wildanhaAvatar border
TS
wildanha
Gadis Merah
Gadis Merah Adalah kisah tentang anak perempuan berumur 16 tahun yang akan merayakan ulang tahun ke-17nya. Dia memiliki perbedaan dengan anak-anak normal lainnya yaitu, matanya tidak bisa digunakan untuk melihat. Pada ulang tahun yang ke-17 dia mendapatkan hadiah spesial dari Ayahnya. Penasaran dengan kelanjutannya? Selamat membaca!






Gadis Merah




Manusia terpilih yang mengemban takdir untuk menikmati malam sebagai hitam dan siang sebagai merah


 

1. Hujan Tetap Merah

Akhirnya aroma tanah kering terguyur hujan dapat tercium kembali di kota Cilacap. Kuhirup dalam-dalam dan selamat tinggal kau kemarau, selamat tinggal kau debu, pagi yang indah tidak pantas kau rusak dengan tarian menggelikanmu di hidung.

Selamat pagi hujan terimakasih kau telah datang membasahi bumi Cilacap yang indah. Sawah membentang berwarna hijau, laut berwarna biru, dengan deburan ombak dan pasir hitam halus dan pohon cemara dengan burung-burung yang indah, semua tergambar jelas dalam imaji saat Randi adik kecilku melapor tentang keadaan alam Cilacap. Tapi sejauh aku memandang hanya ada dua warna untuk sawah, laut, pohon, pasir pantai, dan semuanya yang pernah aku lihat. Yaitu, merah ketika aku lihat pada siang hari dan hitam ketika malam hari. Tapi tidak terlalu penting untuk meributkan perbedaan warna tentang alam antara aku dan Randi.

Dingin lantai mengigit kulit kaki saat aku turun dari ranjang, dinding rupanya sama dengan lantai, ikut mengigit tangan saat aku raba. Kaki dan tangan selalu serasi menuntun kemanapun otakku memerintahkan. Meskipun hanya sekedar ingin mengeluarkan kepala dari jendela kamar untuk menikmati hujan berwarna merah di pagi hari.

Jarum jam menunjukkan pukul 07.30. Jam berbentuk kubus dengan warna hitam sudah menempel selama empat tahun di kamar Kartika, meskipun begitu jam dinding kesayangannya yang diberikan oleh sahabatnya ketika ulangtahun ke tigabelas akan tetap terlihat baru meskipun suaranya sudah tak asing ditelinga Kartika.

Buku dengan huruf braille selalu tertata rapih di atas rak buku tepat sebelah kanan ranjang Kartika. Buku sejarah, ilmu pengetahuan, semua Ibu belikan untuk Putri kesayangannya. Bahkan dia membacakan untuknya ketika hari libur kerja.

 

Lampu dengan tudung berwarna merah, meja belajar lengkap dengan kursi, lemari pakaian, dan robot-robot hadiah ulang tahunnya sewaktu anak-anak semua akan tetap nampak baru dan berwarna merah ketika ia melihat dalam terang, hitam ketika dalam gelap.  Foto keluarga yang terpajang tepat di sebelah kanan jam dinding dengan bingkai berwarna merah, hanya Kartika yang tidak pernah melihatnya meskipun terletak pada kamarnya.

Kakinya melangkah dengan hati-hati dan tangan meraba-raba pada dinding. Kartika mengeser gorden berwarna putih dengan gambar bunga mawar berwarna merah, begitu indah. Tapi bernasib sama seperti foto keluarga yang terpajang di sebelah kanan jam dinding Kartika tidak pernah melihat keindahannya.

“Udara yang sejuk,” ucapnya lirih sesaat setelah mengeser gorden dan membuka jendela. Ia rentangkan tangan indah berwarna kuning langsat membiarkan angin masuk menabrak badannya melalui jendela. Rambut panjang berwarna merah berkibar menari dengan indah di atas bahu saat tertiup angin. Rintikan air terbawa angin ia biarkan menempel pada wajah indahnya dengan hidung tidak terlalu panjang dan bibir padat berisi.

