purwanti29Avatar border
TS
purwanti29
Story in Hong Kong (Based on true story)


Sebelum saya mulai bercerita, saya ingin menyapa admin, moderator dan sahabat kaskuser semua. Semoga selalu dalam lindungan-Nya. Aamiin.emoticon-heartemoticon-heart

Ini cerita bersambung kedua saya. Namun yang pertama kali saya update di kaskus. Saya hanya ingin bercerita tentang pengalaman seorang wanita yang mengais rezeki di negeri beton.

Nama sengaja saya samarkan agar tidak menimbulkan salah sangka dan menjaga privasi masing-masing. Selamat membaca, Gan.

Blurb

Arsyana, gadis yang bercita-cita ingin menjadi seorang perawat. Namun, harus kandas karena keterbatasan biaya. Ia terlahir dari keluarga sederhana. Ayahnya meninggal saat Arsyana berusia sembilan tahun.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Mak yang saat ini menjadi tulang punggung hanya mampu bekerja sebagai buruh cuci.

Tahun-tahun berlalu, Arsyana telah lulus SMA. Ia ingin mengubah hidup dan membahagiakan orang tua satu-satunya. Akhirnya, Arsyana bertekat pergi bekerja ke luar negeri.

Suka duka banyak ia alami di sana. Namun, Arsyana tetap bertahan demi sebuah harapan ia dapat membahagiakan orang tuanya.

Part1



Tak pernah terlintas di benakku bisa mengunjungi atau bermukim di negara asal aktor film kungfu Bruce Lee dan Jackie Chan. Negara yang akhirnya menjadi pilihanku untuk bekerja sebagai tenaga kerja wanita.

Andai dapat memilih, akan kupilih takdir yang indah. Bahagia tanpa luka yang mendera. Namun sayangnya, takdir adalah siratan yang telah digariskan oleh Allah sejak dalam kandungan.

Bapak lebih dulu menghadap Sang Pencipta ketika aku duduk dibangku SD. Meninggalkan aku dan mak di dunia yang penuh liku ini.

Bekerja menjadi buruh cuci pun mak lakukan agar kami tetap bisa bertahan hidup dan menyekolahkanku. Hatiku serasa diremas, pilu. Bukan karena harus hidup susah. Tapi, melihat raut lelah yang terpancar jelas di wajah mak.


Hingga tahun terakhir di bangku SMA, mak mengucapkan kalimat yang mematahkan semangat dalam diriku.

"Maafkan mak, Arsyana! Uang simpanan kita tidak cukup untuk membiayai kuliah sesuai cita-citamu. Biaya untuk jurusan keperawatan tidak sedikit, Nak!"

"Tapi ... menjadi seorang perawat adalah cita-citaku sejak dulu, Mak," ucapku lirih. Sesak rasa di dada. Namun apa daya, tak mungkin memaksakan kehendak. Sedangkan aku tahu secara utuh bagaimana kondisi keuangan kami.

Aku hanya bisa menerima, pasrah, ikhlas dan puas ketika pendidikan yang kutempuh harus berakhir di jenjang SMA saja. Setelah lulus sekolah, aku ikut membantu pekerjaan mak sebagai buruh cuci.

Hingga suatu hari, ada yang menawariku untuk mengadu nasib ke negeri beton. Diberi iming-iming gaji tinggi, akupun tergiur. Aku bertekad ingin merubah nasib dan meringankan beban mak.



Saat pertama kali tersebar luas kabar keinginanku untuk mengais rezeki di negeri beton ini, tidak sedikit orang yang mencibir, meragukan kemampuanku.


Tetapi karena tekad hati sudah bulat, sebulat pipiku saat ini, tetap aja nekat berangkat juga. Hong Kong menjadi negara pilihanku.

Awalnya takut, karena pernah ada saudara yang bekerja di HK, baru beberapa bulan kemudian dipulangkan. Tetapi dalam hatiku berkata, "Nggak ada salahnya mencoba."

Juli 2009, aku mendaftar jadi TKI tujuan HK. Pada masa itu, gratis tanpa biaya sepeserpun. Segala persyaratan yang dibutuhkan oleh PJTKI sudah lengkap. Medical pun dilakukan tiga hari setelahnya. Sambil menunggu hasil, aku diharuskan tinggal di penampungan yang berada di daerah Jakarta Barat.

Beberapa hari kemudian, hasil medical keluar. Alhamdulillah aku dinyatakan sehat. Itu artinya aku harus menetap di penampungan untuk mempelajari bahasa dan lainnya. Ada rasa sedih juga bahagia. Sedih karena harus meninggalkan mak seorang diri di rumah. Bahagia karena selangkah demi selangkah telah terlewati dengan lancar demi mencapai impian.

Hari keberangkatan ke Jakarta pun telah tiba. Setelah berpamitan dengan tetangga sekitar, akhirnya sponsor yang menjadi perantara membawaku pergi.

Aku melangkah mantap setelah tadi memeluk mak sebentar sebagai salam perpisahan dan meminta doa restu. Tak berani menoleh ke belakang. Aku takut jika membalikan badan dan melihat mak menangis, maka aku akan luluh dan membatalkan semuanya.


Satu bulan belajar bahasa, kami melakukan rekaman video perkenalan diri. Mereka bilang, video ini akan dikirim ke agen TKI di Hong Kong. Supaya bisa dilihat oleh orang yang membutuhkan pembantu rumah tangga.

