sangterataiAvatar border
TS
sangteratai
Akulah si Miskin
Akulah si Miskin



Warga berbondong-bondong datang ke rumah kakak perempuanku satu-satunya. Yang wanita masing-masing membawa mangkuk berisi beras. Aku berdiri di dekat gentong yang digunakan untuk menampung beras pemberian warga. Dengan pakaian yang mentereng dan paling mencolok dari semuanya, aku berdiri membagikan amplop untuk para pelayat yang datang.

Hari ini adalah hari pemakaman kakakku. Ia meninggal karena pembuluh darah menyumbat di otak. Meninggalkan suami dan tiga orang anak.

Sudah dua hari aku berada di kampung. Sebuah desa yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan TKI di Malaysia. Tanah kelahiran yang sudah kutinggalkan selama dua puluh tahun lebih. Merantau ke Riau, mengikuti program transmigrasi di zaman Pak Harto.

Namaku Nikmah Hasanah. Dulunya aku adalah seorang istri dari lelaki bernama Hamim. Kami menikah di desa, memiliki seorang putri. Kesulitan hidup yang terus melanda warga desa membuat kami berbondong-bondong mengikuti program presiden ke dua Republik Indonesia. Mengadu nasib sebagai transmigran, bercocok tanam karet dan padi. Setiap kepala keluarga diberi lahan 2 hektare.

Aku dan Mas Hamim berjuang keras hidup di sana, dengan putri kami yang masih berusia lima tahun. Sayang, kebersamaan itu tak bertahan lama. Rumah tangga yang kami bina bertahun-tahun kandas, ketika putriku berusia sebelas tahun. Saat itu ternyata aku tengah hamil muda. Baru kusadari kehamilan itu setelah resmi bercerai dengannya.

Tak lama setelah bercerai, aku yang berstatus janda beranak satu menikah dengan seorang mantri bernama Mulyadi. Mas Mul-begitu aku menyebutnya-adalah petugas kesehatan di desa transmigran tempatku tinggal. Dia pula yang membantuku dalam proses persalinan anak ke dua.

Singkat cerita, kehidupanku yang dulu susah, bahkan melarat, berubah drastis sejak menjadi istri seorang lelaki yang usianya lebih muda lima tahun dariku. Pakaian lusuh yang dulu selalu melekat di tubuh, kini berubah menjadi pakaian cantik ala butik. Tas blink-blink serta kilau perhiasan emas menjadi penghias warna hitam kulitku. Aku menjadi orang kaya, tepatnya istri orang kaya.

"Cantik sekali kamu, Nik. Bajumu juga bagus, beli di mana? Pasti mahal, ya?"

Orang-orang di kampung memuji penampilanku, sangat jauh berbeda dari penampilan mereka yang hanya memakai daster lusuh.

"Ini beli di Medan. Waktu itu jalan-jalan sama ayahnya anak-anak, sekalian belanja-belanja di sana," jawabku yang memang suka memamerkan kekayaan.

Proses pengurusan jenazah hingga pemakaman telah usai. Aku masuk ke kamar mendiang kakakku untuk mengambil pakaian yang masih bagus untuk kupakai. Kakakku tidak punya anak perempuan, ketiga anaknya lelaki. Pakaian peninggalannya bisa dengan bebas kuambil. Menantunya tak perlu disisakan.

Kupilih jilbab yang tampak sangat jarang dipakai. Warnanya seperti baru. Lalu kupilih mukena. Kakakku memiliki beberapa mukena. Dua di antaranya sangat bagus. Kedua mukena itu juga terlipat rapi di lemari, terlihat jarang sekali dipakai. Aku tersenyum melihat barang-barang kakak yang kini telah berpindah ke dalam koper. Menyisakan mukena dan pakaian lusuh di kamarnya.

"Nik, Mul kenapa gak ikut ke sini?" tanya salah seorang tetangga.

"Mas Mul lagi reuni sama teman-teman kuliahnya di Padang."

Suamiku itu memang sedang reuni di kampusnya. Dia hanya mengantarku sampai Bandara, lalu kami naik pesawat yang berbeda.

"Enak, ya, Nik, tinggal di Sumatera. Suamimu juga kaya, mau ke mana-mana bisa," ucap tetangga lainnya.

Aku tertawa kecil. Ini kesempatanku untuk memerkan kekayaan kami.

"Iya, Bulek, Alhamdulillah. Aku sama Mas Mul bisa ke mana aja. Ini juga sebentar lagi panen sawit. Dua minggu sekali, 'kan, panen. Lumayan hasilnya, buat beli rumah lagi."

