hmei72483Avatar border
TS
hmei72483
Alerta, Alerta! Para Aktivis Cabul di Sekeliling Kita By Hacktivist Hmei7 Kediri
“Jutaan orang bahkan tidak menyadari bahwa mereka bisa menghasilkan US$ 1.000 sehari tanpa meninggalkan rumah menjadi sasaran empuk para aktivis cabul.”

Awalnya, teks itu ingin diikutsertakan dalam keramaian warganet membuat meme atau video parodi dari iklan mas-mas Binomo trading yang sedang viral. Sebab melibatkan diri pada tiap perkara kelucuan duniawi adalah kenikmatan haqiqi.

Tapi, karena keterampilan menggambar sama awamnya dengan kemampuan nenek memesan ojek online, maka terpaksa niat mulia itu urung dilaksanakan. Lebih baik menulis, lalu mengirimkannya ke Kaskus, lumayan dapet wang buat beli kuota modal stalking Bude Sumiyati. Eeeh.

Maksud hati ingin stalking, apa daya malah disodori satu unggahan di Facebook oleh penulis muda Erwin Setia. Isi unggahan itu – jika diringkas – kira-kira begini; pengakuan seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual aktivis mahasiswa dan bagaimana organisasi si pelaku mengambil sikap. Sebab itulah muncul kalimat di pembuka tulisan ini.

Di kampus, saya memiliki dua adik tingkat – tentu belum cukup pantas untuk disebut mahasiswa tua. Rasanya iri senang sekali melihat polah mereka, kaum yang belum terjajah oleh kenikmatan rebahan di kosan saat jam kuliah, kaum yang masih sedikit kadar mie instan di tubuhnya.

Mereka pun selalu tampak antusias dan kerap bertanya, termasuk soal rekomendasi organisasi apa yang kira-kira cocok bagi mereka. Sebagian datang dengan semangat polos sekaligus kombinasi keinginan untuk terlibat dalam aktivisme, juga segala jenis romantismenya.

Tentu saja, sarannya adalah masuk organisasi yang sejalan dengan nilai-nilai ideal. Itu jawaban yang paling aman, kadar membualnya sangat minim.

Rasanya tidak tega untuk berkata, “Beberapa aktivis itu B aja, Bung.” Toh, pada saatnya mereka akan tahu, tak sedikit yang menerapkan prinsip “tangan kiri gagah terkepal, tangan kanan sodok proposal”.

Ini bukanlah agitasi, sebab siapa yang tak senang memiliki kawan-kawan yang berani menyuarakan aspirasi di garis terdepan, pun siapa yang tak bahagia jika mereka memiliki sandaran ruang kolektif yang mencerahkan.

Namun, suka atau tidak, sisi gelap aktivisme itu nyata. Tidak konsisten dengan garis perjuangan. Di atas mimbar, mulut berkoar-koar anti kekerasan seksual. Di bawah, penisnya membual. Di hadapan massa aksi, berorasi tentang keadilan. Eh, tau-taunya… (isi sendirilah).

Laki-laki yang menjadi pelaku kekerasan dalam postingan tadi adalah contoh seorang aktivis yang tidak suci dalam pikiran, perkataan, maupun pergerakan. Bagaimana bisa, ia memperlakukan perempuan sebagai objek seks, samsak, sekaligus ATM berjalan? Kan, biadab.

Mari kita dorong pemerintah untuk membuat sertifikasi untuk aktivis. Hah? Tidak perlu? Oke.

Sikap yang diambil oleh organisasi si pelaku pun semula tak ada bedanya. Menuntut negara untuk segera membuat regulasi yang membawa rasa aman bagi para penyintas kekerasan seksual, itu sangat bagus. Tapi abai terhadap perilaku ‘menyimpang’ seorang anggotanya dengan alasan “itu kan persoalan privat” atau “kita tidak mau mengambil tindakan sebelum ada bukti”, itu juga tidak konsisten, kamerad!

Padahal, selama ini mereka terkesan paling gencar bersuara dan progresif. Kendati terjadi di ruang privat, kekerasan seksual menjadi urusan publik, juga negara. Kecuali, mereka percaya bahwa perkara semacam itu bisa didamaikan secara ‘kekeluargaan’. Enak bener.

Seolah-olah, negara dipersempit peran dan fungsinya dalam urusan penindasan di ruang privat. Mau mengafirmasi konsensus kaum liberal pada zaman itu, kah? Negara – dengan fasilitas perangkat hukum – harusnya bisa menjerat seluruh bentuk ‘kejahatan’, tak peduli ia beredar di kutub mana. Selama ini kita malah salah kaprah. Negara atur-atur kita harus ‘ena-ena’ dengan siapa, masa giliran kita tersakiti malah lepas tanggung jawab, sih?

Apa iya, organisasi mahasiswa seprogresif itu nggak pernah ngaji “Bab Feminisme Gelombang Kedua”, terutama bagian The Personal is Political?

Begini kawan, persoalannya bukan lagi pada ‘pembuktian’, tapi kita sudah terlalu keterlaluan dengan pengalaman ketertindasan perempuan. Lha wong, kita tidak pernah mengakomodir itu sebagai satu starting point, sebagaimana gagasan mengenai Feminist legal theory.

Dah ah, mau jajan cilok dulu.

Penulis Kreator KasKus : Rendy Arief Wibowo Hmei7 21 - 01 - 2020 Kediri
lina.wh
NadarNadz
nona212
nona212 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
794
1
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.