Angin terus berdesir meniup pohon-pohon cemara dan pohon pisang lebih menakjubkan bagi Kartika karena menurutnya semua berwarna merah. Baik hujan, pohon pisang, angin, bahkan langit yang ada di hadapnya.

“Sudah bangun kau,” ucap suara dari belakang Kartika.

“Bukankah sudah ada peraturan tidak tertulis tentang pintu kamarku?”

“Maaf untuk itu tapi sepuluh menit lagi ibu akan terlambat Kartika, aku bawakan makananmu di atas meja. Maaf aku buru-buru dan tidak bisa menyuapimu, kau bisa panggil Randi untuk itu.” Wanita berumur empatpuluh tahun dengan dua orang anak itu mendekat menghampiri Kartika yang tetap berdiri dengan rambut berkibar tertiup angin di depan jendela. Rambut merah sebahu terbang berkibar tertiup angin saat wanita itu berdiri di belakang Kartika. Ibu memeluk Kartika dan menempelkan bibirnya yang penuh berisi persis seperti bibir Kartika tepat pada kening.

“Maaf untuk kesibukanku, semoga harimu menyenangkan.” Ibu pergi setelah mengucapkannya.

Setelah pertengkaran hebat dua tahun yang lalu membuat ibu dan ayah harus bercerai. Tapi bagi Kartika apa pentingnya, kejadian itu tetap hanya berwarna merah dan hitam. Ayahnya yang dulu selalu tidak punya waktu untuknya dan ibunya yang sekarang semakin sibuk dengan pekerjaannya. Kehidupan manusia dewasa normal memang membosankan, selalu diburu waktu dan tergesa tanpa meluangkan waktu untuk orang di sekitarnya. Memang ada baiknya juga untukku yang seperti ini, aku bisa menikmati dunia yang indah dengan warna merah dan hitam.

Kaki indah berwarna kuning langsat tetap kokoh berdiri menopang badannya di depan jendela. Ia tarik nafasnya dalam-dalam dan kembali merentangkan tangannya, membuat jiwa yang selama ini melekat pada tubuhnya lepas terbang mengelilingi benua-benua hijau dan biru dengan lautnya seperti Randi ceritakan tentang wujud peta saat ia menanyakan padanya.

“Kak, apakah kau sudah menghabiskannya?” Teriak suara dari belakang pintu kamar Kartika.

“Belum, aku menunggumu untuk tugas itu! Masuklah Ran.”

“Pagi yang indah, air sudah sampai mata kaki di sawah Kak,” ucap Randi sangat antusias. Randi berjalan cepat setengah melompat dan mengambil Loyang makanan Kartika di atas meja kamar. Dana menenteng kursi dengan tangan kirinya. “Duduklah, aku akan berdiri melaksanakan tugasku.”

“Bisa kau ceritakan jika sawah luas berwarna hijau seperti yang kau katakana bercampur dengan air hujan setinggi mata kaki, seperti apa warnanya?”

“Tetap hijauu,” jawabnya sembari memasukkan nasi dan ptongan ayam kedalam mulut Kartika. Randi sangat menyayangi Kartika, mungkin karena kakak satu-satunya dan Kartika juga demikian terhadap Randi karena dia adik satu-satunya.

“Katamu air berwarna putih? Jika hijau tertimpa putuh bukankah semua dasaran sawah akan berwarna putih?”

“Putih tembus pandang kak bukan putih, putiiih,” jelasnya dengan mempraktikkan gaya ke kanak-kanakan dihadapan Kartika tanpa menghirukan meskipun Kartika tidak bisa melihatnya.

“Ah kau nih, kau bilang padaku air hujan berawarna putih, sekarang transparan. Berapa tinggimu sekarang?”

