trifatoyahAvatar border
TS
trifatoyah
(SFTH) Cemburu
Part 1



"Cemburu itu katanya tandanya cinta, Cemburu itu katanya tandanya sayang, tapi hati terasa sesak, aku tidak ingin cemburu, bagaimana bisa, kalau ternyata orang-orang disekitarku juga merasakan yang namanya cemburu"

Pekalongan 14 Juni 2019, di tengah gerimis yang diam-diam


Bila ada perempuan paling beruntung di dunia ini, mungkin itu adalah aku. Disaat di luar sana banyak menantu yang menjelekkan mertuanya, menganggap mertua bagaikan musuh bebuyutan. Hampir setiap hari cekcok dengan mertua atau sebaliknya, mertua yang menganggap menantu, saingan terberatnya, menguasai anak laki-lakinya, dan persoalan mertua dan menantu yang tiada habisnya.

Aku harus lebih bersyukur, dua belas purnama mengarungi bahtera rumah tangga dengan Mas Gifar, selama hidup dengan mama dan papa mertua, tak pernah sekalipun mereka menyakitiku, mereka begitu cinta dan sayang pada diri ini setulusnya.

Bahkan aku yang sering dibela sama mama ketika berantem kecil dengan Mas Gifar. Karena apa? Karena mama tidak punya anak perempuan. Anak Mama dua yang pertama adalah Mas Hanif, seorang lelaki pendiam yang telah menikah dengan Mbak Hanum, selama hampir tujuh tahun menikah, tak ada tanda-tanda istri Mas Hanif itu mengandung. Mbak Hanum juga pendiam, seorang dokter gigi yang bersahaja.

Kami tinggal dalam satu rumah yang besar, dengan halaman luas, ada banyak kamar, di tengah rumah terdapat kolam ikan dan taman, mama melarang Mas Hanif untuk pindah rumah, dan laki-laki itu mematuhinya.

Mengapa mama begitu mencintaiku? katanya aku ramai dan manja. Begitu menikah dengan Mas Gifar, aku berhenti dari pekerjaan sebagai seorang guru honorer di sekolah SMP swasta, bukan karena honor yang sedikit, cinta dan sayang pada murid-murid mulai tumbuh subur. Namun permintaan Mas Gifar membuat aku mengangguk, karena mama tidak ingin punya menantu yang sibuk bekerja juga.

Cinta mama bertambah banyak, ketika tahu aku mengandung benih Mas Gifar, itu berarti calon keturunan Raden Rangga Wijaya, akan muncul ke bumi. Cucu yang telah lama ditunggu-tunggu.

"Dinda, mulai hari ini, kamu nggak boleh capek. Pokoknya, kamu mesti nurut apa kata Mama, nggak boleh capek!" ultimatum mama, dengan binar mata bahagia.

"Siap, Ma," ucapku sambil tersenyum memeluk mama.

"Kamu mau apa tinggal bilang, jangan sampai cucu Mama, ileran, gara-gara ingin sesuatu nggak kesampaian."

"Mama tenang aja, 'kan Mas Gifar, suami siaga. Siap jagain aku," ucapku mengerling manja pada Mas Gifar.

"Yoi, tentunya."

***

Sembilan bulan sudah kandunganku, dan ini adalah puncaknya. Disaat mana sebagai perempuan nyawaku dipertaruhkan. Sebuah rasa yang entah, antara sakit dan bahagia.

Aku berbaring di ranjang rumah sakit, kata dokter baru pembukaan satu, mama, papa, ayah dan bunda semuanya menungguiku. Oh iya kalau ayah dan bunda itu orang tua kandungku.

Tak ketinggalan tentunya Mas Gifar, juga Mas Hanif dan Mbak Hanum. Semuanya sibuk menunggui di rumah sakit. Menanti Rangga Wijaya junior.

Mama, Bunda serta Mas Gifar yang menunggu di kamar, selebihnya menunggu di luar. Karena nggak mungkin mereka menunggu di dalam kamar semua, bisa-bisa dokternya marah.

Kurasakan kembali perut yang melilit, keringat mulai membasahi dahi, Mas Gifar mengelap dengan tissu.

"Mas, sakit sekali. Mas sih enak nggak ngerasain sakit kaya aku," kataku merajuk.

"Mana ada laki-laki melahirkan, kamu sabar ya?"

"Tapi sakit sekali, Mas. Bunda, Mama. Rasanya semakin sakit."

