Mahbubah127
TS
Mahbubah127
Malaikat Tak Bersayap
Terkadang untuk menjadi indah mutiara harus bergumul di dalam lumpur .


Gambar diambil dari facebook

Suara anak-anak di mesjid ini membuatku terbawa ke masa lalu. Mengingat saat mengaji di surau bersama kawan dan sanak saudara di kampung halaman. Berangkat petang dan pulang habis isya. Berlomba salim paling depan agar segera bisa sampai di rumah.

Hujan masih mengguyur deras di luar. Anak-anak TPQ sebagian belum bisa pulang. Mereka sepertinya santri yang belum dijemput orang tuanya. Seorang dari mereka menghampiriku.

“Bunda tunggu siapa?” tanya suara gadis kecil di depanku.

“Tunggu itu.” Aku menunjuk suami yang sedang berjalan ke arah kami.

Tampak mas Adam tersenyum padaku dari dalam masjid. Kusambut dengan senyum tak kalah manis. Terima kasih Ya Rabby, Engkau telah mengutus dia sebagai penolongku dari lembah nista. Aku menyebutnya Malaikat tak bersayap.

Melihat mas Adam semakin mendekat, gadis kecil itu menjauh ke teman-temannya. Aku melambaikan tangan saat ia menoleh sejenak lalu pergi lagi.

“Lucu ya, mereka?” tanya mas Adam yang tiba-tiba sudah berada di dekatku. Aku hanya tersenyum. “Kepingin?” godanya lagi.

Aku mencubit lengannya. Dalam hati sangat mengharapkannya, tetapi malu mengatakan terus terang, pernikahan kami baru tiga bulan.


***

Malam itu aku duduk di sebuah halte. Bukan untuk menunggu bis tetapi berteduh. Saat pergi dari rumah suami pertamaku, kondisiku sangat buruk. Baju koyak dan rambut berantakan. Hujan yang awalnya hanya gerimis berubah menggila. Hanya ada beberapa orang di situ. Hingga satu persatu orang-orang itu menemukan gerobak besi yang mereka tunggu.

Seorang pria dengan pakaian setelan kemeja krem, celana bahan dan sebuah tas jinjing berada di sudut halte. Tangannya sibuk dengan gawai dan mulutnya komat-kamit.

Entah berapa lama ia berada di tempatnya. Sepertinya bis yang ditunggu tak kunjung datang. Air mineral di tangan kirinya mengingatkan pada tenggorokanku yang butuh disiram. Tadi aku lari sekuat tenaga. Kini aku meneguk saliva. Haus!

Seperti ada telepati, tiba-tiba pandangannya mengarah padaku. Tergelagap, kualihkan mataku ke arah lain. Namun, ia malah mendekat.
“Bisnya belum datang?” ia bertanya dengan hati-hati.

Aku bingung harus menjawab apa. Akhirnya hanya menggeleng yang kulakukan. Dia menyodorkan botol air mineralnya padaku. Dengan sigap dan senang hati kusambar air itu. Tanpa malu kutenggak air hingga tinggal separo. Dia tersenyum, mungkin baru kali ini melihat tampang orang seperti aku.

“Tujuan ke mana, Neng?” tanya pria itu mengulangi. Aku hanya menggeleng kikuk. Tak punya tujuan, lari dari rumah menghindari suami yang sedang mengamuk karena kalah judi dan sedang dalam kondisi mabuk berat. Berulang kali mengalami kekerasan fisik membuatku trauma. Dengan pakaian seadanya aku lari keluar.

Aku bertemu dengan suami kala itu di sebuah klub malam. Dia beragama non muslim. Mula-mula sikapnya sangat manis, hingga aku terjebak rayuan mautnya.

Kami menikah setelah setahun berpacaran. Tentangan dari kedua orang tua dan sanak saudara tak kuhiraukan. Cinta telah membutakan mata hatiku. Tanpa restu orang tua, pernikahan berlangsung di gereja.

Sebulan hidup berumah tangga, tabiat aslinya mulai tampak. Suami hampir tiap malam meninggalkan aku dan pulang dalam kondisi mabuk. Pekerjaannya tidak tetap, kadang ikut temannya keluar kota, kadang juga menjadi bodyguard di karaoke-karaoke. Aku sendiri sudah tidak pernah menjalankan salat sejak jadi istrinya.