"Wah, enak, ya, Nik. Betul-betul jadi orang kaya, ya."

"Alhamdulillah, Bulek. Kami mau beli mobil baru rencananya. Mobil yang lama udah gak enak dipakai. Cuma Mas Mul masih bingung mau beli mobil Pajero atau CR-V."

"Mobil bagus pasti ya, Nik?"

"Oh, iya. Mahal. Kami butuh mobil kayak gitu, karena jalan dari kota ke rumah kami jelek. Jadi harus beli mobil yang kuat untuk jalan kayak gitu."

Kulihat mereka hanya mengangguk dan berdecak kagum.

"Bu Nik, ayo." Salah seorang anak kakakku yang baru saja pulang dari Malaysia karena ibunya meninggal telah bersiap untuk mengantarku ke pasar.

"Mau ke mana, Nik?"

"Mau ke pasar, Bulek. Mau beli-beli jilbab di sini untuk sehari-hari," ucapku sambil mengibaskan gamis yang baru seminggu kubeli di butik.

***

"Bu Nik, banyak bener beli jilbab," kata Abid, keponakan yang mengantarku ke pasar.

"Mumpung di sini. Harganya murah-murah. Lumayan untuk sehari-hari," jawabku sambil memasukkan jilba-jilbab itu dalam koper.

"Ini jilbab Emak semua?" Abid melihat tumpukan jilbab ibunya di koperku.

"Iya, daripada di sini, mending Bu Nik ambil."

"Kan Emak punya menantu perempuan," ucapnya seperti keberatan aku membawa jilbab-jilbab itu.

"Gak akan dipakai. Udahlah, buat Bu Nik aja. Itu masih ada kok di lemari."

Kulihat Abid menghela napas dan menggeleng. Aku tak peduli, yang penting dapat gratisan.

***

Dua minggu sudah aku tinggal di kampung, hari ini harus kembali ke Riau.

"Bid, Bu Nik minta sangu, ya," bisikku pada Abid sebelum berangkat dari rumah.

emoticon-Mewek

Ia menyatukan kedua alisnya. "Sangu?"
emoticon-Cape deeehh

"Iya. Masa Bu Nik jauh-jauh ke sini, pulangnya gak ada yang ngasih Bu Nik uang. Pak De-mu semua gak ada yang ngerti. Alasan aja gak ada uang," ucapku kesal. Aku sudah minta kepada ketiga pamannya Abid-saudara kandungku, tetapi mereka hanya menjawab kalau sedang tidak ada uang.

emoticon-No Hope

"Bu Nik ke sini kan buat ziarah Emak, kakak Bu Nik sendiri. Kok pulangnya minta sangu?"

"Kan biar di mata Pak Mul, keluarga Bu Nik itu baik, gak susah-susah amat."

"Ya Allah, Bu Nik … apa adanya aja sama Pak Mul. Ngapain sampai segitunya? Bu Nik kaya, masa minta uang jajan sama keluarga di sini yang cuma petani. Kan aneh?"

"Udahlah. Mau ngasih, gak? Masa gak ada satu pun yang ngasih Bu Nik uang. Kau kan baru pulang dari Malaysia, ada kan?"

Abid berdecak. Ia tampak kesal dengan sikapku. Lagi-lagi aku tak peduli.

"Bid, mana uangnya? Ada kan? Berapa aja lah. Lima ratus? Tiga ratus juga gak apalah." Aku cengengesan di depannya saat menunggu bus menuju bandara.

"Iya, bentar." Ia berjalan menuju ATM yang tak jauh dari tempat kami berdiri.

"Nih, Bu Nik."

Kuterima lembaran uang berwarna merah.

"Tujuh ratus?" Kedua mataku berbinar mengetahui jumlah yang diberikan keponakan yang satu itu.

"Makasih, ya, Bid. Gak apa-apa, nih, ngasih Bu Nik segini?" tanyaku pura-pura tak enak hati.

"Gak apa-apa, Bu Nik. Anggap aja aku lagi ngasih uang ke orang miskin yang lagi minta-minta."

emoticon-Cool

Jleb! Sialan kau, Abid! Aku bukan orang miskin!

"Oh ya, Bu Nik, semoga mental miskin Bu Nik hilang, ya. Kasihan aku lihat Bu Nik, udah kaya tapi masih kayak melarat," lanjutnya seraya tersenyum.

Aku hanya mengdengus kesal. Tak apalah disebut mental miskin, yang penting dapat uang, batinku.

*End*
Diubah oleh sangteratai 04-11-2019 06:35
tata604
lina.wh
NadarNadz
NadarNadz dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.4K
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.