arganovAvatar border
TS
arganov
Yang Tersakiti, Yang Mengobati
3. Perjodohan Yang Tak Diinginkan

Wira mengerjap-ngerjap tak percaya. Sendok yang berisi satu cubit nasi, sepotong ikan dan secubit sayuran itu tak jadi masuk ke dalam mulutnya. Ia menatap Indah, mamanya yang sedang tersenyum penuh pengharapan.

“Kamu mau kan, Wira?”

Wira masih diam. Ia belum terlalu tua untuk segera dinikahkan karena takut jadi bujang lapuk. Ia baru genap berusia 24 tahun sekitar 6 bulan lagi. Wira menelan ludah susah payah. “Ma, Wira belum mau nikah.” Tolaknya.

Seketika ekspresi wajah mama yang berubah cemberut. Ia bertumpang dagu tak jadi makan. “Terus aja tolak. Mama nggak mau lihat wajah kamu lagi.” Beginilah mama jika sedang merajuk.

“Terima aja, Bang. Calonnya cantik kan?”
Adiknya malah ikut-ikutan mengompori.

Ia memandang Arga dengan tatapan marah. Urusan orang dewasa, anak kecil dilarang ikut campur. Begitu ia berkata, hanya dalam hati. “Bukan Wira nggak mau nikah, Ma. Tapi, nggak instan gini juga dong. Paling tidak, Wira harus kenal orangnya.” Wira mengemukakan alasannya yang paling masuk akal. Bagaimana jika gadis itu tahu nanti masa lalunya yang sama sekali tak indah itu.

“Kalau gitu kenalan dulu, ya?” Mamanya memandang Wira penuh harap. “Kalau nungguin kamu yang nyari, sampai kapan pun nggak akan dapat. Sudah 23 tahun tapi tak sekali pun bawa teman perempuan ke rumah ini,” sungut mama padanya.

Arga yang mendengar itu menerawang. Ia meletakan sendoknya hati-hati supaya tak bersuara. Benar juga, ia mengakui kebenaran perkataan mama. Abangnya itu memang tak sekali pun membawa teman perempuan. Sekali membawa teman, malah teman lelakinya yang datang waktu akhir SMA dulu. Mama bahkan sampai curiga jika Abangnya itu memiliki kelainan. Sebab, Arga juga tahu jika Wira sangat lembut. Terlebih terhadap wanita. Kecuali wanita yang memakai baju merah di hadapannya. “Coba dululah, Bang.” Ia bersuara memberi dukungan pada mamanya.

Wira malah memandang Arga seolah binatang buas yang siap menerkam. “Wira bisa nyari sendiri kok, Ma.”

“Kenalan dulu. Nanti masalah cocok atau enggak, belakangan.”

Wira beringsut sedikit ke depan dari kursinya. “Ma.” Ia masih berusaha memohon minta pengertian. Usianya masih tergolong muda, 23 tahun dan akan menuju 24 tahun 6 bulan lagi.

“Mama nggak mau ulang lagi perkataan mama yang tadi, ya?” Indah berdiri dan pergi.

Tinggallah Arga yang susah payah menahan senyum dan Wira yang kebingungan dengan apa yang terjadi.

🍀🍀🍀

Arga terlonjak beberapa senti dari atas kasur. Telepon seluler di tangannya hampir saja terlepas. Laptop lebih parah, berdetak ke bawah. Otomatis ia berteriak histeris. “BANG WIRA!” pekiknya.

“Untung bukan badan kamu yang abang banting.”

Arga tak jadi marah-marah. Sebagai gantinya ia hanya menggerutu tak jelas. Diambilnya laptop malangnya di lantai. Lecet sedikit pada bagian ujung. Ia periksa bagian layar, syukurnya tak ada yang retak. “Apa sih, Bang. Mau bikin rugi gue, ya?”

“Rencananya mau bikin kamu semaput. Tapi, mengingat situ ada pangkat “adik”, nggak jadi hingga semaput. Hanya bakal lebam-lebam sedikit bagian pinggang.”

“Penganiayaan,” tuding Arga.

“Bukan, penghukuman.”
Wira duduk di samping adiknya. “Abang nggak mau dijodohin, Ga.” Ia mulai cerita. “Belum terlalu tua untuk harus bersegera cari jodoh.”

“Mama Cuma takut Abang tak laku. Abang sadar dirilah kalau nggak bisa cari jodoh sendiri,” cerocos Arga. Ia kembali bermain dengan telepon selulernya.

“Adik durhaka.”

“Bukan durhaka, tapi fakta. Abang Cuma nggak mau ngaku doang kalau emang nggak laku.” Diliriknya kakak laki-lakinya itu yang kini berwajah masam. “Cuma kenalan nggak bakal langsung dinikahkan. Mana tahu gadis yang dipilihkan mama cocok.”

“Bagaimana kalau nggak cocok?”

“Tinggal cari lagi.”

Wira mengernyit. Gampang sekali adiknya ini bicara. Masalahnya bukan hanya hal itu. Arga tidak tahu jika hal paling indah dan lembut di dunia itu adalah hal paling menakutkan untuk Wira.

🍀🍀🍀

Wira memijit pangkal hidungnya. Ia mengerjap beberapa kali sebelum meraih telepon selulernya yang sudah berdengut beberapa kali. Terpampang nama “Mama” di sana. Tumben Mamanya menelepon di jam kantor. Pasti ada hal mendesak yang mau disampaikan. “Ya, Ma?”

“Mama tunggu di restoran biasa ya, Wir?”

“Eh.” Sedikit kaget dengan informasi tersebut, ia melirik ke arah komputer kantor. Masih ada beberapa proposal yang belum ia revisi dan tanda tangani. “Sekarang, Ma?”

“Iya. Mama sudah di sini dari tadi. Sama Echa.”

“Echa?” Ia bertanya sebab nama itu baru didengarnya. “Siapa, Ma?”

“Itu, anak teman mama yang mau dijodohin sama kamu itu.”

Wira bungkam seketika.

KnightDruid
KnightDruid memberi reputasi
1
515
2
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Heart to Heart
Heart to Heart
icon
21.6KThread27.1KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.