meanynovendiAvatar border
TS
meanynovendi
Budak Ratu Gunung Merapi
Cerpen Pendakian Horor





Perjalanan berjam-jam yang melelahkan, menjadi tidak terasa saat aku sampai di puncak Merapi. Pemandangan terindah terpampang nyata di depan mata.


Setelah bersusah payah bersama dua rekanku, Cindy dan Maya, akhirnya kami berhasil juga menyaksikan matahari terbenam di puncak gunung ini. Eidelweiss yang bermekaran menambah indahnya suasana.


"Naina, sini!" Cindy memanggil. Aku meletakkan ransel di atas sebuah batu dan menghampirinya.


"Lihat, ada sesuatu di sini." Ia tampak mengambil sesuatu dari tanah setelah lebih dulu mengoreknya.


"Apa ini?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
Tampak logam keemasan persegi dengan ukiran aneh. Seperti jimat.


"Buang saja, Cin! Takutnya nanti malah kenapa-kenapa!" sergahku pada Cindy.
Maya menganggukkan kepala menyetujui saranku.


"Ah, ini barang langka. Aku akan menyimpannya," ujar Cindy keras kepala. Ia seperti terpesona dengan kilau logam tersebut.


"Terserahlah. Sekarang kita harus siap-siap turun. Sebentar lagi gelap akan melanda, dan kabut semakin tebal. Nanti kita bisa kesasar sebelum sampai di tenda." Aku beranjak sambil memanggul lagi ransel dan mengajak mereka untuk turun ke tenda.



Sumber : walterpinem.me


Sinar matahari sudah tak tampak lagi. Hanya terlihat bayang tubuh kami dan senter menjadi satu-satunya sumber sinar saat ini. Kabut makin menebal.


Aku berjalan di depan, diikuti oleh Maya dan cindy di belakang. Jalur pendakian yang kami lewati tak terlalu sulit. Jalur biasa yang dilewati oleh pendaki lainnya.


Entah mengapa, saat ini tak ada kelompok lain yang mendaki. Pesan penjaga tadi, kami sudah harus sampai di tenda sebelum gelap. Namun, karena tadi Cindy sempat sakit perut, menyebabkan kami terlambat sampai ke atas.


Hampir sampai di tenda, setelah tiga puluh menit berjalan turun. Kompas dan penanda menunjukkan kami akan bisa beristirahat tak lama lagi.



Tiba-tiba terdengar suara gaduh. Seperti pasar malam. Aku menghentikan langkah dan menajamkan telinga.



Kulihat Maya dan Cindy juga melakukan hal yang sama.



Sumber : hipwee.com



"Apa itu?" bisikku pada mereka. Maya dan Cindy menggeleng sambil mendekat ketakutan.
"Bukannya harusnya di sini sepi ya, Na?" Maya berbisik.


"Yuk, kita lihat." Aku melangkah perlahan menuju sumber suara.


Di balik pepohonan dan semak belukar, tampak keramaian. Orang-orang berpakaian seperti di zaman kerajaan. Seperti di alun-alun.


Seseorang berpakaian bak ratu duduk di singgasana di tengah-tengah keramaian itu. Mungkin dia pemimpin mereka.


"Azimat kebesaran bangsa kita, telah diambil oleh seorang anak manusia yang serakah. Sekarang, dia harus menjadi tumbal atas keserakahannya dan mengembalikan apa yang telah dia ambil." Terdengar ucapan yang disambut suara riuh rendah hadirin di ujung sana.


Mendengar ucapan wanita tersebut, sontak aku memandang ke arah Cindy. Ia terlihat sangat pucat dengan mata terbelalak. Cepat aku memegang tangannya dan merogoh kantongnya untuk mencari logam yang ia ambil tadi.


"Kalian bertiga, kemari dengan sukarela atau kami tangkap paksa!" Tegas wanita itu memerintah. Entah bagaimana dia tahu kalau kami ada di sekitar sini.


Tanpa membuang waktu, aku menarik tangan Cindy dan Maya yang terasa sangat dingin. Meski hati berkecamuk dan dada berdebar, kami melangkah perlahan.


Ternyata mereka tak seramai yang terlihat. Hanya sekitar lima puluh orang dari hasil hitung cepatku.


Tampak dua pengawal mendekat. Mereka mengawal kami menuju ke arah singgasana.


Sekitar dua meter di depan ratu, pengawal menghentikan langkah kami.




Sumber : kumparan.com



"Bawa wanita itu ke hadapanku," ujar Sang Ratu sambil menunjuk pada Cindy. Pengawal yang ada di sebelah ratu, mendekat dan menarik Cindy menuju ke singgasana.


Aku dan Maya terdiam melihat Cindy melangkah ketakutan.


"Kalian berdua, silahkan tinggalkan tempat ini. Jangan pernah kembali ke sini. Teman kalian ini, dia sudah berani mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Maka dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!" Tegas Sang Ratu. Semua terdiam. Terdengar isak tangis Cindy.


Aku dan Maya berpandangan. Bagaimanapun, Cindy teman kami. Tak mungkin aku pulang hanya berdua dengan Maya saja.


Dengan segenap upaya, aku memberanikan diri untuk meminta keringanan.

"Maafkan kami, Ratu. Maafkan teman saya. Dia tidak mengetahui kalau itu terlarang. Dia menyimpan itu untuk kenang-kenangan saja." Aku memohon. "Tolonglah Ratu, lepaskan kami. Akan kami kembalikan milik Ratu."

