dzstoriesAvatar border
TS
dzstories
The Marionette
Hai, Gan.

Izinkan newbie ini menyumbang tulisan yang ... yeah, meski nggak sebagus J.R. Ward atau J.K Rolling. Semoga kalian suka. Jangan lupa like dan banjiri dengan komentar positif biar newbie ini semakin baik dalam berkarya.

🖤🖤🖤

“Ayo, cepat bawa makanan untuk kami!" bentak seorang pria bertato naga—Baron—narapidana kasus narkoba. Pria arogan, ringan tangan dan gemar memperbudak mereka yang lemah, termasuk seorang pria berambut cokelat keemasan yang baru menghuni sel 4D.

Yang dia dengar dari sipir, pemuda bule itu dijerat pasal penganiayaan dengan luka berat. Karena tidak punya biaya untuk menyewa pengacara, kasus pidana itu berjalan mulus dan berhasil membawanya mendekam selama dua setengah tahun ke depan. Tampan, tapi miskin. Itu membuatnya geli.

Baron juga sempat dibuat penasaran setelah mendengar perintah dari bosnya. Lelaki muda itu berkata, “Aku akan membebaskanmu setelah kau siksa dia hingga gila.”

Entah apa maksud dan tujuannya, Baron tak peduli. Perintah itu adalah sesuatu yang menyenangkan, sesuai dengan hobinya: menindas. Apalagi imbalannya adalah kebebasan. Terbayang wajah anak dan istri di rumah, membuat Baron semakin bersemangat memberi pelajaran pada si bule.

Dari pantauannya selama tiga bulan terakhir, tidak pernah sekalipun dia dijenguk keluarga maupun teman. Sebatang kara? Atau statusnya sebagai narapidana yang membuat sanak keluarga menjauh? Baron tak bisa mengira itu. Lelaki bermata biru tak pernah bercerita apa pun pada tahanan lain. Dia seperti manusia yang tak memiliki lidah.

Dia masih duduk di bangku meja makan, menanti budaknya datang dengan nampan berisi menu makan siang. Pria di sampingnya, Heru, juga menikmati setiap luka yang menghias wajah pria kulit putih. Rencana busuk pun telah mereka siapkan. Heru juga lelah hidup dalam kungkungan ruang berjeruji. Terlebih setelah kunjungan sang istri yang tengah hamil besar, lelaki berkumis itu berharap lekas pulang dan menemani istrinya melahirkan.

“Ayo cepat! Lelet amat, sih, lu!”

Dengan tak acuh, Baron menampel nampan di tangan lelaki bermata biru. Tak lama kemudian, suara tawa membahana. Pria berambut ikal sangat menyukai ekspresi pemuda itu. Terlihat culun.

Baron menjambak rambut cokelat keemasan, kasar. "Dasar bocah enggak berguna! Jadi babu saja enggak becus!"

Lalu, dia memukul kepala tahanan 356. Tak puas, Heru mendekat dan melayangkan kepalan di perut. Napi itu Cumiik tanpa suara, kedua tangannya menekan jejak yang menyisakan nyeri. Mereka tertawa lantang. Pukulan demi pukulan diarahkan bagai tak berkesudahan.

***

Seorang pemuda bersandar di jaring besi, menatap kosong tanah lapang di depan. Tempat itu telah menjadi saksi bagaimana dia berusaha menyusun strategi dan mencari jalan keluar untuk kabur. Di sana juga, dia mengamati mereka, orang-orang yang telah memberinya memar di beberapa bagian tubuh. Rasanya, menunggu detik berganti seperti adegan slow motion yang semakin enggan bergerak.

Awalnya sangat sederhana: dia jatuh cinta pada seorang wanita dan ingin memilikinya. Namun sayang, perasaan itu harus patah di tengah jalan. Pasalnya, gadis yang diinginkan telah direnggut lelaki lain. Ada fakta yang baru terungkap. Rupanya, gadis itu terpaksa menjalin hubungan dengan pria yang terkenal baik. Apalagi kalau bukan karena sayap kekuasaan.

Orang tua sang gadis ingin terhindar dari kasus korupsi. Sebagai imbalan, mereka menyerahkan putrinya untuk menikah dengan anak konglomerat itu. Keegoisan yang membuat Ordion geram.
Di acara lelang, dia menghajar lelaki yang akan menikahi wanitanya. Bukan tanpa sebab, pria itu hanya menganggap gadis berambut sebahu itu tak lebih dari mainan. Dia bahkan diizinkan untuk mengicipinya asal berani bayar mahal. Amarah yang tak terkendali membawanya berakhir di balik jeruji.

