nevertalkAvatar border
TS
nevertalk
Gojek Tertatih-Tatih di Pasar Regional, Benarkah?


Jakarta -- Gojekstartup penyandang status Unicorn dengan valuasi terbesar di Indonesia, bahkan disebut-sebut telah menjadi Decacorn dengan valuasi US$10 miliar, setara dengan Rp142 triliun, melanjutkan persaingannya dalam ekspansi regional berhadapan langsung dengan pesaing utamanya Grab. Sementara, Grab yang merupakan startup asal Singapura telah lebih dulu meraih status decacorn dengan valuasi saat ini sekitar US$11 miliar.

Bagaimana persaingan dua perusahaan ride-hailing itu sebenarnya? Alex Le, CEO Jetspree, berpendapat secara umum Grab terlihat beberapa langkah di depan. Sementara, Gojek masih tertatih-tatih untuk bertahan dalam persaingan, terutama di pasar regional.

Ekspansi regional Gojek dimulai pada 2018, dimulai dengan soft launching Go-Viet di Vietnam, peluncuran Gojek di Singapura pada 2018, dan peluncuran Get, brand Gojek di Thailand, pada Februari 2019. Setelah setahun ekspansi itu berjalan, bagaimana situasinya kini?

Tak dapat dimungkiri bahwa jalan masih terjal bagi ekspansi Gojek di sejumlah negara. Belum lama ini terdengar kabar Gojek tidak mendapat izin untuk beroperasi di Filipina. Data riset pun menunjukkan ketertinggalan mereka dalam penguasaan pangsa pasar.
ABI Research merilis data bahwa di Indonesia sendiri Gojek hanya menguasai 35,3% pangsa pasar, tertinggal dari Grab yang telah meraup 63,6% kue ride hailing. Gambar sama juga bisa kita lihat di Vietnam, Gojek hanya mampu menjangkau 10,3% dibanding Grab 72,9%.

"Asia Tenggara yang telah masuk ke fase maturity menjadi salah satu faktor yang membuat Gojek tersengal-sengal dalam ekspansi regionalnya. Model bisnis ride-hailing sebenarnya sederhana. Subsidi dan diskon pada awal operasi telah memungkinkan Grab dan pemain lama seperti Easy Taxi atau Uber mencaplok pangsa pasar yang besar," papar Alex yang telah membangun ventura di Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Alex menilai bisnis Gojek berjalan lamban dalam transportasi online di pasar baru di Asia Tenggara yang membuatnya sulit untuk meluncurkan rangkaian layanan lainnya yang tersedia di Indonesia. Hal itu disebabkan biaya akuisisi pelanggan baru untuk pengiriman makanan atau paket menjadi lebih mahal ketika Gojek tidak memiliki basis pengguna aplikasinya.

"Ini pada gilirannya membuat 'situasi ayam atau telur' di mana kurangnya layanan lain pada platform Anda membuat platform Anda kurang menarik,” papar Alex.

Situasi yang sama pernah dihadapi WeChat ketika keluar dari kandangnya di negeri Tirai Bambu atau ketika Easy Taxi berekspansi keluar Brazil. Sulit bagi perusahaan teknologi yang sudah besar di kandangnya untuk berekspansi karena produk, operasi, struktur tim, prioritasnya sudah sangat terpaku dengan pasar dalam negerinya. Sementara, ekspansi ke pasar baru butuh lebih dari sekadar uang.

Bicara soal uang, Gojek pun masih harus melompati jurang yang menganga. Tahun ini, Grab telah mendapat investasi hampir US%5 miliar, sedangkan Gojek masih berkutat pada target US$2 miliar. Grab sendiri telah melipatgandakan komitmennya dengan investasi sebesar US$2 miliar di Indonesia dan US$500 juta di Vietnam, yang rasanya sulit dikejar oleh Gojek.

Bukannya Gojek tidak mencoba beradaptasi. Perusahaan ini mencoba menggunakan merek baru, Go-Viet di Vietnam dan Get di Thailand. Namun, yang dapat kita lihat operasi di Vietnam tidak berjalan baik dengan mundurnya CEO kedua dalam beberapa bulan.