Sering kali saat kami cekcok, suami mengusirku dari rumah kontrakan, dia bilang aku tak berguna, murahan dan ia mengancam dalam waktu dekat akan menjualku pada seorang teman yang butuh kehangatan. Menurutnya aku hanyalah beban yang ingin ia lepaskan.

“Aku sudah bosan dan muak melihatmu,” makinya pada suatu waktu.

Semua siksaan mendera, mulai dari lahir maupun batin. Untuk mengadu pada orang tua atau saudara aku sudah tidak punya muka. Benar-benar bak hidup dalam hutan belantara. Mengadu pada Tuhan? Di mana letak mukena atau sajadah saja aku tidak tahu, tepatnya sudah tidak punya.

Aku hanya bisa menangis dalam diam. Sakit! Batinku tercabik-cabik. Semua berlangsung selama tujuh bulan, tak ada perubahan.

Aku berada di halte ini dengan tangan kosong. Tak ada uang atau benda berharga apa pun yang kubawa. Benar-benar bingung tak tahu apa yang akan kulakukan dan hendak ke mana arah tujuan.

Dengan memakai celana pendek dan rambut kusut begini, aku tak punya jawaban. Malu padanya yang jauh berbanding terbalik denganku. Sepertinya dia orang baik-baik. Pakaian dan bicaranya selaras, sopan.
Percaya dengan tindak-tanduknya, aku menjawab apa adanya.

“Maaf, saya tidak punya tujuan,” jawabku pasrah.

Tak kusangka, dia menelpon seseorang. Tak lama kemudian datang dua motor metic. Satu pengendara lelaki dan satu perempuan. Aku diajak naik motor metic yang dikendarai seorang perempuan berhijab. Mereka membawaku ke sebuah yayasan panti asuhan.

Di sanalah aku menemukan kedamaian. Dunia yang lama kutinggalkan telah kembali perlahan-lahan. Rupanya pria itu adalah salah satu pengasuh di yayasan panti asuhan ini. Sebagai orang yang sudah ditolong, aku tak ingin berpangku tangan. Kukerjakan apa saja untuk meringankan beban kepala asrama. Mulai dari belanja, membersihkan kamar mandi, memasak dan banyak hal lain. Ini jauh lebih baik dibanding hidup dengan suamiku. Di sini semua kudapatkan dengan gratis. Aku malu sekali pada Tuhan, setelah jauh meninggalkannya, kini aku ditolongnya dengan penuh kasih-sayang.

Suatu hari, ibu kepala asrama memanggilku. Bertanya baik-baik asal muasalku. Tak dapat mengelak terus-menerus, akhirnya kuceritakan kehidupanku yang sesungguhnya. Di situlah aku sadar, bahwa pernikahanku selama ini tidak sah menurut agama setelah beliau menerangkan panjang lebar.

Disarankan agar aku kembali ke rumah orang tuaku dan meminta maaf. Namun, aku tak punya keberanian. Ibu kepala asrama yayasan panti asuhan bersedia mengantarkan aku.

Aku pulang setelah empat bulan tinggal di asrama. Pakaianku sudah berbeda, awalnya hanya mengikuti peraturan yang berlaku di sana. Lambat laun, setelah mengikuti kajian yang disampaikan oleh ustadz Adam-pria yang menolongku di halte bis-aku mulai sadar dan mengerti, bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat yang harus ditutupi, demi menjaga kehormatan wanita itu sendiri.

Sesampai di rumah, aku disambut dengan tangis haru oleh keluarga, terutama ibu dan ayah. Yang lebih membuatku tak percaya adalah, mas Adam yang waktu itu masih menjabat sebagai guru mengaji, mengkhitbahku di hadapan orang tuaku. Lalu satu bulan dari lamarannya itu, kami menikah.

***

Aku sangat bersyukur, ternyata Allah masih berkenan menerima dan menuntunku kembali ke jalan-Nya. Setelah aku jauh tersesat, menjadi pendosa yang hina-dina, hijrah menuju ke jalan yang insya Allah di ridloi-Nya.

Probolinggo 8 Mei 2019
Diubah oleh Mahbubah127 09-10-2020 07:35
khodijahsiti92dalledalmintonoenlim
noenlim dan 43 lainnya memberi reputasi
44
3.8K
140
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.