"Orang mau melahirkan ya sakit, tahan nggak lama, kata dokter sudah pembukaan tiga, mungkin satu jam lagi. Dokter Ratna tadi bilang." Bunda mencoba menenangkan aku, kalau mama malah kelihatan nerves.

"Apa! Satu jam. Aww, sakit."

Tiba-tiba aku menggigit tangan Mas Gifar yang sedang mengusap jemariku.

"Awww, aduh sakit dong," jerit Mas Gifar.

Mama dan Bunda tersenyum melihat Mas Gifar yang meringis kesakitan sambil mengusap tangannya. Matanya sedikit melotot ke arahku, takut kena marah mama kali.

Seorang bidan dengan wajah sedikit judes masuk ke dalam ruangan, mungkin saja dia capek karena sudah membantu dokter melahirkan banyak bayi.
Ketika mendengar aku merintih dan mengadu, juga nyalahin Mas Gifar terus, bidan itu bersuara juga.

"Melahirkan itu ya sakit nyonya, yang nggak sakit itu ena-ena nya."

Bunda dan mama sama-sama tersenyum, Mas Gifar ikutan senyum juga, aku yang meringis sakit. Rasa mulas semakin menjadi, perut seperti diremas-remas, rasanya seperti ingin BAB, semakin kuat kucengkeram tangan Mas Gifar. Buliran bening mulai keluar dari kelopak mata. Mama menelpon dokter Ratna begitu sakitku kian menjadi. Bunda mengalah untuk keluar karena mama memaksa untuk tetap menemaniku.

Dokter Ratna datang, ia langsung memeriksaku, dan mengatakan kalau sudah pembukaan delapan, berarti sebentar lagi bayinya akan lahir.

"Baca Bismillah, istighfar, tarik napas, embuskan pelan." Dokter Ratna memberi kode, mana saat mengejan mana saat beristirahat.

"Sakit, Mas. Ini sakit pakai banget."

"Tahan, sayang. Sebentar lagi."

Mas Gifar membelai rambutku, kemudian mencium kening seraya mulutnya komat-kamit membaca doa. Mama membimbingku untuk tidak berhenti beristighfar.

Tak lama kemudian suara tangisan itu pecah. Mas Gifar mengumandangkan takbir, begitu dengan mama, mengucap syukur berkali-kali, badanku semakin lemah, ternyata aku mengalami pendarahan, sampai tak sadarkan diri.

***

Begitu aku siuman orang yang pertama kulihat adalah Mas Gifar, semalam dia tidak tidur menunggui, istrinya yang telah bertaruh nyawa demi bayi kecil tercinta.

"Sayang, anak kita perempuan. Mama senang sekali."

"Cuma, mama yang senang, Mas Nggak?" tanyaku merengut.

"Ya, nggak gitu. Aku senang, melebihi mama. Terima kasih ya, sayang, dah bersakit-sakit, demi anak kita tercinta."

Berulangkali Mas Gifar mencium keningku. Sebuah kebahagiaan terpancar dari manik coklat yang tak lepas memandangku. Tapi di mana anakku? Kenapa aku belum boleh melihatnya.

"Mas, aku ingin menyusui anak kita, dia harus mendapat asi yang mengandung kolostrum ini."

"Sebentar ya, aku telpon mama, untuk membawa ke mari."

Tak lama kemudian mama dan bunda datang sambil menggendong bayi mungil itu. Seorang bayi mungil yang sangat cantik, kulitnya putih bersih mewarisi kulitku. Hidungnya yang mancung persis seperti papanya, dan rambut sedikit ikal itu milik papanya.

"Sekar, ayo nenen sama mama dulu."

Sekar, mama memanggilnya Sekar. Jadi bayiku telah diberi nama oleh mama dengan nama Sekar? Padahal aku ingin memberinya nama Putri.

Setelah selesai minum asi, mama kembali membawa bayi itu ke ruang bayi. Tiba-tiba mataku memanas, teringat nama itu. Mengapa harus Sekar? Bukankah itu nama tunangan Mas Gifar yang mengalami kecelakaan beberapa tahun yang lalu, apa maksud dari semua ini?

To be continued
Diubah oleh trifatoyah 06-08-2020 13:37
disya1628
abiqu123
ayyaayu
ayyaayu dan 64 lainnya memberi reputasi
65
14.3K
359
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.