri."

Sepulangnya dari sana, aku diomeli bapak dan ibu, dibilang ngisin-isini, ditertawakan, dan lain-lain. Kami sadar, kondisi perekonomian keluarga yang hanya mengandalkan penghasilan dari gerobak bakso yang dibawa bapak keliling setiap hari tidak akan cukup untuk membiayaiku kuliah, sementara masih ada tiga adikku yang lebih membutuhkan biaya untuk sekolah. Rencananya, mereka akan dipondokkan juga, sama sepertiku.

Meski demikian, tak ada yang memintaku berhenti mengharapkan Sri. Mereka bilang akan tetap mendukung, baik aku maju maupun mundur. Aku pun semakin bersemangat.

Berbekal nomor telepon yang diberikan Sri di hari terakhir kami bertemu, aku masih bisa menghubunginya, menanyakan kabar, sekolahnya, keluarganya, dan sebagainya. Aku pun mulai berbagai macam usaha untuk menghasilkan uang. Mulai dari menjadi cleaning service di beberapa gedung perkantoran, jualan segala macam, jadi sales, kuli, bahkan kadang ditawari buat ngisi ceramah begitu ada yang tahu kalau aku lulusan pondok. Semua aku lakukan selain untuk keluargaku, juga karena ingin ikut membantu mewujudkan impian bapak calon mertua untuk menyekolahkan Sri sampai S2.

Aku berjanji pada Sri, tidak akan muncul di hadapannya dan keluarganya kecuali jika sudah sukses dan siap meminangnya. Selama waktu itu, aku akan berusaha rutin mentransfer uang untuk biaya kuliahnya di fakultas keperawatan, STIKES Muhammadiyah Lamongan. Aku bangga, Sri pasti akan menjadi seorang perawat hebat kelak. Foto-foto kegiatannya di kampus, juga foto wisuda yang dikirimkan padaku, membuatku semakin bersemangat.

Setahun yang lalu, dia mengirimiku foto wisuda S2 nya. Dia juga mengabari kalau sudah diterima sebagai perawat di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan. Aku senang, dia memilih untuk bekerja di tempat yang tak jauh dari rumah orang tuanya. Namun, semenjak saat itu dia tak pernah membalas chat maupun video call dariku. Hingga tiba-tiba saja kemarin dia mengajak bertemu di sini. Aku pun segera bersiap, tak mau menyia-nyiakan kesempatan.

Kuintip benda pipih di atas meja, ratusan pesan chat menunggu dibaca, tapi aku tak selera. Hanya satu nama yang kuharapkan muncul di sana, mengabariku kenapa tak kunjung datang. Namun, nihil. Chatku centang biru tapi tak dibalasnya. Aku sedikit resah.

Seseorang menarik kursi kosong di hadapanku. Aku kesal, bukankah aku tadi sudah berpesan agar tak ada yang boleh menempati kursi itu selain kekasihku.

Kupalingkan wajahku yang asik menatap ke luar jendela dengan kesal ke arahnya. Namun, wajah manis berbalut kerudung kecil dengan ujung kain diikat ke depan itu memukauku. Dia tampak jauh lebih dewasa dibanding terakhir kali kami bertemu. Tentu saja, waktu itu dia hanyalah seorang anak SMP. Sepertinya aku terlalu asyik mengenang masa lalu hingga tidak menyadari kedatangannya.

"Sepuluh tahun sudah berlalu, Mas." Duhai, lembut nian suara yang kurindukan. Sepuluh tahun, katanya. Pasti serindu itu dia padaku, seperti juga aku yang tak henti merindukannya setiap waktu.

"Banyak yang sudah berubah. Bahkan kafe ini pun berubah," lanjutnya. Aku tak kuasa menjawab apapun, biarkan dia mengungkapkan semua isi hatinya, setelah itu aku akan mengejutkannya dengan berita gembira.

Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas selempang merah marunnya, lalu menyerahkan padaku.

