anna1812Avatar border
TS
anna1812
Cinta Pertama


Hari ini ada dua jam pelajaran kosong. Aku sebagai sekertaris kelas diberi mandat oleh wali kelas untuk membagikan soal-soal ujian semester tahun lalu. Namun, sebelumnya harus memperbanyak soal ujian tersebut. Bergegas kuayun langkah menuju tempat fotocopy yang berada di depan sekolah. Setelah beres semuanya, aku bersiap meninggalkan tempat tersebut.

"Eh, maaf, maaf. Saya nggak sengaja," ucapnya tatkala dia menabrakku dan membuat kertas-kertas soal latihan ujian semester berhamburan.

Gugup. Segera kupunguti lembaran-lembaran itu bersamanya. Mirip seperti iklan di televisi.

"I-iya. Gak papa, Om. Saya yang salah karena jalan terburu-buru," sahutku kemudian.

"Emang saya setua itu, ya? Sampai-sampai kamu panggil om." Tangannya terulur menyerahkan kertas yang tadi berserakan.

"Hehe. Gak juga, sih." Mungkin pipiku sudah seperti kepiting rebus, menahan malu, "ya udah, makasih, ya, mau bantuin ambilin kertas-kertas tadi," lanjutku sambil berlalu, tanpa perlu menunggu.

Bergegas kuseret langkah, lalu menyeberang jalan yang lumayan sepi, karena memang sedang jam kantor dan pelajaran sekolah.

Semenjak pertemuan itu, wajahnya selalu memenuhi otak, berlarian ke sana kemari.
Meskipun cuma sekilas, namun aku mampu mengingatnya. Kulit putih dengan hidung bangir seperti prosotan anak TK, alis tebal serta bibir tipis yang sedikit kecoklatan.

***

Ujian semester satu berjalan lancar. Alhamdulillah hasil yang kucapai lumayan memuaskan, meskipun tidak sebagus saat ujian tengah semester. Mungkin efek karena terlalu memikirkan sosok itu, membuat tidak fokus mengerjakan soal ujian. Ini adalah kali pertama. Ada desiran halus kala mengingatnya dan membuatku tersenyum sendiri.

Hari penerimaan raport tiba. Otomatis tidak ada kegiatan belajar mengajar. Namun, para siswa diwajibkan tetap datang ke sekolah, sekadar mengisi daftar hadir dan selanjutnya menunggu hingga wali murid mengambil raport. Bosan di kelas, aku mengajak beberapa teman ke fotokopi-an depan sekolah. Ngobrol-ngobrol sama Mas Helmy--pemilik tempat tersebut-- sepertinya bisa menghilangkan rasa jenuh. Selain orangnya kocak, dia juga tidak pelit ilmu. Dia mengajariku banyak hal.

Percakapan kami terhenti karena ada yang mau fotokopi berkas-berkas entah apa. Seperti pernah mendengar suara ini, segera kumenoleh. Betapa terkejut tatkala manik hitam itu tengah menatapku juga. Dia sosok yang selama ini begitu mengganggu otakku.

Jantungku langsung merespons. Berdetak dua kali lebih cepat, bibir kelu, dan suhu ruangan mendadak menjadi panas. Tanpa kusadari, tangan juga gemetar. Perlahan dia mendekat, membuatku tambah gugup.

"Hei, ketemu lagi. Kamu yang kemarin nggak sengaja kutabrak, 'kan?" tanyanya.

"I-iya. Bener banget, Om. Eh." Spontan kubekap mulut.

"Hahaha. Jangan panggil om. Aku belum setua itu, loh."

Berawal dari situlah, dia mulai mengakrabkan diri denganku, bahkan mau memberikan nomor telepon rumahnya. Bila waktu senggang, sering menelepon, walaupun kadang hanya sekadar menanyakan kabarku.

Hari terus berlalu, tanpa bisa kembali lagi. Banyak kenangan yang telah terukir. Desiran halus itu semakin mengakar kuat di dalam sini. Ada rasa yang sulit dilukiskan dengan kata-kata tatkala berbincang-bincang dengannya. Lima tahun lebih tua dariku, membuatnya mampu berpikir dewasa. Yaa ... walaupun kedewasaan itu bukan diukur dari seberapa banyaknya usia. Namun, sejauh mengenalnya, dia sosok yang mampu memberi solusi di setiap masalah yang kuhadapi. Yang membuat penasaran ... apakah dia memiliki perasaan yang sama denganku? Pernah suatu hari aku memancingnya.

"Mas ... mmm." Aku sengaja menggantung ucapan.

"Iya. Kenapa, Na?" Lembut suaranya menyapu pendengaranku di ujung telepon. Seperti biasa.

"Nggak jadi." Aku terkikik.

"Yeey. Kangen, ya?"

"Apaan, sih?" Aku tersipu malu dengan pipi merona semerah tomat. Untung saja bukan bertatap muka langsung.

'Ah ... seandainya saja dia tahu perasaanku.’

Aku tak mau memupuk harapan terlalu tinggi, karena ketika setangkup harap itu tak sesuai keinginan hati, maka yang tersisa hanya rasa sakit. Di usiaku yang belum genap tujuh belas, rasanya terlalu tabu membicarakan soal cinta. Namun, siapa yang mampu menolak ketika rasa itu sudah DIA tiupkan pada hati seseorang?