“Genap seratuss Kak, seratus centi meter,” ucapnya. “Aku akan jadi pria yang tampan kata Ibu, katanya aku memiliki bibir dan hidung yang sama denganmu dan rambutku berwarna hitam! Itu hebat!”

“Aku seratus empatpuluh masih kurang empatpuluh untuk sama denganku,” ledeknya. “Tapi tetap saja, kau yang sekarang ataupun kau nanti yang sudah mulai dewasa akan tetap sama bagiku. Berwarna hitam di dalam rumah, dan berwarna merah di luar rumah.”

“Kak, mengapa kau beda denganku, kata ibu kau sejak lahir tidak dapat melihat di skelilingmu, barangkali kau mau menceritakan rahasiamu kepadaku? Dan katamu juga kau hanya punya dua warna untuk alam ini, sawah yang berwarna hijau pun berwarna merah menurutmu?”

Kartika terdiam sejenak dan memandang kearah luar jendela, bunyi air hujan keras menghantam genting dan angin meniup pohon lebih kencang dari sebelumya. Sementara Randi masih menunggu jawaban Kartika dengan tetap memasukkan makanannya kedalam mulut Kartika.

“Aku tidak pernah bangun sejak lahir Ran.”

“Kau tidur? Kenapa bisa makan?”

“Pikiranku bangun tapi mataku tidak bangun, tidak dapat berfungsi seperti layaknya manusia lain. Aku tidak bisa melihat apapun di sekitarku, bahkan semua yang kulihat saat ada cahaya akan berwarna merah dan semua yang kulihat saat tidak ada cahaya akan berwarna hitam. Tapi aku masih mempunyai imajinasi, aku bisa memikirkan bentuk pohon, menghayal bentuk mobil, sepeda, dan banyak.”

“Kau terus bermimpi setiap harimu? Aku ingin bermimpi berselancar diatas gundukan salju! Apakah kau bisa juga?” ucap Randi penuh penasaran. Mata bulat dengan bola mata berwarna hitam terbuka lebar seperti sedang melihat sepeda barunya.

“Tentu.”

“Kalo begitu aku ingin memiliki mata yang tertidur terus sepertimu.”

“Tapi nanti kau tidak bisa lihat warna-warna yang indah, tidak bisa lihat di skelilingmu. Tidak bisa bermain layang-layang dan sepak bola?” Kartika menghadap Randi. Bola matanya bergerak didalam tertutup tirai kelopak matanya

Randi diam dan menyodorkan gelas berisi air untuk diminum Kartika. “Makananmu telah habis, aku akan mencuci semua ini dan kembali lagi kesini. Ada yang ingin aku beritahu padamu.”

Ada untungnya juga punya adik yang ceriwis bagi Kartika, selain adaik yang baik dia adalah reporter rahasianya. Randi akan melaporkan secara detail apa yang terjadi di lantai bawah tempat ruang keluarga. Seperti ketika bunyi rantang jatuh oleh ibunya dia akan menceritakan kaepada Kartika bahwa Ibu bisa membuat bunyi nyaris sama seperti guntur di langit. Selama seminggu belakangan ini Kartika sering mengikuti suara-suara yang dapat ia dengar di luar rumah. Pernah dia mendengar lonceng pada tengah malam meskipun menakutkan dan gelap tentunya, tapi Kartka menikmati itu. Duduk di depan jendelanya dan mendengarkan suara-suara dari luar rumah lalu membayangkan bentuk-bentuk dari kucing, mobil, bulan dan semua yang tidak pernah bisa Kartika lihat bentuk keindahannya.


Part 2



Sampai sini dulu ya gan. Mau lihat dulu bagaimana animo masyarakat tentang cerita yang saya buat ini kalau memang bagus akan saya up setiap malam rabu. Terimakasih sampai jumpa.😊
Diubah oleh wildanha 31-01-2020 15:09
Gimi96
NadarNadz
nona212
nona212 dan 20 lainnya memberi reputasi
21
3.1K
34
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.