Gemetar tanganku menerimanya, sebuah pikiran buruk melintas begitu melihat benda yang mirip surat undangan. Sementara bibir masih menyunggingkan senyum, menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba datang.

Terasa ada yang mengiris hati, namanya bersanding dengan nama seorang laki-laki, dibingkai dalam rangkaian bunga berbentuk hati yang sangat cantik. Otakku mendidih, ingin kutaruh undangan itu di kepalaku agar ikut terbakar bersama amarah yang sekuat mungkin kutahan.

Sedangkan di luar kafe, langit yang tadinya secerah harapanku ketika datang ke sini, berubah gelap. Halilintar menyambar, lalu turun titik-titik air dari angkasa. Sedikit-sedikit, lalu menjadi deras. Orang-orang di jalanan banyak yang menepi di emperan kafe, menghindari hujan yang datang tiba-tiba. Entah kenapa, perasaanku sepenuhnya telah terwakili oleh cuaca.

Aku meminta penjelasannya, memastikan bahwa semua ini bukan prank seperti yang sedang ngetrend di media sosial. Bukankah selama sepuluh tahun ini kami baik-baik saja. Maksudnya, selama menjalani hubungan jarak jauh, kami tetap menjaga komunikasi dan tak sedikit pun dia bercerita tentang pria lain yang menggantikanku di sisinya.

"Maaf, Mas. Jika Mas Agus masih belum bisa menerima, sekarang coba jawab pertanyaan Sri," ucapnya tanpa menatapku.

"Tanyalah." Agak malas aku menjawabnya, aku butuh penjelasan atas semua ini, bukan malah pertanyaan.

"Aku maunya realistis, Mas. Aku mau menikah dengan orang yang bertanggung jawab lahir batin, mencukupi nafkah lahir dan batinku. Aku tak mau menikah dengan orang yang nggak jelas pekerjaannya, rumah masih sama orang tua, Mas bahkan tidak melanjutkan kuliah. Apa yang bisa kuharapkan? Aku ini perawat, Mas. Minimal suamiku itu berpenghasilan setara lah denganku," jawabnya menggebu-gebu. Aku masih bingung, mana dari kalimatnya yang harus kujawab. Seingatku, tadi dia bilang mau bertanya.

"Sri, ak--." Baru saja hendak kutanggapi, Sri memotong, "Sudah cukup, Mas. Hari ini aku fitting baju pengantin, aku sempat-sempatkan ke sini untuk menjelaskan semuanya."

Aku terpaku di tempat duduk, sementara dia seakan tak betah berlama-lama duduk di kursi yang dari tadi kujaga agar tak seorang pun duduk di sana kecuali dia.

"Aku pergi, Mas. Namaku Sri Putri. Panggil aku Putri, jangan Sri. Nanti kamu nyanyi, lagi. Senenganmu, kan, lagu 'Ndang Balio Sri'?" ucapnya lagi tanpa membiarkanku menyela. Dia lalu pergi begitu saja.

Aku nangis, Sri. Gak urus wong sak kafe mikir opo. Kau tega, Sri.

***

Kuseruput air kelapa muda langsung dari buahnya, sambil meratapi nasib, menatap pohon mangrove di pantai Kenjeran. Foto terakhir yang dikirim Sri masih tersenyum manis di layar hapeku. Dia tampak anggun mengenakan toga dan riasan tipis di wajahnya.

Tak jauh dari tempatku melamun, panggung hiburan yang dipasang agak ke tengah dari pantai mulai ramai dikerubuti pengunjung. Irama dentuman Orkes Melayu yang dinyanyikan penyanyi-penyanyi seksi ikut menemani campur aduknya perasaanku kini.

"Kok, Bos punya fotonya mbak Putri," Suara Paijo membuyarkan lamunanku.

"Kamu kenal, Jo?" tanyaku.

Paijo menganggukkan kepala, lantas mengambil tempat duduk di sisiku. Diraihnya gawai yang tergeletak di atas meja.

"Betul, ini. Mbak Putri, calonnya dokter Wisnu," lanjutnya.