Hingga pada kenaikan kelas tiga, ada perubahan yang kurasakan. Dia menjadi jarang menelepon, membalas suratku pun sudah tidak pernah, hal yang selalu kutunggu bila akhir pekan. Pada secarik kertas itu, dia banyak menulis puisi-puisi indah nan romantis. Entah itu gambaran perasaannya atau apa, tak kupahami. Namun yang pasti, tulisannya mampu membuatku terbawa perasaan. Berandai-andai jika itu memang benar ungkapan perasaannya kepadaku.

Aku sangat rindu saat menghabiskan waktu bersama, hal manis sekecil apapun yang pernah dia lakukan, membuatku menangis. Menyadari ... semua itu tak 'kan terulang lagi.

***

Mencoba menepis rasa gengsi, aku menghubunginya lagi. Namun, hanya kecewa yang kutelan. Adiknya, yang saat itu menjawab telepon, mengatakan kalau Mas Irwan sedang keluar. Hal itu terulang sampai beberapa kali, hingga membuatku memutuskan untuk memupus harapan. Untuk apa susah payah mengejar sekeping hati, sedangkan aku tak pernah tahu perasaan macam apa yang dia punya.

Dilema? Tentu saja. Di saat perasaan sayang dan cinta sudah mengakar kuat dalam hati, namun tanpa alasan dan sebab yang pasti, dia pergi menjauh. Ibarat dahan segar yang dipatahkan dengan sangat paksa.

Sakiiit.

Ingin melupakan, namun justru bayangnya kerap mengikuti dalam tiap jejak langkah. Lalu ... aku harus apa, ya Robb?

***

Berniat meminta do'a, karena hari Senin besok akan ujian nasional, kucoba lagi menghubungi Mas Irwan. Lagi-lagi kecewa yang kudapat, bahkan lebih dari itu. Dia pergi jauh ke luar negeri. Itu kabar yang kuperoleh dari adiknya. Di sini, aku masih tak habis pikir. Mengapa dia begitu tega meninggalkan seribu tanya dalam hati, yang entah sampai kapan akan terjawab.
Antara sakit, kecewa, benci, dan rindu menjadi satu. Apakah laki-laki memang seperti itu? Suka memberi harapan, tapi ternyata palsu. Mencabik segala rasa yang bersemayam di dalam sini.

***

"Na ... benar kamu Viona, 'kan?" Seseorang mengagetkan ketika aku sedang memilih buah di salah satu pusat perbelanjaan yang berada tak jauh dari rumah.

Aku menoleh. Kubekap mulut. Betapa terkejut melihat siapa yang baru saja menyapa.

"I-iya, M-mas." Suaraku terdengar parau, belum mampu menguasai keadaan. Syok, karena sosok yang hampir terlupakan, tiba-tiba datang kembali. Membuka luka lama yang tertoreh di hati.

Dia mendekat, lalu mengulurkan tangan, yang kusambut dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada.

"Oh, maaf." Lalu menarik tangannya kembali, "kamu apa kabar, Na? Aku ... kangen,” lirihnya.

Aku mengalihkan pandangan. Menyembunyikan kaca-kaca yang hampir luruh. Enak saja dia bilang kangen. Lalu ... ke mana saja dia selama ini. Pernahkah memikirkan perasaanku. Pergi tanpa sepatah kata pun. Lalu sekarang tiba-tiba datang dan ungkapkan rasa. Memang dia pikir aku ini apa?

“Maafin aku karena dulu pergi tanpa pamit sama kamu. Aku nggak pengen membuatmu sedih. Aku ... aku sayang banget sama kamu, Na," ucapnya parau.

Aku menoleh ke arahnya. "Lalu Mas pikir, dengan ninggalin aku gitu aja, itu nggak bikin aku sedih?! Aku juga sayang banget sama Mas. Tapi itu dulu ... dulu sebelum Mas ninggalin aku gitu aja tanpa pesan. Ngebiarin aku tersiksa dengan segala rasa. Mas membuatku mengangkasa, lalu kauhempaskan aku ke dasar bumi. Sakiiit, Mas." Akhirnya luruh juga cairan bening yang kutahan sejak tadi, lalu menghapusnya kasar. Berusaha tak ingin menangis di hadapannya. Namun, sia-sia.

"Aku nggak bermaksud nyakitin kamu, Na. Saat itu ada proyek yang menjanjikan, niatnya mau buat masa depan kita, dan itu prosesnya cepet banget. Nggak ada waktu buat pamit sama kamu. Maafin aku, Na. Please ...," ucapnya sedikit membungkuk, menyamakan tinggi denganku, "sekarang, maukah kamu mendampingi, menyempurnakan separuh agamaku?" lanjutnya kemudian.

Kulihat matanya berkaca-kaca.

"Seandainya Mas ngomong seperti ini beberapa tahun yang lalu, mungkin aku akan sangat bahagia. Tapi, kini keadaannya udah beda, Mas. Aku ... a-aku, minggu depan akan menikah,” ucapku dengan suara bergetar. “Maafkan aku, Mas. Permisi,” imbuhku kemudian.

Menahan sesak di dada, segera kutinggalkan dia yang masih mematung. Entah seperti apa perasaannya saat ini. Yang pasti, aku tak 'kan pernah menoleh ke belakang, karena masa depanku bukan bersamanya.Walaupun jujur kuakui, masih ada dia dalam hati ini. Dia terluka, aku pun sama.


Cilacap, 29 Agustus 2019
Diubah oleh anna1812 05-09-2019 01:18
umiaziza
Susilowatijihan
alfiaunsah
alfiaunsah dan 49 lainnya memberi reputasi
50
5.9K
171
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.