"Tidak bisa! Itu sudah menjadi aturan di kerajaan ini. Barangsiapa mengambil milik kami, maka dia akan membayar dengan nyawanya!" tegas Sang Ratu sambil membelalakkan mata. Aku gentar melihat sorot tajam di mata itu.

Tangis Cindy semakin keras. Ia menatapku memohon untuk membantunya.

"Tolonglah, Ratu. Kami akan sangat berterima kasih jika Ratu mau melepaskan kami semua. Kami berjanji akan lebih hati-hati lagi, Ratu," pintaku memelas. Meski dada berdebar hebat, tapi aku terus mencoba bernegosiasi dengan makhluk penunggu gunung ini.

Ternyata benar kabar yang tersiar di kalangan pendaki. Bahwa, jangan pernah mengambil apa pun dari gunung ini, jika ingin selamat kembali ke rumah.

'Ah, dasar Cindy. Bukannya sudah kuperingatkan dia tadi.'

"Tidak ada ampunan. Dia harus menjadi abdi di kerajaanku. Kalian berdua akan aku lepaskan!"

"Pengawal, ikat wanita ini. Dan mereka berdua, kirim kembali ke tempat asalnya!" Sang Ratu bertitah.



Sumber : harianriau.co


Cindy terlihat menangis dan meronta saat pengawal ratu hendak mengikatnya. Aku dan Maya berusaha berlari ke arah Cindy dan menggapai tangannya.


Malang, pengawal di kanan dan kiri yang sedari tadi diam, menangkap dan menjauhkan kami dari Cindy.



Dengan sekali sentak, aku tiba-tiba terhuyung dan hilang kesadaran.

***

Percikan air di wajah membangunkanku. 'Mimpi yang sangat aneh.'

Tiba-tiba aku tersadar. Tampak bapak penjaga gunung di depanku memegang sebotol air.

"Kenapa tidur di sini, nak?" tanya si bapak. Ah, aku ingat, namanya Pak Umar.

"Ha, bukannya kami ada di tenda, Pak? Mimpi saya aneh sekali tadi malam," jawabku.

"Di tenda bagaimana? Anak tidur di depan pos jaga. Dan ini, kenapa cuma berdua? Bukannya kemarin kalian naik bertiga?" mimik wajahnya heran.

Kesadaran yang sebenarnya menyergapku. Bukannya tadi malam aku masih di atas gunung? Bagaimana bisa sudah sampai di pos dan tertidur di sini?

Berdua katanya? Aku memandang ke sebelah. Tampak Maya tertidur pulas. Tanpa menjawab pertanyaan Pak Umar, aku mengguncang tubuh Maya.

"May, bangun. Bangun, May!" seruku panik.

Aku memandang berkeliling. Hanya ada aku, Maya dan Pak Umar. 'Cindy ada dimana? Apa itu bukan mimpi?'

"Uughh ... " Maya perlahan membuka mata. Pak Umar masih menatap kami berdua dengan pandangan heran.

"Kita di mana, Na? Kenapa bukan di tenda?" Maya bertanya sambil bangkit duduk.

"Kita ada di pos jaga, May. Dan Cindy tidak ada, May!" jawabku lemas.

"Apa? Ke mana Cindy, Na? Aku barusan mimpi aneh, Na!" Serunya.

"Itu bukan mimpi, May. Sepertinya itu nyata. Itulah kenapa Cindy tak ada bersama kita." Aku berucap sedih. Maya membelalakkan mata, menatapku tak percaya.

"Ceritakan pada bapak. Apa yang terjadi, nak?" Terdengar suara Pak Umar.

Sambil menghela nafas dan menahan tangis, aku menceritakan apa yang terjadi pada beliau.

"Tak pernah ada yang kembali selamat dari atas sana, nak. Jika mereka mencoba mengambil apa yang menjadi milik kerajaan lelembut tersebut," ujar Pak Umar. "Maafkan bapak yang lupa memperingatkan kalian tentang hal ini."

"Saya sudah mencegahnya, Pak. Tapi, entah kenapa dia seperti tak mendengar ucapan saya." Aku menangis tersedu. Kehilangan Cindy dan kepastian bahwa kami takkan bertemu lagi, membuat pertahananku roboh.

"Sekarang, kalian istirahat saja. Setelah tenaga kalian pulih, pulanglah. Biar bapak dan tim SAR yang mencari teman kalian."

***

Berhari-hari berlalu. Aku dan Maya memilih menunggu di rumah salah satu penduduk. Orang tua kami sudah berdatangan. Memasuki minggu kedua, jasad Cindy ditemukan sudah tak bernyawa. Tak ada keanehan pada jasad yang sudah mulai membusuk itu.

Setelah dimakamkan secara layak, aku dan Maya pulang ke rumah masing-masing.

Hampir malam aku dan orang tuaku memasuki rumah. Rasanya letih sekali. Kesedihan, kekhawatiran, dan kepenatan yang sangat, membuatku cepat tertidur.

Aku melihat Cindy di sana. Ia menatapku dengan sorot mata yang mengiba.

"Tolong aku, Naina. Tolong aku. Aku jadi budak Sang Ratu di sini. Tolong aku!"





Tamat
Diubah oleh meanynovendi 22-10-2019 02:07
sebelahblog
zafinsyurga
sulkhan1981
sulkhan1981 dan 29 lainnya memberi reputasi
30
7.7K
81
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.