Aku terkejut, dunia memang begitu sempitnya. Bagaimana mungkin aku sampai tidak tahu kalau kekasihku ternyata kekasih anak buahku. Kuusap wajah gantengku dengan kedua tangan.

Ah, aku baru ingat. Wisnu Hadi, tepatnya dr. Wisnu Hadi, nama yang bersanding dengan Sri Putri dalam surat undangan yang diberikan Sri.

Tiga tahun aku bekerja pontang panting tidak jelas. Ikut sana ikut sini asalkan bisa menghasilkan uang halal. Hingga di suatu titik aku merasa jenuh. Lalu bertemu seorang coach yang memiliki sebuah usaha franchise. Sambil berguru, aku mengembangkan usaha bakso bapak dengan bermodal uang yang aku tabung untuk menikah dengan Sri. Beruntung, ibu adalah seorang yang sangat pandai mengatur keuangan. Semua penghasilanku kupercayakan pada ibu untuk dikelola. Termasuk jatah untuk sekolah calon menantunya, Sri.

Usaha bakso ini rupanya berkembang pesat. Berbagai inovasi yang kukembangkan bersama tim kecil yang kubentuk, membuat 'GEROBAKSO' semakin dikenal dan dinantikan. Oleh ibu, aku diberi jatah untuk diriku sendiri. Tak lupa aku selalu diingatkan untuk zakat, infak, dan sedekah.

Impianku adalah membuat klinik, lengkap dengan apoteknya. Hingga aku merasa simpananku cukup, ditambah uang dari beberapa kawan sesama pengusaha muda yang mempercayakan uangnya untuk diinvestasikan padaku, akhirnya berdiri tegak lah bangunan klinik yang kuimpikan. Sebelumnya, aku berharap Sri yang akan memimpinnya. Namun, aku belum terlalu yakin. Lalu aku bertemu dokter Wisnu dan melihatnya sebagai sosok yang cerdas dan bertanggung jawab. Tak butuh waktu lama untuk membuktikan kemampuannya, dokter yang usianya lebih muda dariku itu mampu membuat trend kunjungan pasien di klinik yang baru seumur jagung itu hampir setiap hari bertambah.

"Bos."

"Bos!" Paijo menepuk pundakku dengan kasar. Kurang ajar sekali memang, sopir pribadiku ini. Dibaik-baikin jadinya ngelunjak.

"Astagfirullah, opo toh, Jo?" tanyaku kaget.

"Mbak Putri itu, apakah gadis yang mau Bos lamar?" tanyanya.

Aku menghela nafas panjang dan mengangguk. Kulihat Paijo melakukan hal yang sama, lantas mengambilkan tisu gulung di atas meja dan menyerahkan padaku.

Srooootttt!
Aku membuang ingus yang dari tadi kutahan.

"Bos, selama jalur kuning belum melengkung, mengapa nggak jujur saja kalau Bos sekarang sudah sukses dan dokter Wisnu itu sebenarnya cuma bawahannya Bos? Siapa tahu mbak Putri mau kembali," tawar Paijo.

"Yang pertama, Jo ...." Tanpa pembukaan, aku ungkapkan beberapa hal penting yang membuatku urung melakukan usulannya yang sebenarnya sudah kupikirkan sejak terakhir bertemu dengan Sri, di kafe kemarin.

"Sri bilang dia maunya realistis. Mungkin baginya realistis itu sama dengan materialistis --." Sampai di sini, ada yang tercekat di tenggorokan, seakan tak rela kekasihku disandingkan dengan sifat yang buruk.

"Aku juga mau realistis, Jo. Hidup di dunia ini 'mung mampir ngombe', cuma sementara, aku nggak mau menggadaikan akhirat dengan wanita yang lebih mementingkan dunia. Istriku nanti kelak yang akan mendidik anak-anakku, malang sekali nasibku jika mereka diasuh oleh ibu yang tak mengajarinya tauhid yang baik, karena aku takut tidak bisa menjadi bapak yang baik untuk mereka, janganlah ditambah dengan ibu yang buruk juga perangainya." Sungguh bijak kalimatku. Kadang aku sendiri suka terpukau dengan kata-kata yang kuucapkan. Karyawanku sering memuji dengan menjulukiku 'Mario Agus', karena dianggap mampu memberikan motivasi pada semua pegawai. Ah, aku mesti banyak istighfar atas rasa ujub karena karunia ini.