Dua setengah tahun bukan waktu yang singkat, terlebih ada pria berewok yang berkuasa di sana. Seakan diberi kewenangan, tak satu pun tahanan yang berani melawan. Pun dirinya. Bukannya tak membela diri, dia hanya tak ingin mendekam lebih lama. Alhasil, dengan suka rela dia menerima siksa dan caki maki pria menyebalkan itu. Acap kali tahanan 356 mengurung amarah dan hasrat membunuh yang terus menggedor sisi warasnya, menahan keinginan itu sama seperti yang dirasakan singa lapar yang terkungkung di antara daging segar.

Sudah berulang kali sebelum masuk penjara, dia meminta David untuk membebaskannya dari jerat hukum. Namun, pria yang menganggap cinta adalah kebodohan itu bungkam. Mungkin apa yang dikatakan David ada benarnya. Karena terjerat cinta, dia menjadi bodoh.

"Ngapain di situ?" Seorang pria datang mendekat. Surai panjang beruban dibiarkan bebas. “Jadi samsak lagi?" tanyanya.

Lalu, dia menduduki bangku kayu yang berada tepat di samping Ordion. "Kamu masih muda, gagah dan sepertinya ... bukan orang miskin. Apa yang membuatmu bisa masuk ke tempat ini? Narkoba? Atau ... nidurin istri orang?”

Tuduhan itu berhasil menarik perhatian Ordion. Dengan cepat dia meraih kaus pria tua, lalu menariknya hingga mereka bertemu pandang, dekat. Sorot mata Ordion menajam, seolah ada ribuan mata pisau yang siap membutakan lensa lawan.

“Jaga bicaramu, Pak Tua! Aku bukan manusia rendah seperti itu,” sanggah Ordion dengan nada pelan dan dalam. Tampak jelas di wajahnya sekuat apa dia menahan amarah.

Lelaki tua tersenyum kambing. Tak sedikit pun dia melepas pandang dari pria berparas Eropa, malah tampak sedang meremehkan. “Lalu?”

Sejenak, keduanya terdiam. Ada jeda yang cukup panjang.

Umur pria itu lebih dari setengah abad, tapi tubuhnya masih terlihat tegap dan gagah. Mungkin karena kegemarannya berolahraga sehingga tampak lebih muda. Ordion hanya sebatas tahu kalau lelaki itu penghuni sel 5A. Mereka bersebelahan, tapi tak pernah sekalipun bertegur sapa. Dan baru kali ini, kesempatan itu ada.

Dirasa percuma, Ordion melepas cengkeraman, lalu mengambil tempat di samping pria tak dikenal itu. Dia menghela napas malas.

“Aku ... menghajar tunangan wanita yang kucintai di depan umum,” ujar Ordion.

“Apa?” Tawa yang tertahan lepas sudah. Lorong sempit itu riuh karenanya, “ternyata kamu lebih bodoh dari yang kukira.” Dia semakin terbahak-bahak.

Ordion melengos kesal.

Pria dengan nomor 151 itu mencondongkan punggung menumpukan kedua siku di lutut. “Aku sudah lama berada di sini. Bahkan sebelum Baron berkuasa. Sejauh yang kutahu, tak ada seorang pun yang bertahan dari siksa bajingan itu.”

“Maksudmu?”

Sepasang lensa cokelat menatap Ordion tenang dan dalam. Dia mendesah, lalu berucap, “Mereka ... mati.”

Ordion tercengang. “Ma-mati? Bagaimana dengan para sipir?”

Lelaki tua kembali tersenyum miring. “Gembong narkoba itu punya banyak cara untuk membungkam mereka. Lihatlah dia!”

Ordion mengarahkan pandangan serupa dengan milik lelaki itu. Dia melihat Baron dan dua orang pria—yang juga sering memukulnya—sedang menemui seorang petugas di pojok lapangan. Gelagat mereka memang tampak mencurigakan. Ordion sering menjumpai itu, tapi tak berani mengamati lebih lama. Pernah sekali dan berakhir pada penganiayaan.

Ayahnya penguasa bisnis narkotika. Dia pun mulai berpikir, David ada di balik tingkah Baron yang semena-mena, karena seperti itulah cara kepala mafia menggembleng mental putranya. Namun, aneh. Jika benar dia gembong narkoba, kenapa Ordion tak pernah sekalipun bertemu dengannya di kelab? Pemikiran itu mengusir asumsi sebelumnya. Bisa jadi Baron berada di bawah kendali orang lain. Itu melegakan. Selepas dari penjara, dia akan menelusuri jejak Baron dan menghabisi mereka tanpa ampun. Masalahnya, bagaimana dia keluar dari tempat itu?

