Update.Berita
TS
Update.Berita
Miris, RI Punya BBG Murah Tapi Hobi Impor BBM!

Foto: Suasana di Stasiun Pengisisan Bahan Bakar Gas (BBG). (CNBC Indonesia/Rahajeng Kusumo Hastuti)


Jakarta, CNBC Indonesia- Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkali-kali kesal dan marah soal bengkaknya impor minyak dan BBM yang membuat neraca dagang RI terus defisit. Padahal, RI punya BBG yang murah dengan sumber berlimpah di dalam negeri.

Tapi sayang, diversifikasi energi dari BBM ke BBG tampak setengah hati. Sempat gencar di periode 2012 lalu, tapi kini seakan BBG tak dipandang. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) pun perlahan berkurang, tiba-tiba pemerintah ingin loncat ke mobil listrik.

Reporter CNBC Indonesia melakukan reportase soal pemanfaatan BBG di Jakarta, rata-rata pengguna BBG mengakui keunggulan bahan bakar gas ini dan menyayangkan infrastruktur yang terbatas.

Nono misalnya, salah satu sopir taksi yang tengah mengantre di SPBG Mampang, Jakarta Selatan. Dia mengaku sudah lama memakai BBG dan jauh lebih irit ketimbang BBM.

Ia bercerita, komisi yang didapatkan sejak menggunakan gas jauh lebih besar ketimbang ketika menggunakan bensin. Selama dua tahun pemakaian, dia mengaku bisa lebih irit dalam pembelian bahan bakar dengan jarak tempuh yang sama dengan bensin, yakni 120 kilometer.

"Kalau beli bensin kan Rp 6.500 per liter, kalau gas hanya Rp 3.100 per liter. Iritnya sama memang, tapi harganya kan jauh, jadi lumayan ada tambahannya," kata Nono kepada CNBC Indonesia, Rabu (11/12/2019).

Hal serupa diungkapkan oleh Ruhiyana, pengemudi taksi yang sudah dua tahun ini menggunakan BBG. Awalnya dia ditawarkan untuk menambah konverter kit pada mobilnya, karena prestasinya sehari-hari. Setelah menggunakan BBG pun penghasilannya bertambah karena harganya lebih murah dibandingkan bensin.

"Karena pemakaiannya lebih irit sehingga komisinya lebih besar. Perbandingannya sama bensin Premium jauh, lebih irit pakai gas," katanya.

Dengan kondisi gas penuh, menurut Ruhiyana, mobilnya bisa menempuh hingga 120 kilometer. Dia pun hanya harus mengeluarkan sekitar Rp 40 ribu untuk mengisi gas penuh, sementara bensin bisa dua kali lipatnya.

"Kalau saya sih mendingan pakai gas ini lebih irit," kata Ruhiyana.

Sopir taksi lainnya, Agus, yang baru dua bulan menggunakan BBG juga sudah merasakan penghematan yang cukup signifikan ketimbang menggunakan bensin. Sayangnya susah untuk menemukan BBG, sehingga ketika kehabisan bahan bakar mereka harus kembali gunakan bensin.

Peralihan dari bensin ke gas pun tidak rumit karena hanya dipasangi converter kit, komisinya pun bertambah sejak beralih ke gas. Agus mengaku tetap akan menggunakan gas meski karena lebih hemat

"Bensin tetap isi full, tetapi paling hanya kepakai 2-3 liter kalau memang benar-benar habis," kata Agus.


Impor Minyak Terus Bengkak
Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Oktober 2019 angka impor migas Indonesia mencapai US$ 17,617 miliar atau Rp 246,6 triliun turun tipis dari periode yang sama tahun lalu US$ 24,97 miliar. Sementara ekspor migas Indonesia pada periode yang sama tercatat US$ 10,347 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 14,152 miliar.

Impor minyak mentah Januari-Oktober 2019 tercatat US$ 4,343 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 7,832 miliar. Sementara impor hasil minyak termasuk BBM tercatat US$ 11,195 miliar atau sekitar Rp 156,7 triliun, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 14,575 miliar.

Menariknya, angka impor tersebut setara dengan membangun satu kilang, bahkan lebih.

Untuk pembangunan kilang Tuban misalnya, PT Pertamina menggaet investor minyak asal Rusia, Rosneft. Proyek ini membutuhkan nilai investasi mencapai Rp 199 triliun. Kilang Tuban ditargetkan mulai beroperasi pada 2024.

Sementara untuk proyek Grass Root lain yaitu di Kilang Bontang nilai investasinya mencapai Rp 197, 6 triliun dan ditargetkan mulai beroperasi pada 2025. Skema pendanaan untuk proyek ini pun sama yaitu kerja sama PT Pertamina (Persero) dengan swasta.

Jadi dengan nilai uang Rp 200 triliun, RI bisa bangun kilang yang bermanfaat untuk menekan impor atau terus-terusan mengucurkan duit negara dan tergantung dengan impor minyak.

Sejak 2011 Indonesia mengidap penyakit kronis yang bernama defisit transaksi berjalan (CAD). Defisit paling parah tercatat di 2018 yang mencapai 3% dari produk domestik bruto (PDB).

Penyebab penyakit tersebut apalagi kalau bukan impor minyak yang jor-joran. Keran impor minyak yang terbuka lebar membuat neraca migas Indonesia terus mencatatkan defisit.

Pemerintah harus serius menangani masalah ini. Pasalnya lifting minyak terus mengalami penurunan sedangkan konsumsi minyak terus meningkat. Umur sumur dan lapangan minyak serta infrastruktur yang semakin tua menyebabkan lifting menjadi semakin kecil. BBG ada di depan mata, jangan sampai dilupakan.

SUMBER
dozzila88sebelahblog4iinch
4iinch dan 10 lainnya memberi reputasi
11
5.2K
58
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.2KThread39.7KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.