"Setuju, Bos," sahut Paijo sambil manggut-manggut.

"Yang ke dua. Meskipun janur kuning belum melengkung, tapi Sri itu sudah dilamar orang, dosa kalau aku merebutnya," lanjutku.

Paijo kembali bilang setuju sambil manggut-manggut.

"Kalau begitu, apa Bos pecat saja dokter Wisnu?" sahut Paijo lagi. Namun, dia buru-buru menutup mulut dengan kedua tangannya.

"Maaf, Bos. Dokter Wisnu itu orangnya baik, tadi saya khilaf. Tolong jangan dipecat, kasihan," lanjutnya buru-buru meralat ucapannya.

"Kamu benar, Jo. Dokter Wisnu tidak bersalah. Aku juga mau bilang kalau Sri tidak bersalah. Sepuluh tahun itu waktu yang terlalu lama untuk menunggu. Lagi pula, Sri adalah motivasiku untuk selalu bekerja keras," jawabku.

"Mungkin ini teguran, Jo. Aku telah salah niat. Harusnya semua ini aku lakukan karena Allah," lanjutku.

Paijo kembali bilang setuju dan manggut-manggut.

"Jadi, diikhlaskan, Bos?" tanyanya. Entah kenapa aku merasa dia yang tak ikhlas aku menyerah. Tapi aku tak punya pilihan. Sudahlah, ini sudah jalan yang terbaik, batinku.

"Diapak-apakno aku iki sebenere ijek sayang, Jo (Bagaimanapun juga, aku sebenarnya masih sayang, Jo). Aku kemarin bahkan sudah menyiapkan cincin lamaran untuk kuberikan padanya," jawabku.

"Tapi, Jo ...," ucapku menggantung. Tiba-tiba muncul ide jahat di kepalaku.

"Untuk terakhir kali, aku ingin datang ke acara pernikahan mereka. Bagaimanapun juga, dokter Wisnu itu salah satu kawan terbaikku, dan Sri adalah mantan--." Ah, lagi-lagi ada yang nyangkut di tenggorokan, mataku mulai berkaca-kaca. Kalian tahu rasanya punya mantan? Sesakit itulah yang kurasakan sekarang.

"Baik, Bos, akan saya persiapkan semuanya," sahut Paijo lantang. Dia langsung paham apa yang kurencanakan. Dia tak tahan melihatku mulai bermuram durja kembali.

Yeah, biar aku bocorkan rencanaku. Kami akan datang ke pernikahan mereka, memberikan kado yang mahal, tak lupa ucapan selamat berupa karangan bunga bertuliskan namaku besar-besar.

Sekali ini saja aku ingin pamer kesuksesan kepada seseorang, Sri, mantanku ..., hiks!

Kuseruput kembali air kepala muda yang tak habis-habis sambil mendengarkan musik dari Orkes Melayu yang semakin lancang mengejek nasibku kini.

Rumangsamu opo ra loro
Kowe ninggal aku tanpo ono pamit
Wes sesasi kowe ra tau ngabari
Krungu kabar malah kowe arep rabi

Aku seng berjuang arek kae seng nyayang
Tak rumat temenan malah ninggal kenangan
Aku demi kowe, kowene demikian
Namung biso pasrah belajar mengiklaskan

(Aku Seng Berjuang Arek Kae Seng Nyayang-Ilux)


Quote:


Tamat emoticon-Turut Berduka

Sila baca juga cerpen ane yang lain.
Diubah oleh bundasholihaah 04-03-2020 03:16
NadarNadz
nona212
indrag057
indrag057 dan 58 lainnya memberi reputasi
57
9.2K
195
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.