"Pertanyaan yang dihadapi operasi lokal seperti Go-Viet adalah bagaimana struktur komando yang akan dijalankan? Seberapa banyak kepercayaan yang Anda tempatkan pada tim lokal? Banyak, terlalu banyak, sedikit, atau malah terlalu sedikit? Sampai tingkat mana mereka dapat membuat keputusan dengan sumber daya apa yang mereka miliki?" tanya Alex.

Perjalanan ekspansi regional tampaknya belum akan landai bagi Gojek. Dengan tidak adanya traction yang signifikan di tahun ini, sulit bagi Gojek untuk menarik dan mempertahankan talenta terbaik di masing-masing pasar. Mereka menghadapi persaingan di dua medan: bertarung dengan Grab yang terus melakukan pendalaman pasar di Indonesia sekaligus bertarung di Asia Tenggara dengan posisi yang kurang tertinggal.



"Apalagi mereka baru saja ditinggalkan pendirinya, Nadiem Makarim. Kita lihat bagaimana tahun depan," Alex menutup pemaparannya.
Alex juga mengungkapkan, studi yang dilakukan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI), mencatat bahwa GOJEK bersama para mitranya memberi kontribusi ke ekonomi Indonesia mencapai Rp44,2 triliun di tahun 2018. Riset kontribusi ekonomi dari GOJEK itu berasal dari empat layanan GOJEK, yaitu layanan ojek Go-Ride, layanan mobil panggilan Go-Car, layanan pesan antar makanan Go-Food, serta layanan untuk kebutuhan harian Go-Life.

LD FEB UI kemudian merinci nilai kontribusi dari keempat layanan dan mitra GOJEK tersebut untuk ekonomi Indonesia di 2018, antara lain: Mitra pengemudi Go-Ride menyumbang Rp16,5 triliun; Mitra pengemudi Go-Car berkontribusi Rp8,5 triliun; Mitra UMKM Go-Food kontribusinya Rp18 triliun; Mitra Go-Life (Go-Clean dan Go-Massage) kontribusinya Rp1,2 triliun. Rata-rata penghasilan pengemudi dan mitra Go-Life dalam penelitian ini diklaim di atas rata-rata upah minimum kota (UMK) di wilayah penelitian.

Sementara, dari riset yang dilaksanakan oleh ABI Research pada 2019 yang berpusat di London, Inggris, menemukan Grab mempertahankan pangsa pasar ride-hailing atau transportasi online sebesar 11,4% di Asia-Pasifik dengan dominasi di pasar Indonesia dan Vietnam. Riset ini merupakan riset kedua yang dikeluarkan oleh ABI Research setelah tahun 2018.

Di Indonesia, Grab memimpin pasar dengan 64% dan Vietnam 74%. Menurut ABI, kepemimpinan pasar ini merupakan buah keberhasilan Grab menjadi super app yang dapat menangkap volume permintaan masyarakat yang begitu besar selain transportasi.

Yaitu, dengan menyediakan layanan pengiriman barang dan makanan, serta layanan keuangan melalui layanan GrabExpress, GrabFood, GrabFresh, dan GrabFinancial. Sementara menurut data ABI Research, Go-Jek, pesaing terdekat Grab, memiliki 35,3% dari pasar Indonesia, sedangkan Go-Viet memiliki 10,3% dari pasar Vietnam.

"Pertumbuhan transportasi online mengalami perlambatan. Setelah mencapai 22 miliar perjalanan pada 2018, tahun ini diperkirakan akan ditutup dengan angka perjalanan sedikit di bawah 22 miliar," ungkap James Hodgson, Smart Mobility Principal Analyst at ABI Research. 

https://republika.co.id/berita/q0k45...onal-benarkah

DAPET SUNTIKAN DANA, TAPI MASIH BAKAR DUIT

LALU BISA UNTUNG APA BUNTUNG?

Diubah oleh nevertalk 07-11-2019 14:35
apiijo
sebelahblog
4iinch
4iinch dan 2 lainnya memberi reputasi
3
3.1K
38
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.8KThread40.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.