Bagaimana dengan proses pembuatan videonya? Susah! Karena bahasa yang belum begitu bisa, namun diharuskan berbicara lancar. Hingga diulang berkali-kali. Keringat dingin, grogi, dan gemetar tentu saja. Tapi menjadi kenangan yang manis ketika aku mengingatnya. Seperti sekarang ini.

Suka duka bersama teman-teman seperjuangan yang sama menantikan agar segera mendapat panggilan kerja, menjadi pengalaman berharga untukku. Saling berbagi tempat tidur, saling menguatkan kala dilanda kerinduan akan kampung halaman.

Tiga bulan telah berlalu, sore yang cerah ketika aku dipanggil ke kantor pusat.

"Ada majikan yang nyari pembantu masih fresh. Belum pernah bekerja di luar negeri. Mintanya yang masih muda dan ga neko-neko. Majikan ini orangnya baik. Rekomendasi langsung dari agen di HK. Soalnya dia teman salah satu pegawai di sana. Ibu langsung kepikiran kamu. Gimana mau diambil?" ucap salah satu guru di penampungan.

"Jaga apa ya, Bu?" tanyaku.

"Jaga anak kecil umur tiga tahun, sama sekarang masih hamil muda. Kalau kamu mau, nanti malam bisa video call sama orangnya. Jangan takut ibu bakal dampingi kamu. Gimana?"

"Baiklah, Bu. Aku ambil."

"Yaudah, sekarang kamu mandi! Jam delapan nanti kita video call di kantor."

"Permisi, Bu." Aku pamit kemudian beranjak kembali ke asrama.

Tak henti rasa syukur aku ucapkan dalam hati. Sambil berdoa semoga ini pilihan yang terbaik.

Aku duduk di depan komputer yang menyala dengan hati berdebar. Salah satu guru pembimbing berdiri di hadapanku tepat di belakang meja komputer.

Satu detik, dua detik, tiga detik, entah detik keberapa layar komputer menampilkan sosok wanita muda berambut pirang, dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Spontan, aku pun membalas senyumnya.

"Hai." Wanita muda itu menyapaku sambil melambaikan tangan.

"Hai," jawabku malu-malu.

"Siapa namamu? Namaku Fung Mei Yin. Kamu bisa memanggilku Mrs Fung," ucap wanita itu masih dengan senyum ceria di wajahnya. Pengucapan bahasa yang masih belum aku pahami betul, hingga membutuhkan jeda untukku menjawabnya.

"Namaku Arsyana, Mrs Fung."

"Asyana." Mrs Fung menyebutkan ulang namaku.

"No, Mrs, Arsyana, A-R-S-Y-A-N-A." Kueja satu persatu namaku menggunakan bahasa inggris.

"As ...Yana, right?"

"No, Arsyana! Ada huruf r di antara a dan s," jawabku.

"Ah, namamu susah diucapkan," katanya sambil tertawa.

Kami pun tersenyum bersama, suasana hati yang tadi aku rasakan tegang dan takut, kini mulai terasa santai.

"Mrs bisa memanggilku Yana."

"Yah, yah, ini lebih mudah diucapkan. Baiklah aku panggil kamu Yana."

Aku menganggukan kepala.

"Yana, kamu suka anak-anak?"

"Ya, aku suka anak-anak. Mereka menggemaskan dan lucu" jawabku sambil tersenyum.

"Anakku sudah mau dua, yang pertama perempuan berumur tiga tahun, sudah sekolah playgroup. Sekarang hamil anak kedua. Kata dokter, bayinya laki-laki," ucapnya dengan rona bahagia di wajah.

"Selamat," kataku dengan bahasa inggris, karena aku belum paham kata selamat dalam bahasa cina.

"Terima kasih. Yana, rumahku tidak besar, kalau kamu mau bekerja denganku, tidurnya di ruang tamu, apakah kamu mau?"

"Ya, tak masalah. Aku mau."

"Dari pagi sampai malam sebelum aku pulang kerja, ada mertua di rumah yang membantu menjaga anakku. Kamu tidak keberatan, kan?"

"Tidak! Aku juga suka orang tua. Sama seperti orang tuaku sendiri."

"Pertanyaan terakhir, kenapa kamu mau bekerja jauh dari keluarga?"

"Aku ingin membuat rumah untuk Ibuku." Kami sama-sama tersenyum.

"Semoga terlaksana, ya!"

"Aamiin!"

"Baiklah, senang berbicara denganmu. Semoga kita bisa bertemu di Hong Kong. Bye." Dia melambaikan tangan kemudian layar komputer menjadi gelap. Ia mengakhiri video call kami.

Aku mengembuskan napas lega. Percakapan melalui video call yang kami lakukan tadi menggunakan bahasa Inggris dan Kanton, karena aku belum paham betul dengan bahasa Cantonese. Meskipun kadang Mrs Fung harus mengulang perkataannya, ia tetap tersenyum dan terlihat ramah.

Bu guru pun menunjukan dua jempolnya sambil berucap, "Semoga diterima, ya!"

Aku mengamini ucapannya. Tersenyum. Berharap semoga Mrs Fung mau menerimaku. Agar aku tak perlu berlama-lama di asrama.

Hong Kong, 30 Oktober 2019

Spoiler for Part Selanjutnya:



Diubah oleh purwanti29 20-11-2019 00:29
NadarNadz
annlaska
nona212
nona212 dan 53 lainnya memberi reputasi
54
10.2K
161
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.