“Dia tetap bisa menjalankan bisnis kotornya di tempat ini.” Lelaki itu memberi jeda untuk mengambil napas, “kalau kamu tetap di sini. Aku bisa memastikan umurmu tidak panjang lagi.”

Ordion menelan saliva. Wajahnya memucat, peluh terbit di keningnya. Lalu membayangkan apa yang akan terjadi pada tempat ini jika dia benar-benar mati? David akan menugaskan anak buahnya untuk membantai seluruh manusia dalam rutan, kemudian menghancurkan dan membakarnya. Atau kematiannya akan diabaikan mengingat pendirian David yang seperti karang di tengah samudra.

“Masa hukumanku masih dua puluh tujuh bulan dan lima hari lagi. Apa kamu punya cara untuk kabur?”

“Kabur?” Tahanan 151 menoleh dengan kedua alis mengerut, “ ada satu cara. Sedikit nyeleneh, tapi bisa kupastikan kamu akan terbebas dari sini.”
“Jika benar itu bisa, lalu kenapa kamu tidak melakukannya?”

Lelaki itu tersenyum simpul. “Aku dihukum seumur hidup atas kesalahanku dua belas tahun yang lalu. Biarlah aku tetap di sini untuk menebusnya.”

“Apa kamu membunuh orang?” tanya Ordion. Sebatas yang dia tahu, hukuman itu akan dijatuhkan pada mereka yang telah menghabisi nyawa manusia, kecuali anak buah David yang selalu lolos dari mata hukum.

Bola mata beriris cokelat memandang jauh ke angkasa. Seakan sedang berusaha meraih ingatan yang sekian tahun terpendam. “Iya, banyak orang yang telah mati ditanganku. Aku terlalu patuh pada perintah dan melupakan naluriku sebagai manusia yang tak punya hak mengambil nyawa manusia lain. Aku bukan pembunuh bayaran.” Pria itu mendekat, lalu berbisik, “aku mantan pasukan khusus kepolisian yang pernah ikut dalam misi rahasia.”

Ordion termangu. Kalimat terakhir sedikit sulit untuk dipercaya. “Bukankah polisi punya hak untuk membunuh penjahat yang mengancam nyawanya, lalu kenapa kamu dipenjara?”

Lelaki itu bersandar lalu mendongak. “Karena kami bergerak di luar wewenang jendral. Itu semua karena si Hans keparat itu. Dia menipu kami dengan menunjukkan surat kuasa palsu. Ah, mengingatnya sama dengan mengumbar aibku.”

Pria itu merancu tak jelas. Ordion tak mengerti ke mana arah pembicaraan lelaki berkumis tipis. Jendral, Hans, surat kuasa palsu. Well, itu masalah pribadi yang tak harus dia tanggapi. Lolos dari bangunan berengsek itu jauh lebih penting baginya.

Dia ingin segera keluar, mencari wanitanya dan membunuh anak konglomerat itu secara diam-diam. Jika mau, Ordion bisa memanfaatkan eksekutor ayahnya, Kenzo, yang selalu berhasil melaksanakan misi dengan cepat dan bersih. Namun, melihat bagaimana pria gondrong itu mengais-ngais oksigen hingga di akhir hayat pastilah lebih menyenangkan daripada menang lotre.

“Setelah berhasil keluar dari tempat ini, aku akan membebaskanmu,” ujar Ordion sembari menepuk pundak lawan bicaranya.

“Kamu memang bodoh. Narapidana dengan hukuman seumur hidup sepertiku tidak akan bisa ditebus dengan uang berapa pun. Apa yang telah kuperbuat, bukanlah hal remeh. Aku pun telah berjanji akan menghabiskan sisa usiaku di sini. Dan hanya di sinilah tempat ternyaman dan teraman untukku.”

Antara pasrah dan takut keluar. Itu yang bisa ditangkap Ordion. Takut pada siapa dan apa, dia tidak tahu. Tak ingin memaksa, setiap manusia pasti punya alasan tersendiri dalam mengambil keputusan dan tak jarang mereka menganggap itu sebagai privasi.

To be continue ...
lina.wh
someshitness
NadarNadz
NadarNadz dan 20 lainnya memberi reputasi
21
4.9K
52
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread•41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.